Dalam kerumunan warga kota, di belakang guru mereka masing-masing, Riam dan kawan-kawannya menatap Lintang penuh penghormatan.
Apa yang diucapkan pemuda itu terbukti pada malam ini juga. Akhirnya mereka semakin memahami sebuah perbedaan antara sikap berani dan sikap gegabah.
Menyimpulkan jalan pikiran penguasa negeri yang telah berada pada level kesaktian ksatria perunggu tahap akhir, dengan pola pikir mereka yang masih berada pada level dasar pertengahan satu bintang, sungguh sama seperti kura-kura yang mencoba menilai kemampuan harimau.
Pikiran Riam dan yang lainnya masih berkutat pada kekuatan, sementara pemikiran penguasa menyeluruh pada keamanan rakyat banyak.
'Selamat Guru Sintuh, agaknya impian anda yang menginginkan Lintang menjadi hulubalang negeri ini akan terwujud tidak lama lagi." Guru Tiga Jarang menyalami kawannya.
"Aku juga memberi selamat atas peruntunganmu pada murid pertama Rimpa. Setelah dia menjadi hulubalang, pamor anda juga akan ikut naik."
Mereka saling mengangguk dengan mata memancarkan kepuasan. Guru mana yang tidak bangga apabila bisa mengantar muridnya membuka gerbang masa depan yang lebih baik.
Selama ini, sebagian besar hulubalang berasal dari negeri lain di sepanjang alam Kerinci. Sebagian ada juga dari anak negeri sendiri yang didikan awalnya dari para guru silat, lalu diteruskan pembinaannya oleh panglima perang.
Itu semua karena persyaratan masuk menjadi hulubalang yang terlalu tinggi, yakni level dasar tiga bintang.
Kini, apabila penguasa negeri mau membantu tingkat pelatihan warganya, dapat dipastikan, beberapa bulan ke depan akan muncul ratusan hulubalang baru.
Akhirnya pada malam itu juga, penguasa negeri memerintahkan panglima perang mengumpulkan para guru beladiri dan para jagoan. Sementara yang lainnya diperbolehkan untuk pulang.
Panglima perang bersama lima pengawal pribadinya hulubalang level dasar tujuh bintang segera turun dari anjungan rumah besar.
Buru-buru guru beladiri bersama para jagoan memberikan penghormatan lalu menghampiri sang panglima.
Ada 15 orang guru beladiri beserta 85 jagoan level bintang dua yang tidak terikat pada perguruan manapun.
Lima belas guru beladiri tersebut berasal dari gelanggang kecil dan besar. Mereka ada yang membuka perguruan untuk umum, ada yang hanya menurunkan pada keluarga dan ada juga yang hanya mempunyai murid tunggal.
Panglima perang tersenyum dan mengangguk pada seorang lelaki usia pertengahan, berperawakan tinggi besar. "Guru Pulanteh, berapa banyak murid yang kau latih sekarang?"
Lelaki itu menjawab hormat, "Gelanggangku hanya memiliki satu orang murid berbakat yang sekarang masih berjuang untuk menembus level dua bintang."
"Bagaimana murid yang lain?"
"Masih berada pada tahap satu bintang yang mulia panglima. Bahkan banyak yang masih berusaha untuk bisa masuk ke dasar awal satu bintang."
Panglima perang memerintahkan hulubalangnya memberikan buli-buli yang berisi sumber daya pelatihan.
Di sini terlihat perbedaan level pelatihan itu. Untuk satu orang murid yang dalam tahapan menembus level dua bintang, buli-bulinya sebesar telapak tangan. Sementara untuk murid yang baru pembentukan dasar dan murid level satu bintang, meski jumlah mereka tiga puluhan orang di perguruan Guru Pulanteh, tapi buli-buli untuk mereka semua cuma sebesar tiga jari.
Guru Sidrap, dengan tujuh puluh lebih murid mendapatkan dua buli-buli juga. Satu seukuran empat jari dan satunya lagi dua jari.
Guru Aka Bajuntai mendapatkan empat buli-buli. Satu seukuran telapak tangan, satu seukuran tiga jari dan dua lagi seukuran dua jari.
Melihat perolehan Guru Aka Bajuntai membuat Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang terpana. Memang guru beladiri yang satu itu agak tertutup. Bahkan ia membangun gelanggangnya di puncak bukit.
Muridnya jarang mengunjukkan kekuatan ketika turun ke dalam negeri, tapi siapa yang tidak kenal kebesaran perguruan Aka Bajuntai. Salah satu murid seniornya saja pernah menghancurkan sarang penyamun Lembah Mati sendirian. Mematahkan tengkuk pemimpin penyamun serta membakar habis sarang mereka.
Kini, murid senior itu yang bernama Senjo Ahi telah berada di tahap akhir dasar level dua bintang. Kekuatannya setara dengan Lintang dan Rimpa.
Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang mendapatkan giliran ke tujuh dan ke delapan.
Mereka cukup puas dengan perolehan yang sama banyak dengan Guru Aka Bajuntai.
Setelah selesai urusannya dengan para guru beladiri, panglima perang beranjak menemui para jagoan level dua bintang.
Jagoan ini kebanggaan negeri. Mereka banyak yang telah melakukan pengembaraan menuju tanah luar, mengukir prestasi dan mengharumkan nama daerahnya.
Seperti jagoan yang bergelar Bayang Ilang. Ia pernah menyelamatkan anak raja negeri lain dari kepungan lima ekor harimau.
Hanya berbekal tongkat bambu, ia halau harimau-harimau itu masuk hutan, seperti orang menghalau itik.
Kemudian Tebuk Kayu, dulunya dia penguasa Gunung Bulan dan Sungai Rindu. Seratus perampok tunduk jadi bawahannya, berkeliaran melakukan kejahatan di sepanjang gunung dan aliran sungai.
Tapi, pertemuannya dengan Dewi Baik, mengubah jalur hidup lelaki perkasa itu. Sebelum mereka melangsungkan pernikahan, Tebuk Kayu membubarkan kelompoknya, lalu ia berkeliling mengunjungi negeri, menyebarkan kebaikan serta mendermakan harta hasil merampoknya dulu.
Kini, dia penghulu yang mengepalai seratus jiwa di ujung timur negeri. Untuknya, panglima perang memberikan buli-buli seukuran telapak tangan.
Sementara si Pemecah Batu, jagoan lurus berangasan yang apabila meremas batu sama seperti meremas bahu, mendapatkan buli-buli seukuran empat jari tangan. Berarti dalam segi pencapaian ia masih di bawah Lintang dan kawan-kawan.
Pertengahan malam, selesai sudah semua pembagian. Setelah berbasa-basi sejenak, semua orang itu pun beranjak pulang, karena esok hari mereka akan mulai melarutkan isi buli-buli, lalu masuk ke dalam masa pelatihan tertutup.