Beberapa orang berdebat didepan tangga lantai tiga gedung H ketika melihat keributan dibawah. Ada yang berpendapat hal itu adalah rekayasa dan mereka memutuskan untuk turun lalu menuju ke rumah masing-masing. Ada pula yang berpendapat itu nyata, mereka yang berpendapat seperti itu menuju kelas kosong yang berada pada lantai tiga dan empat. Lalu ada yang mencoba mendobrak tangga darurat untuk menyelamatkan diri mereka. Rena, Anin, Diah, Jessi dan Sarah mengikuti kelompok yang sedang berusaha membuka pintu darurat.
Teriakan demi teriakan yang terdengar dari lantai-lantai bawah membuat nyali mereka ciut, pintu pun tak kunjung terbuka. Terlihat seorang wanita terpatah-patah datang dari tangga utama, melihat hal itu membuat mereka yang berada didepan pintu darurat diam, sebagian menutup wajah mereka tak kuasa melihat keadaan sang wanita. Wajah hancur penuh dengan koyakan bekas gigitan, darah yang bercucuran dan bau busuk yang menyengat membuat orang-orang disana menutup hidung dan mulutnya guna menahan bau tidak sedap yang menyerang indra penciuman mereka. Sebagian dari mereka berdecak, antara bingung, terkejut dan meremehkan, masih belum percaya dengan apa yang mereka lihat.
Wanita itu hendak berlari, namun kaki yang tidak merespon sehingga membuat dirinya menyeret tubuh besarnya. Beberapa orang hendak tertawa, masih menganggap ini hanya lelucon tidak lucu, 'mungkinkah ada diantara mereka ada yang berulang tahun hari ini?'
Seorang pemuda yang tadi ikut mendobrak pintu menghampiri wanita itu dan menepuk bahunya. "Hey, sudah cukup bermainnya. Kami ingin pulang. Ah acara kampus macam apa ini?"
Hening, tidak ada respon. Tiba-tiba wanita itu mencengkram tangan si pemuda yang berada dibahunya. Terkejut karena tangannya ditarik, si pemuda berusaha melepas cengkraman wanita itu, mereka yang melihat kejadian itu menahan napas ketika sang wanita menarik keras tangan si pemuda dan menggigitnya.
"Hey apa-apaan ini? Kau tidak paham? Ini sangat sakit, berhenti bermain-main." masih tetap tidak merespon ucapan si pemuda itu, si wanita justru mengigit lebih dalam lagi daging yang terdapat pada lengan pemuda itu, pemuda itu meringis kesakitan dan mencoba untuk berteriak. Pemuda itu menendang wanita tadi, menjatuhkannya kebawah, 'masa bodoh jika wanita itu terluka,' pikirnya.
"Cepat! Kita harus berhasil membuka pintu ini," pemuda tadi kembali pada rombongannya, beberapa orang disana curiga jika hal tersebut hanya actingnya saja, tapi beberapa orang berpikir logis saat melihat luka pria itu yang sangat parah dan terlihat nyata, tangannya terkoyak membuat daging pada lengan itu keluar. Jijik melihat hal itu, Rena menutup mulutnya. "Hey, bisakah kau tutup lukamu? Itu mengerikan."
"Benar, aku punya sapu tangan, pakailah." Seorang pemuda bertubuh besar memberikan sapu tangan pada pemuda tadi dan dililitkannya pada luka dilengannya, ia meringis kesakitan ketika sapu tangan itu menyentuh lukanya. Yang berada disana tidak mengetahui apa yang dipikirkan pemuda itu, mereka hanya berpendapat 'actingmu bagus bahkan terlihat nyata.'
Saat pintu berhasil terbuka, mereka langsung berebut turun begitupun pemuda yang terluka tadi, ia menerobos kerumunan agar bisa keluar, mendorong orang-orang yang berada didepannya hingga terjatuh. Rena, Anin, Diah dan Jessi yang berdesakkan memilih untuk menyingkir sebentar hingga yang berada didepannya turun semua. Hal itu membuat beberapa orang disebelahnya mengikuti mereka berempat. Namun Sarah sudah terbawa oleh arus yang ada disana.
