Dengan terburu-buru Kiya menuruni tangga menuju meja makan, hampir saja jatuh kalau saja ia tidak langsung pegangan pada railing.
"Sarapan dulu dek" Ujar Gio yang sudah duduk di meja makan, menyiapkan sarapan untuknya dan juga Kiya.
FYI, mereka cuma tinggal berdua. Mama mereka ikut suaminya dinas di luar kota. Jadi untuk sementara disini Gio yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Kiya maupun rumahnya.
"Keburu telat entar. Udah ah Kiya duluan yaaa." Kiya menghampiri Gio untuk berpamitan. Tidak lupa juga dia mengecup kedua pipi abangnya, dan langsung bergegas keluar rumah.
Gio yang menyaksikan kepergian adiknya hanya menggeleng.
###
Kiya berlari ke depan komplek rumah untuk menunggi angkot. Dan sialnya hanya beberapa yang lewat dan tidak mau berhenti waktu di stop karna penumpangnya penuh.
Jarak dari rumahnya ke sekolah memang tidak begitu jauh. Tapi jika berjalan kaki, cukup mampu membuatnya ngilu dan tidak bisa berjalan mungkin selama seminggu.
Tapi apa daya? Kelas dimulai 8 menit lagi, Kiya mau tidak mau memilih berjalan kaki. Perlahan tapi pasti ia mulai melangkahkan kakinya semakin cepat mengingat ia malas sekali mendapat hukuman dari petugas piket jika terlambat.
Tin Tin..
"Apalagi sih?" Kiya menoleh. Ada mobil asing berwarna hitam melaju beriringan di sampingnya. Kiya sedikit berjalan lebih ke pinggir lagi.
"Perasaan gue udah minggir. Masih aja di klakson." gerutunya.
Tin Tin Tinn..
Klakson dari mobil itu terdengar lagi, membuat Kiya kembali menoleh. Gadis itu mulai parno sendiri, ditambah keadaan mobil yang benar-benar tertutup rapat dan gelap. Ya, meskipun terlihat mewah.
Sial.. Jangan-jangan itu penculik? Pikiran-pikiran negatif mulai terlintas di otaknya. Meskipun jalanan ramai, orang-orang di sibukkan dengan urusannya masing-masing.
Menyadari itu, Kiya mempercepat langkahnya kembali dan tidak berani menoleh ke belakang. Tapi dari sudut matanya, terlihat jika mobil hitam itu masih setia mengikutinya.
BRUUKKK
Karena fokus dengan kegiatan berfikirnya, Kiya terjatuh dengan mengenaskan ditrotoar. Ia meringis, untung saja kakinya tidak terluka parah. Hanya luka dan goresan kecil. Tapi perihnya jelas terasa karena lukanya bercampur dengan tanah. Mau berdiri, kakinya masih bergetar.
"Ya Allah, Kiya!"
Kiya mengangkat kepalanya begitu mendengar seruan seseorang. Sebuah tangan terjulur dan membantunya berdiri.
"Loh, Derys?"
Disamping rasa sakit tadi, kini rasa malu mulai muncul. Pertama, dia mengira sudah diincar oleh penculik yang ternyata adalah kekasih - ralat - calon kekasihnya. Kedua, kenapa mereka harus dipertemukan dalam kondisi seperti ini? Kondisi dimana Kiya melepas rasa rindu dengan trotoar.
Kiya sedikit menahan nafas tidak percaya, orang yang membantunya ini adalah Derys. Sang pujangga hatinya. Aroma musk terjebak di hidungnya, membuat Kiya ingin mengendus-endus cowok itu. Tapi untungnya dia masih sadar diri dan punya malu.
Kalian harus percaya, ini bisa dibilang sedikit lebih baik daripada sadar dari mimpi menggenggam tangan Mark tadi pagi. Walau harus di sertai rasa malu.
"Gue klakson dari tadi lo malah lari. Padahal, gue mau ngajak bareng lo." kata Derys.
"Hah? Serius?" Pekik Kiya. Matanya membulat lucu.
Derys mengannguk, "Iya, mau nggak? Ini udah hampir jam masuk soalnya. Takutnya entar lo malah telat.."
Ingin rasanya Kiya salto dan guling-guling karena begitu senang. Wajahnya kini juga mulai panas, ia yakin kini wajahnya sudah merah padam.
"Gue mau kok! Ayo!!"
Belum sempat Derys menanggapi, Kiya dengan tidak sopannya langsung ngacir membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang.