"Suster tolong saya cepat!" teriak pria itu. Ia sangat tidak sabar dengan tindakan para tim medis yang dia anggap lelet. Padahal, ia sudah menarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk IGD.
"Maaf, apakah anda keluarganya?" tanya salah satu suster yang masih berada di luar. Sedangkan Alea sudah dibawa masuk ke dalam oleh para perawat yang lain.
"Di situasi sedarurat ini apakah perlu menanyakan hal itu? Tenang saja. Saya yang membawanya ke mari. Saya juga yang akan tanggung biayanya!"
"Maaf, Tuan. Bukan itu maksud saya," jawab suster itu dengan gentar.
"Iya, saya pacarnya. Tadi menemukan dia tergelatak di jalan dengan kondisi seperti itu, cepat lakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa kekasih saya! Berapapun akan saya bayar!" jawab pria itu penuh penekanan meskipun memohon. Tapi, emosinya masih sangat kentara sekali.
"Baik, silahkan anda urus semuanya di bagian administrasi," jawa wanita itu, kemudian masuk ke dalam ruangan IGD.
Dengan patuh, pria berdarah blasteran Indonesia-Jerman itu pun menuju ke bagian administrasi. Bukan karena dia patuh dengan perawat silakan itu. Tapi, ia lakukan itu semata-mata demi gadis yang ia cintai, Alea.
Beberapa puluh menit kemudian Alea sudah dipindakan di ruang rawat, ia juga sudah sadar, melihat seorang pria tertidur bersandar di sebelah kirinya ia berbaring.
Dengan ragu Alea menyentuh pundak pria itu. "Ma... Axel," ucapnya lirih.
Ya dia adalah Axel Maxmiliam, pria berdarah Jerman dengan mata abu-abu kebiruan, terperanjat kaget segera bangun, terukir senyuman bahagia atas kesadaran Alea di wajah letihnya.
"Kamu sudah sadar Alea? Apa yang terjadi padamu? Apakah kau korban rampok?" cecarnya.
"Oh, kamu yang menolongku? Emang kamu dari mana?" ucap Alea malah tanya balik. Bukannya menjawab.
"Kebetulan, aku baru pulang dari rumah temanku, di jalan ada sosok tergeletak, aku syock banget setelah tahu itu kamu, Lea! Kamu kok bisa sampai di sana, sih?"
Alea memutar bola matanya, mendesah kesal dan membuang muka dari Maxmiliam. "Panjang ceritanya. Aku tidak akan cerita sekarang sama kamu," jawabnya sedikit ketus. Sebab, ia mulai merasa sakit pada luka tusukan di perutnya.
"Kamu kehabisan banyak darah, Lea! Kau tahu, untung persediaan darah di rumah sakit ini yang sesuai dengan golonganmu ada, kau sampai habis tiga kantong, bagaimana aku tidak cemas, Lea?"
"Sekarang aku sudah baik-baik saja, jangan cemasin aku lagi, ya? Kamu bisa pulanglah!" jawab Alea lembut. Ia merasa tidak enak sudah banyak merepotkan atasannya dalam hal pribadi.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri di sini, Alea!" jawab Axel, kekeuh pada pendiriannya.
"Aku ingin sendiri," Alea membuang muka. Jujur, di saat seperti ini, dia sangat risih jika ada orang asing berada di dalam ruangannya.
"For this night, pleasse izinkan aku menjagamu!" Pria itu meraih tangan kanan Alea. Menggenggam erat memberi kehangatan sambil menatapnya lekat penuh permohonan yang sulit untuk ditolak oleh siapapun.
"Yasudah." Akhirnya Alea pun menyerah juga.
"Kamu lapar?"
Alea mengelengkan kepalanya, tersenyum memandang Axel.
"Alea, kau tidak mengabari ibumu? Atau, ayahmu?" tanya Axel lagi. Sebenarnya sudah sejak tadi ia ingin mengabari keluarganya Alea. Tapi, dia sendiri tidak memiliki kontak salah satu dari mereka.
"Tidak! Aku mohon, jangan kabari mereka dulu, jika kondisiku sudah membaik saja tidak apa-apa," jawab Alea.
Axel mengangguk, menuruti permintaan Alea, "Kamu istirahat dulu gih!" serunya, sambil merapikan selimut Alea.
"Lalu, bagaimana denganmu? Apakah tidak masalah jika kau tidur di sofa malam ini?" Gadis itu mengatakan dengan ekspresi sungkan. Sedekat apapun dia dengan pria di hadapannya. Tetap saja, dia adalah seorang bos. Atasannya.
"Ya tentu saja tidak masalah. Memang, jika aku mempermasalahkan itu, apakah mungkin kau mau berbagi ranjang denganku?"
Alea tertawa, kemudian memegangi luka tusuk di perutnya yang terasa ngilu.
"Maafkan aku, Alean ya sudah. Kau segeralah tidur," ucap Axel. Sambil mengelus punggung tangan Alea. Tapi, gadis itu hanya diam tenang tanpa bisa memejamkan matanya. Ada banyak sekali hal yang dia pikirkan
Tak lama kemudian Max kembali tertidur di tebi ranjang Alea, alea mengamati punggung pria itu yang nampak lelah.
Tangannya perlahan bergerak membelai kepala pria itu. Dengan lembut diusapnya berulang-ulang.
Alea tersenyum, dalam hati ia berkata, 'Aku bahkan sempat merasa risih dengan kedatanganmu. Dekat denganmu adalah hal menyebalkan bagiku. Tapi, Sepertinya mulai saat ini tidak."
Punggung Axel yang akrab disapa Max oleh staf dan coleganya itu naik turun secara teratur seiring berhembusnya nafasnya.
"Kau yang paling awal kulihat di kantor, kau selalu sabar dengan sifatku, bahkan saat aku terluka kau pula yang pertama ada, maafkan aku Maxmiliam!" ucap Alea lagi. Sambil meletakkan tangannya pada pundak Axel lalu kemudian ia pun juga terlelap.