Satu hari telah berlalu.
Di pintu gerbang kota, ratusan orang bekerja memperbaiki kerusakan akibat pertarungan kemarin.
Rasa takjub bercampur ngeri terlihat di wajah mereka. Apa yang mereka saksikan telah melampaui penalaran manusia.
"Ini bekas sabetan pedang tuan Pedang Halilintar," tunjuk lelaki tinggi besar pada kepingan bebatuan yang berserakan dalam keadaan hangus.
Kawannya mengangguk sambil meleletkan lidah. Mereka tahu, ukuran batu itu sebelumnya hampir menyamai tubuh lima ekor kerbau. Biasanya batu itu tempat anak-anak mereka latihan silat, dan sekarang tempat latihan itu hancur dalam satu kali tebasan salah sasaran.
Betapa mengerikan kekuatan Pedang Halilintar. Ia sudah mencapai tingkatan raja pedang, tapi sayang lawan yang dihadapinya seseorang yang telah menuju tahapan dewa pedang.
Andai ilmu pedang si Pedang Halilintar digunakan untuk bertarung melawan seluruh warga kota, maka ia hanya butuh waktu sebentar untuk melakukan pembantaian tanpa sisa.
"Lihat ini," tunjuk lelaki yang lain. "Bahkan, kalau diisi air, lubang ini bisa menjadi kolam renang kecil bagi anakku."
Orang-orang lain mengangguk takjub. Lubang itu bekas hentakan kaki Pedang Tanpa Tanding.
"Dan rumahku dirubuhkan Kakek Punian Abang dalam sekejap." Keluh lelaki usia pertengahan.
"Rumahku juga," timpal lelaki berkumis tebal. Biasanya, kalau ia memarahi tetangga ia selalu memelintirkan kumis tanda kejantanannya itu, tapi pada pertempuran kemarin, kumis hebat itu tidak tampil, raib bersama pemiliknya, mengungsi ke kota lain.
Belahan tanah memanjang bekas pukulan sang naga, retakan tanah yang menghancurkan jalan bekas pukulan singa, semuanya menimbulkan kesan, bahwa pertarungan kemarin melebihi amukan gajah satu padang.
Akhirnya, menjelang sore hari, selesai juga mereka membersihkan kota dan menimbun lubang-lubang menganga. Gunungan pasir dan tanah yang mereka angkut dari sungai dan lereng bukit, lenyap tak tersisa dalam lubang-lubang itu.
Sekarang keadaan telah aman. Pedang Tanpa Tanding telah menghindar jauh. Ada kebanggaan meluap dalam dada saat mereka tahu kota ini berada dalam perlindungan Punian Abang dan Sle Lintang Sembilan.
Pedang Tanpa Tanding adalah jagoan yang kekuatannya telah melintasi pulau. Tokoh sebesar itu menelan pahitnya kekalahan di sini, maka itulah peringatan bagi tokoh-tokoh lain.
"Guru Sintuh," panggil seorang lelaki berperawakan kecil pada lelaki kekar yang mengawasi beberapa orang yang bekerja mengumpulkan kayu untuk bahan rumah.
"Ya, Guru Tiga Jarang," Guru Sintuh menoleh.
"Selama ini kita selalu bersaing menjadi yang terhebat, meracuni pikiran murid masing-masing dengan cerita kesaktian kita, ternyata saat ini aku baru sadar, kita hanyalah semut di hadapan raksasa seperti kakek Punian Abang dan Pedang Tanpa Tanding."
Guru Tiga Jarang menghela napas. Kilau keangkuhannya selama ini meredup. "Kita adalah katak dalam tempurung, Guru Sintuh. Selama ini aku merasa hanya dirimu lawan setara bagiku. Baru kini terbuka mataku, bahwa ada naga sakti yang bersembunyi di kota ini. Kakek Punian Abang bahkan tidak perlu menggerakkan satu jari kalau hanya untuk mengambil nyawa kita."
Guru Sintuh tersenyum. " Ada baiknya juga tokoh legenda bertarung di sini, karena orang-orang angkuh seperti kita memang harus diajari dengan kenyataan baru bisa menundukkan kepala. Mulai sekarang aku ingin menghapus permusuhan belasan tahun denganmu, apa kau setuju Guru Tiga Jarang?"
Lelaki kekar itu mengangguk kuat. Mereka bersalaman, lalu tertawa bersama. Kemudian dua orang guru silat ini terjun membantu orang-orang, mengumpulkan kayu, hingga matahari terjerambab di ufuk barat baru semuanya bubar. Kerja esok hari sudah bisa terfokus untuk membangun rumah, sementara mereka yang kehilangan rumah mengungsi ke rumah-rumah terdekat.
*****
Suara tabuh besar di rumah penguasa negeri, malam ini ditabuh berulang kali. Gemanya menggelegar ke segenap penjuru kota.
Warga kota yang tengah beristirahat sehabis bekerja siang tadi tersentak mendengar suara itu.