Saat Rena, Diah, Anin, Jessi dan beberapa orang lagi hendak turun. Orang-orang aneh itu mulai mengejar mereka yang sudah berada dibawah, termasuk Sarah. Jessi hendak berteriak namun mulutnya ditutup oleh tangan Diah dan berkata pelan "kurasa ini nyata, bukan acting atau apapun itu." Jessi yang mendengarnya pun menatap nanar pemandangan dibawahnya, air mata seolah tak dapat dibendung lagi, Jessi menangis seketika itu juga, bukan hanya Jessi, mereka yang ada disana pun melakukan hal yang sama seperti yang gadis itu lakukan. Entah bagaimana nasib mereka.
Tak sanggup berkata apapun, hanya tangisan yang meliputi mereka, ingin rasanya turun kebawah menolong mereka, membayangkan teman-teman mereka yang ketakutan. Sayang, mereka hanya bisa berharap bahwa teman-teman mereka akan baik-baik saja dan berhasil meloloskan diri.
Saat berbalik, mereka mendengar beberapa langkah kaki menaiki tangga dengan pelan. Seketika rasa panik kembali menyerang, langkah itu semakin dekat, sekelebat bayangan mulai terlihat. Suasana kembali gaduh, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seseorang mengangkat tangannya menyuruh mereka diam.
"Kita sembunyi dikelas saja dulu," Anin berkata guna menenangkan mereka, walau dirinya pun tak tenang. Anin segera menuju kelas terdekat yaitu kelas H.3.A yang langsung diikuti beberapa orang dibelakangnya, ada pula yang memasuki kelas H.3.B.
Pintu mereka tutup pelan, suasana gelap dan mencekam menyambut mereka. Suara aneh yang mereka ketahui dari ketiga orang diluar sudah mendekati kelas, membuat bulu kuduk mereka semakin berdiri. "Kalian! Laki-laki yang ada disana," ucap seorang pemuda dengan perawakan yang tidak terlalu tinggi sedang mengetuk-ngetuk meja dosen pelan, beberapa lelaki yang mendengar perkataan pemuda itu menoleh, "-bantu aku mengangkat meja ini ke pintu." Seolah mengerti dengan perkataannya, mereka yang sedari tadi duduk diam kini berdiri dan menghampiri sang pemuda. Lalu mereka berempat mengangkat meja dosen dan menaruhnya dipintu guna untuk mengganjal pintu agar mahkluk yang ada diluar sana tidak menerobos masuk.
Sekelebat bayangan melewati pintu kelas. Mereka yang berada disana menahan napas dan berusaha tidak mengeluarkan suara apapun. Setelah menunggu beberapa saat, mereka menghembuskan napas lega ketika yakin keadaan sudah aman.
"Apa ini nyata? Maksudku, ini bukan iseng orang-orang, kan?" tanya seorang gadis dengan pakaian yang cukup ketat dan lipstick merahnya.
"Menurutmu?" seru seorang gadis dengan wajah dingin dan tatapan tajam, membuat gadis yang memakai lipstick merah itu kesal dengan jawaban gadis dingin itu.
"Hey!" panggil gadis berlipstick merah itu pada Rena yang masih diam bersender ditembok, meredakan shock sekaligus mual yang menjalar diseluruh tubuhnya. Rena menoleh pada gadis itu, mengerutkan dahinya seolah bertanya 'Ada apa?'
"-kau bilang ini hanya acting? Apa maksudmu? Cepat beritahu, kami semua yang berada disini ingin kejelasan darimu." Rena tidak paham dengan ucapan gadis itu, Rena tadi berkata demikian karena itu adalah pendapatnya, dia sama sekali tidak tahu jika hal tersebut adalah nyata.
"Kenapa diam? Cepat jawab!" gadis tadi menghampiri Rena dan mencengkram tangannya.
Jessi yang melihat hal itu kesal "Tenanglah, kami berempat sedang berpikir tentang ini. Jika kau mempermasalahkan ucapan Rena tadi, dia hanya panik dan beranggapan seperti itu, bukan berarti dia tahu apa yang sedang terjadi." Diantara Rena, Diah, Jessi dan Anin. Jessi lah yang lebih tua dan lebih dapat berpikiran dewasa.
