Mentari pagi di hari rabu, Lizy bergegas keluar kamar dan turun kebawah untuk berpamitan kepada kedua orangtuanya. Sebelum itu ia harus mengecek tasnya kembali, serasa sudah lengkap ia langsung beranjak turun kebawah dan menemui mama nya yang ada di dapur sedangkan sang papa berada di teras depan rumah sambil menjalani rutinitasnya setiap hari membaca Koran sambil menyeruput kopi favoritnya.
"Mom… Lizy berangkat yaa." Ia mengamit tangan mamanya dan salim.
"Pak Karim lagi pulang kampung, sayang. Jadi yang mengantarkan kamu hari ini Rendi, bentar lagi dia mau kesini." Kata Mariska sambil membenahi anak rambut Lizy yang sedikit berantakan. Belum lama Lizy ingin bertanya, sebuah suara menggema dari arah ruang tamu dan kemudian menjadi dekat ternyata "Rendi!"
"Sejak kapan tepat waktu lo? Biasanya aja masih molor?"
"Yeee, cowok ganteng kayak gue gak perlu dipertanyakan lagi ke on time-annya. Ntar kalau gue gak on time cewek-cewek pada kabur." Ujar Rendi dengan sangat percaya diri, sehingga membuat orang disekitarnya tertawa mendengarnya.
"Gue rasa lo udah mulai gak waras deh."
"Gue sumpahin lo jomblo seumur hidup!" gerutu Rendi kesal.
"Hust!!" Mariska berusa menengahi peperangan antar sepupu ini. "Kalau ngomong dijaga, ah. Kalian ini sukanya berantem mulu', sana berangkat"
"Iya, tante. Rendi berangkat dulu yaaa." Rendi menyalimi Mariska dan Hardian, diikuti oleh Lizy dibelakangnya.
"Hati-hati dijalan." Teriak Hardian sambil duduk sambil melihat keduanya.
Kemudian mereka berangkat pergi.
Jujur. Lizy paling tidak suka menaiki sepeda motor, karena ia merasa ribet dan tidak enak baginya jika menaiki kendaraan yang satu ini motor ninja dengan body untuk tempat duduk bagian boncengan terasa paling tinggi. Biasanya saja ia selalu bersama supirnya pak Karim, tapi kali ini ia terpaksa, karena supirnya tiba-tiba harus pulang kampung.
"Kenapa gk bawa' mobil aja sich? Ribet tau." Kesalnya.
"Udah diam aja! Lagian motor gue bagus-bagus aja."
"Pala lu!" Lizy mengetok helm milik Rendi.
"Awww… Masih mending mau gue boncengin dari pada lo gue turunin disini. Jangan lupa nanti ke kampus gue, buku yang lo pinjem balikin ke perpus." Pertengkaran itu masih berlanjut hingga sampai didepan sekolahnya.
Tapi dari banyaknya percakapan Lizy dan Rendi ada salah satu pembicaraan yang membuat Ia benar-benar kesal. Yaitu keputusan Rendi yang sangat gigih untuk memasukkan dirinya kedalam kampusnya dan ingin sekali mendaftarkan Lizy disana dengan jurusan yang hampir sama dengan Rendi, padahal ia sudah bilang berkali-kali bahwa ia akan menjadi dokter spesialis bedah saraf tahun depan dan Rendi yang mendengar jawaban Lizy hanya bisa menertawainya.
Ia sangat benci diatur. Apalagi ini merupakan keputusannya terkait keberlangsungan mimpinya yang ingin sekali ia capai. Lizy bukan orang bodoh yang lemah. Ia tangguh, namun tidak tau caranya memanfaatkan situasi dengan baik itulah kesalahannya. Seharusnya semenjak ia pacaran dengan Angga dulu, ia tidak mengiyakannya saja saat cowok itu memintanya putus. Bodoh memang! Melepaskan emas yang sudah ia tangkap dengan sangat mudah, namun susah untuk diraih kembali. Lizy hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk menurunkan seseorang yang bisa membuat dirinya menjadi lebih baik tanpa paksaan dan aturan yang mengekang baginya.
"Ngarepin apalagi sih eloo!" Sindir Tiar yang duduk di depannya dan sekarang sudah berputar menghadapnya.
Lizy mendengus sebal, sebab Tiar sahabatnya itu suka sekali ngomong blak-blakan hingga membuatnya tersentil yang berubah menjadi sensi.
"Kalau ada masalah ngomong aja tuan putri." Sahut Gea ikut bergabung mendekati mereka yang kebetulan posisi duduk Gea sendiri berada di sebelah kiri Tiar.
"Please! Kalian ikut gue ke kampus Rendi ya?"
"Ngapain?"
"Nganterin buku Rendi yang sempet aku pinjem." Jawab Lizy dengan menunjukkan buku yang ia bawa sekarang.
"Arsitektur perumahan perkotaan." Gea membaca judul bukunya. "Ngapain lo pinjem buku beginian? Padahalkan cita-cita lo pengen jadi dokter, Liz."
"Iya. Buat apa coba?"
"Yeee, bentar gue jelasin dulu. Jadi ini awalnya gue cuman iseng lihat-lihat dan akhirnya kebawa gue, ya udah Rendi pinjemin sekalian ke gue dan sekarang gue harus ngembaliin buku ini di tempat perpus kampus dia."
"Ya udah, yuk." Jawab Tiar bersemangat dan beranjak dari kursi duduknya.
"Eh! Ngapain lo berdiri." Lizy mengadahkan kepalanya melihat tingkah laku Tiar yang kini sedang berdiri dihadapannya.
"Gue mau ketemu sodara ganteng lo itu, gue gak sabar ngelihatin dia." Jelas Tiar dengan raut wajah bahagianya sambil membayangkan sosok Rendi.
"Dasar genit!" Gea menyindir.
"tau" Lizy segera melanjutkan pembicaraanya. "Jadi gimana? Kalian mau ikut gak?"
"Jadi dong…. Demi ketemu cowok cakep, rejeki kok ditolak sih" kelakuan Tiar mulai centil, sehingga membuat Gea maupun Lizy hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku sahabatnya itu.