Segera semuanya keluar rumah. Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang mengutus muridnya menuju tempat penguasa negeri, tapi belum jauh beberapa orang murid itu berjalan, mereka telah bertemu hulubalang negeri.
"Kau kah itu Lintang?" Tanya sang hulubalang sambil menaikkan nyala obor menerangi wajah murid tertua.
"Ya, tuan hulubalang. Guru mengutus kami untuk mencari tahu ada gerangan apa maka yang mulia penguasa negeri memanggil warga hadir." Lintang menjawab sambil mengangguk hormat.
Hulubalang menjawab tegas, "Ajak guru kalian dan seluruh warga, niat penguasa negeri malam ini untuk membicarakan peristiwa kemarin serta membentuk susunan keamanan baru."
"Baik tuan hulubalang, akan kami sampaikan."
Lalu Lintang mengajak kawan-kawannya kembali ke tempat guru mereka menunggu.
Di perjalanan.
"Kak, apa tidak terlambat apabila baru sekarang penguasa negeri menunjukkan kepeduliannya?" Seorang pemuda gempal berambut sebahu tiba-tiba bertanya pada Lintang.
"Maksudmu?"
"Pertarungan kemarin skalanya bisa menghancurkan kota, tapi tidak ada satu pun hulubalang penjaga negeri yang diutus untuk melakukan perlawanan, apakah itu bukan keterlaluan?"
Belum Lintang menjawab, seruan membenarkan terdengar dari pemuda lainnya.
Lintang mengerutkan kening. Anak-anak muda ini terlalu berani. Hal sensitif seperti ini tidak bisa dibicarakan seenaknya. Pohon bertelinga, batu bernyawa, jalan si penyampai berita. Jika sampai terdengar oleh sang penguasa, para pemuda itu akan menerima nasib, kalau tidak patah tulang, minimal terbaring satu Minggu di rumah.
"Pelankan suaramu!" Ketus Lintang.
"Tapi benar, kak." Timpal lelaki termuda di sana. "Penguasa negeri adalah pemimpin kita. Bila beliau berpikir melawan akan sia-sia, setidaknya berikan perlindungan. Ungsikan warga ke tempat aman."
"Bukankah kita aman. Peristiwa kemarin tidak membunuh satu pun warga kota." Lintang masih beralasan, walau pun dalam hatinya ia membenarkan mereka.
"Warga kota aman, tapi tuan Pedang Halilintar menumbalkan nyawanya untuk tanah ini, padahal tidak ada seujung kuku pun ia memiliki hubungan dengan kita." Jawab yang berbadan gempal.
"Apalagi ada tuan Punian Abang dan yang mulia raja Sle Lintang Sembilan. Tanpa beliau berdua, mungkin kota ini sudah kehilangan manusia. Tumpas di tangan iblis sesat itu." Kini pemuda berbadan ceking, berwajah manis yang menimpali. Dan kata-katanya mampu mendirikan bulu kuduk rekan-rekannya, karena kembali mereka terbayang peristiwa kemarin.
"Nah, itu kalian paham, bahwa tanpa dua jagoan setarap dewa itu membantu kita, tidak ada gunanya kekuatan kota ini."
"Mengapa saudara Lintang seperti menutup mata dan terlalu berpihak pada penguasa?" Murid Guru Tiga Jarang yang tertua akhirnya gatal mulut juga untuk menyela perdebatan Lintang dan adik perguruannya.
Lintang tersentak. Ia tersadar, kalimat-kalimatnya tadi bisa menimbulkan salah pengertian. Ia bisa dicap munafik, atau pun penjilat. Hal ini bisa menurunkan pamor gurunya di mata orang-orang.
"Bukan begitu maksudku, Rimpa. Kau lihat anak-anak ini, mereka memang berani tapi kurang hati-hati. Kita hidup bukan sendirian. Bagaimana kalau penguasa mendengar ucapan mereka? Kalau akibat dari mulut hanya dirasakan oleh mereka sendiri aku tak akan peduli. Tapi, jangan sampai orang tua mereka ikut terseret."
"Kami mengatakan kenyataan, kak. Orang gagah harus berani mengambil resiko!" Seru lelaki gempal bersemangat.
"Orang gagah sepertimu, kalau jadi pemimpin, musuh akan menumpas pasukanmu dalam sekejap. Paham, Riam!"
Dibentak Lintang membuat Riam tergagap. Rimpa pun jadi tidak enak untuk menyela. Bagaimanapun mereka lain perguruan.
"Kalian pasti tahu, di negeri kita ini pendekar ratusan jumlahnya. Di puluhan negeri lain disepanjang alam Kerinci ini juga ada ratusan pendekar. Bila digabungkan bisa jadi ribuan. Benar, kan?"
Riam dan kawannya mengangguk.
"Ribuan orang itu punya semangat semua, punya keberanian naga dan harimau di dada mereka. Tapi, coba kutanya, ada berapa nama pendekar yang kau kenal?"
Adik seperguruannya mengerutkan kening. Apa maksud Lintang? Jelas mereka sedang mempertanyakan sikap penguasa negeri, tapi Lintang bicara tentang pendekar. Ini ibarat menyandingkan nasi dan lemang. Sama-sama bisa di makan, tapi bukan pada waktu yang bersamaan.
Rimpa tersenyum. Ia mulai paham arah pemikiran Lintang. Ia kagum sekaligus malu, karena pemuda yang berjalan disampingnya ini bukan hanya senior dalam beladiri bagi adik-adik seperguruannya, tapi juga punya pemikiran lebih jauh ke depan.
"Untuk menjadi besar seseorang tidak bisa hanya mengandalkan nyali. Bila kalian baru mulai belajar memegang tangkai pedang, lalu disuruh terjun menghadapi seribu pedang, apa kalian mau?"
Riam terdiam. Adik seperguruan termuda juga diam, hanya pemuda ceking berwajah manis memberi alasan dengan ragu, "Tergantung penyebabnya, Kak."
"Penyebabnya misalkan di belakang seribu pedang itu ada kekasihmu."
"Aku akan terjun. Akan kuhancurkan seribu pedang itu!" Teriak pemuda itu sambil setengah tersentak.
"Benarkah, Ranji?"
"Benar!"
Riam dan lelaki termuda mengangguk setuju. Terlalu sensitif hal yang kakak seperguruan mereka katakan itu. Seolah Lintang lupa bahwa Ranji baru dua hari ini bisa mendapatkan hati perempuan idamannya setelah berjuang selama lima tahun.
"Kau mati dan kekasihmu menjadi milik orang lain," ujar Lintang sambil terkekeh kecil.
"Apa maksud kakak seperguruan?" Suara Ranji terdengar agak gemetar. "Aku lebih baik mati dari pada jadi pengecut."
"Siapa yang menyuruhmu jadi pengecut?"
Riam dan lain-lain mulai melihat Lintang menjadi sosok yang plin-plan. Ini bukan Lintang yang mereka kenal.
"Kau baru bisa memegang pedang dan senjata itu belum bisa kau gerakkan untuk melancarkan meski hanya satu jurus pun. Lalu kau hendak melawan seribu pedang ... mati konyol itu jawabannya." Kekeh Lintang kembali terdengar.
"Siasat, itu yang dilakukan oleh orang-orang berani panjang akal. Kalau pedangmu belum mampu menyelamatkanmu, kau punya cara lain. Bukankah kau bisa membuat api, bakar seribu pedang itu. Atau jika kau punya batu, lempari seribu pedang itu, bila ada jalan air, banjiri pedang itu. Kekasihmu selamat, kau selamat dan orang-orang pun memuji kejeniusanmu."
Semua orang termasuk Rimpa mendadak menemukan pencerahan. Pengajaran Lintang malam ini banyak mendobrak makna kata 'jantan' yang menjadi prinsip hidup mereka selama ini.
"Ingat kata-kataku. Jika suatu saat nanti kalian bertemu lawan setara baik dalam ketangkasan beladiri dan kesaktian, kemenangan kalian hanya bisa ditentukan oleh yang pintar bersiasat."
"Terima kasih, Kak," kata Ranji, "sekarang baru terbuka pemahamanku. Lalu apa hubungannya dengan berapa banyak nama orang sakti yang kami ketahui?"
Lintang menatap Rimpa, "Saudara Rimpa, kau bisa membantuku untuk menjelaskan? Walau bagaimanapun, memandang kedekatan guru kita saat ini, maka aku dan adik seperguruanku ini sudah sama seperti saudaramu."
Rimpa melengak sebentar, lalu tawanya pecah berderai. Sambil menepuk Pundak Lintang ia berkata, "Hebat, hebat. Kalian akan tumbuh menjadi besar dibawah bimbingan kakak seperguruan kalian ini."
Pembicaraan mereka terputus karena mereka telah sampai pada tempat guru mereka menunggu. Sementara sebagian warga yang rumah mereka tidak jauh dari rumah penguasa negeri telah terlebih dahulu berangkat.
Hanya para orang-orang tua dan sebagian pemuda yang ingin berjalan bersama rombongan Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang saja yang sabar menanti kedatangan Lintang dan kawan-kawan.
"Guru, tuan hulubalang mengatakan, yang mulia penguasa negeri mengundang kita untuk membahas kejadian kemarin serta ingin menambah susunan keamanan negeri." Kata Lintang.
Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang mengangguk, "Mari kita berangkat," katanya.
Cukup besar juga jumlah rombongan itu. Langkah kaki mereka diselingi obrolan ringan. Tawa kecil dan seruan kagum kerap terdengar. Topik mereka masih tidak jauh dari Punian Abang, Sle Lintang Sembilan, Pedang Tanpa Tanding, Pedang Halilintar dan kawan-kawan.
Seumur hidup memang baru kali ini mereka menyaksikan adu kesaktian yang sangat mustahil. Selama ini mereka menyangka hal itu hanya ada di dalam dongeng, tapi kenyataan berkata lain.
"Lanjutkan lagi pembahasannya Kak Rinpa," pinta Riam. Pernyataannya segera disetujui oleh yang lain.