Leyana Magdalena Permana, gadis cantik dengan kulit putih yang memiliki rambut panjang berwarna coklat ini sedang fokus pada map file biru yang terletak di meja kerjanya. Sepertinya data calon rekanan pada proyek pembangunan Mall di Kota B cukup banyak peminatnya. Leya, begitu dia biasa di sapa benar-benar tenang membaca satu-persatu kelengkapan data calon rekanannya. maklumlah sebagai pewaris Mikatana Group, perusahaan besar yang menguasai segala bidang industri dan bisnis di negara Y, dia tidak boleh gegabah. keputusan siapa yang menjadi rekanan perusahaannya telah dipercayakan sang ayah padanya.
"Wina, coba kamu bawa seluruh berkas perusahaan Yayo keruangan saya". Terdengar perintah Leya pada Wina sekretarisnya melalui telepon yang tertata di meja kerjanya.
Bergegas Wina masuk ke ruang kerja Presdir, "ini Bu semua berkas yang anda minta". Wina menyerahkan satu bundelan besar berisi berkas perusahaan Yayo.
"Ada lagi Bu yang bisa saya bantu?" tanya Wina saat melihat sang presdir langsung larut dalam bahan bacaan barunya.
"sementara cukup, kamu boleh keluar". Jawab Leya singakat.
"Maaf Bu, sudah hampir jam makan siang. Apa tidak sebaiknya saya pesankan menu makanan untuk Ibu?". Wina berusaha mengingatkan presdir cantik yang gila kerja itu.
Leya melihat jarum jam pendek dan panjang yang menghiasi bagian dalam jam tangannya. "Sepertinya saya tidak lapar Wina". Jelas Leya pada sekretarisnya.
"Memang belum lapar atau karena berencana tidak mau makan Bu?" Tanya Wina penasaran.
Sesaat Leya menghentikan aktivitas membacanya. Disandarkannya tubuh langsingnya pada sandaran kursi kerjanya. "Saya bosan Wina makan menu di luar. Saya rindu makanan olahan rumah, tapi karena pekerjaan sedang banyak-banyaknya saya belum bisa mengunjungi orang tua untuk menikmati masakan Mama". Jelas Leya sambil menatap mata Wina.
"Emm, apa Ibu mau mencicipi masakan saya? memang hanya makanan sederhana Bu tapi asli masakan saya sendiri". Senyum Wina pada majikannya itu.
"Oya, kamu bisa masak Wina?" Tanya Leya tidak percaya.
"Hahaha", tawa pelan Wina saat mendengar suara tidak percaya sang majikan. "Iya Bu, saya bisa masak. Seperti yang saya jelaskan tadi Bu, hanya masakan sederhana. Masakan kampung saja. sejak kecil saya sudah terbiasa melihat Mama mengolah makanan menjadi menu enak untuk kami. Saat umur empat belas tahun, Mama memberi izin pada saya untuk mencoba memasak sendiri menu-menu yang saya suka dan akhirnya saya jadi bisa memasak Bu". Ujar Wina.
"Dan sekarang menu makanan di rumah untuk suami dan anak mu, apa kamu juga yang memasaknya?" Leya sangat penasaran untuk tahu.
"Benar Bu, saya selalu menyiapkan menu makanan untuk suami dan anak saya. Tetapi saat kita terpaksa lembur, maka si Mbok yang akan membantu saya memasak". Wina tetap sabar menjawab pertanyaan sang presdir.
"Luar biasa kamu Wina, kamu bisa memasak ternyata. Saya kagum padamu". Ucapan tulus Leya pada sekretarisnya. Bukan tanpa sebab Leya memuji Wina dengan kemampuan memasaknya. Sebab dia sendiri di usia 27 tahun tidak pernah mengerti cara memasak. Bahkan memasak nasi menggunakan alat listrin saja dia tidak bisa apa lagi harus mengolah jenis rempah-rempah, sayur-mayur, ikan, daging atau umbi-umbian untuk dijadikan makanan.
Wina tersenyum mendengar pujian majikannya, "Ibu terlalu berlebihan. Bukankan wajar seorang wanita bisa memasak?"
Leya terdiam, kata-kata Wina barusan terasa menohok ke hatinya.