"Aku takut, kau tahu itu?!" suara gadis itu sangat tinggi dan membuat mereka yang berada dalam kelas itu tidak nyaman. 'Bagaimana jika karena dia, kami semua mati?' pikir beberapa orang yang ada disana, para pemuda yang tadi mengangkat meja mengusap wajah mereka, lelah. 'Perempuan hanya bisa merengek pada situasi seperti ini, merepotkan.'
"Memangnya kau saja, kami yang berada disini juga sama," kini Rena membuka suaranya "-jadi diamlah." Sambil mengetik pesan pada orang tua dan adiknya.
"Ini semua karenamu!" ucap gadis itu menyalahkan, Diah yang sudah tidak tahan mendengar ucapan gadis menor itu kini membuka suara. "Bisakah kau diam. Kau ingin memancing mereka kemari?"
"Iya, diamlah," ucap Anin memutar matanya jengah mendengar ocehan gadis dengan dandanan menor itu, Diah mencoba menenangkan gadis itu yang mungkin akan menjadi sumber masalah bagi mereka. Gadis itu diam setelah dia melihat tatapan orang-orang yang ada di sana tertuju padanya, ia lalu duduk menjauh dari mereka yang berkelompok.
Rena, Jessi, Diah dan Anin duduk berdekatan, bersenderan pada bahu satu sama lain, mata mereka sembab akibat tangis mereka tadi. "Sarah?" Tanya Jessi pada ketiga temannya, memikirkan Sarah yang entah bagaimana keadaannya. Rena, Diah dan Anin menoleh pada Jessi saat ia mengucapkan nama itu, mereka diam tak sanggup berkata apapun, bahkan percaya pada hal gila ini sungguh sulit.
"Percayalah dia baik-baik saja." Diah berkata seperti itu, berusaha tegar walau hatinya tidak demikian, ia mengkhawatirkan keluarganya. Bukan hanya Diah; Rena, Anin dan Jessi pun sama.
Jessi menghela napas saat melihat ekspresi ketiga temannya, disaat seperti ini ia harus bisa menjadi yang paling tegar diantara mereka, gadis itu berusaha tersenyum menenangkan ketiga temannya. "Hey, percayalah mereka akan baik-baik saja. Jadi sampai saat kita bertemu mereka lagi, kita akan bertahan dan tidak akan ada yang terluka," ucap Jessi yang hanya terdengar oleh ketiga rekannya. Mereka menghela napas pelan dan mengangguk bersama, berusaha berjuang dan bertemu dengan keluarga mereka.
~oo0oo~
Tak disangka waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sebagian dari mereka ada yang tertidur karena lelah dan sebagian lagi terjaga guna melihat keadaan sekitar.
"Semuanya, kami sudah memutuskan untuk keluar dari tempat ini. Berdiam disini pun percuma, kita juga akan mati kelaparan." Ucap pemuda yang tadi mengomando pemindahan meja. Mereka yang sudah lelah menatap pemuda itu heran. Sulit dipercaya bahwa dia berani berkata demikian dengan percaya diri dan tanpa ragu sedikitpun. Menurut mereka tempat ini adalah yang paling aman, diluar sana mahkluk-mahkluk itu berkeliaran dengan bebas. Tidak ada yang dapat menjamin apa yang terjadi jika mereka nekat keluar dari sini.
"Hey siapa namamu?" tanya Rena, lelaki itu menoleh pada Rena dan tersenyum kecil. "Rendra Mahendra, kau?"
"Rena Mahestri." Singkat, padat dan jelas. Memang gaya Rena sekali.
"Jadi siapa yang akan ikut?" tanya Rendra memastikan lagi, mereka yang ada disana diam tak menjawab, kecuali Rena yang berdiri, melihat Rena berdiri membuat Anin, Jessi dan Diah terkejut, tidak percaya bahwa Rena akan membuat pilihan yang beresiko pada keselamatannya.
"Ini seperti bertaruh." Anin melirik Diah dan Jessi.
"Aku takut, aku ingin muntah, rasanya kepalaku berat dan ingin pingsan tapi aku ingin bertemu orang tua dan adikku," ucap Rena. Rendra mengangguk setuju. Namun gadis memakai lipstick merah itu justru tertawa sinis meremehkan Rena. Anin, Jessi dan Diah menghela napas dan ikut berdiri mengikuti Rena. Rena tersenyum melihat ketiga temannya setuju.
"Jadi yang ikut hanya ini?" tanya Rendra memastikan kelompoknya yang hanya terdiri dari enam perempuan dan empat laki-laki, sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang memilih bungkam. "-kalian?" memastikan yang lainnya. Gadis dengan dandanan tebal itu berdiri dan mengikuti Rendra dengan gaya sombongnya lalu melirik Rena dan yang lain.
Rendra menempelkan telinganya pada tembok, setelah memastikan tidak terdengar suara apapun, ia menggeser meja dan membuka pintu sedikit lalu melihat keadaan pada celah yang terbuka. Aman, ia memberi kode pada kelompok dibelakangnya. Rena, Anin, diah dan Jessi segera melepas sepatu, membuat yang berada di sana bingung.
"Kenapa lepas sepatu?" tanya gadis berlipstick itu. "Agar tidak ada suara sepatu yang memicu mahkluk itu, ini lantai ubin, dan tangga itu tangga besi." Anin menjelaskan pada mereka, Rendra yang melihat itu tersenyum pada keempat gadis itu dan mengikuti mereka melepas sepatu, kemudian mengendap-endap melewati tangga darurat tadi. Rendra berada didepan melihat sekitar, jika dirasa aman, ia kembali membuat kode untuk kelompoknya.
Saat semua sudah turun melewati tangga darurat, berada diparkiran motor, mereka segera memakai sepatu dan berjalan menuju jembatan yang memisahkan gedung broadcast dengan parkiran. Namun Rendra berhenti dan membuat mereka yang dibelakang bertubrukan. "Ada apa sih?"
"Sssttt," seru Rendra sambil mengacungkan telunjuk tepat didepan mulutnya, ia memberikan kode pada para pemuda yang berada dibelakang, mereka melihat apa yang dimaksud Rendra, menangguk paham, mereka diam dan menunggu mahkluk itu pergi. Walau hanya satu tapi jika ketahuan akan sangat beresiko.
Setelah dirasa aman, rombongan itu segera menuju taman yang berada didepan gedung broadcast. Gadis yang memakai lipstick merah itu menoleh ke belakang memastikan orang yang berjalan dibelakangnya masih aman dan ada di belakangnya untuk memastikan keamanan dirinya. Tiba-tiba wajahnya pucat, ia kaget dan hendak berteriak namun ditutup mulutnya oleh Jessi. Gadis ini akan membawa masalah, pikir Jessi.
Jessi memberikan kode pada pemuda yang paling belakang, menunjuk pada sesuatu yang berada cukup jauh dibelakang pemuda itu, seorang satpam dengan jalan terseret-seret, bagian lehernya terbuka dan dipenuhi bekas koyakan gigi, bukan hanya bagian leher, tangan dan kaki satpam itu pun sama mengerikan dengan wajahnya.
Pemuda itu -Aris, diam tak berkutik, berdoa jika hari itu bukan hari terakhirnya. Mahkluk berwujud satpam itu berbalik dan berjalan menuju tempat parkiran lagi. Mereka mengerutkan dahi bingung sekaligus lega karena doa Aris terkabul. Perlahan mereka kembali bergerak mencari tempat aman.
"Dia buta?" tanya Rena pada Rendra yang berada di depannya, mereka berjalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara.
"Aku masih belum tahu, mungkin saja mahkluk itu tidak melihat Aris karena cahaya lampu yang redup." Ucap Rendra ragu-ragu, setelah dari sini ia akan memastikan ucapan Rena, jika benar maka mereka punya banyak kesempatan untuk keluar dari kampus pada malam hari, dan bersembunyi di siang hari. Tapi sebelum itu ada hal penting lainnya yang mesti ia urus terlebih dahulu, Rendra sedari tadi memegang perutnya yang terus berbunyi dan perih yang dirasa karena lapar, sadar bahwa dirinya belum makanan apapun sejak siang tadi. Rendra menoleh pada teman-teman di belakangnya, wajah mereka masih pucat karena kelelahan dan panik seharian ini. Jessi membasahi bibirnya yang kering, tenggorokannya perlu asupan air. Seketika rasa lapar dan haus menyerang mereka.