Mereka menghembuskan napas lega saat keadaan sekitar mulai tenang. Rendra mengkomando kelompoknya untuk mengikutinya melewati jalan-jalan sempit yang berada dekat kandang kuda. Aris berada di paling belakang dan para perempuan berada ditengah antara Rendra dan Aris.
Mereka berjalan dengan pelan dan berusaha selalu berada ditempat yang gelap. Hampir mendekati koperasi, hanya tinggal melewati beberapa ruangan klub maka mereka sampai dikoperasi. Rendra menyuruh mereka untuk mendekat pada balok-balok kayu yang tertata rapih dibelakang gedung auditorium, menyuruh mereka untuk diam karena beberapa zombie sedang berada tepat didepan koperasi.
Kring kring kring
Mereka menoleh ke asal suara tersebut, dan ternyata suara itu dari ponselnya Anggi. Gadis itu segera mematikan gadgetnya. "Kau tidak matikan ponselmu atau paling tidak jangan aktifkan suaranya?" tanya Rendra yang sangat kesal dengan tingkah Anggi. Sebentar lagi mereka akan menghilangkan rasa lapar dan haus tapi malah berakhir dengan hal bodoh yang membawa mereka pada jurang kematian.
"Maaf aku lupa," Anggi hanya terkekeh sambil menon-aktifkan suara ada ponselnya. Jika ini tidak menyangkut hidup dan mati, mereka pasti akan mengabaikan kalimat singkat itu.
Benar saja suara itu memicu zombie menghampiri mereka. Panik, mereka segera berbalik arah. Aris menoleh ke belakang, pilihan buruk, dia melihat beberapa zombie sekitar sepuluh atau lebih tengah berjalan menuju tempat mereka. "Kita akan kemana sekarang?" mereka berlari semakin cepat, namun hal itu justru memicu para zombie yang berada disekitar menoleh, memperhatikan dan ikut mengejar mereka.
"Sial! Semakin banyak. Sekarang bagaimana?" tanya Aris pada Rendra yang berada paling depan. "Gedung E, cepat!" titah Rendra saat melihat gedung E lumayan sepi, mereka berbalik dan menuju gedung E, mencoba menekan lift yang berada disana, namun sayang lift tidak menyala. Aris segera menaiki tangga dibelakangnya diikuti oleh Rendra dan yang lain.
Saat sampai tangga lantai dua, Aris diam, bulu kuduk berdiri. "Kenapa diam? Mereka akan kesini, cepat naik!" titah Anggi, Aris menoleh kesal pada Anggi, Ini karena kau, kita jadi seperti ini, pikir Aris sambil menunjuk sesuatu yang berjalan disekeliling lantai dua.
"Aris, berjalan perlahan. Cepat! Coba untuk berjalan mendekati tembok" Aris segera mengikuti intruksi Rendra dan berjalan perlahan menaiki tangga menuju ke lantai tiga. Lantai dua mereka lewati begitu saja karena disana tidak mungkin untuk mencari tempat aman.
Rena dan Anin merasa aneh dengan kelakuan para zombie itu, mereka bertatapan satu sama lain. Tapi zombie itu hanya melewatinya. Tatapan Rena seolah memberikan kode 'Sepertinya benar, sebagian indra mereka jadi malfungsi', yang di balas oleh anggukan Anin.
~oo0oo~
Mereka yang mendengar suara ribut dibawa mengutuk kesal dan berharap hari itu bukan hari terakhir mereka. "Akan saya cek," ucap salah satu pria yang terlihat lebih dewasa dari mereka yang ada di sana.
"Jangan pak. Disana berbahaya," ucap salah satu mahasiswa mengingatkan pria tadi –Bian Angkasa Putra yang diketahui adalah salah satu dosen dari Fakultas Ilmu Komunikasi di universitas itu. Bian tersenyum guna menenangkan beberapa mahasiswanya yang panik, "jangan khawatir. Bagaimana jika mereka butuh pertolongan?" Bian segera keluar dari lab, beberapa mahasiswa menutup pintu kembali. Bian segera turun dan melihat kekacauan yang terjadi dibawah, ia berjalan dengan perlahan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
~oo0oo~
Rendra dan kawan-kawan mendapati jalan buntu, mereka salah memilih tangga, seharusnya mereka memilih tangga depan bukan belakang. "Bagaimana?" tanya Anggi pada mereka, beruntunglah zombie yang dibawah sudah tidak mengejar mereka lagi, tapi masalah lain muncul.
"Apa sebaiknya kita mencari kelas kosong disini?" tanya Diah sambil melirik kanan dan kiri yang terdapat pintu-pintu tertutup, berharap kosong dan dapat dijadikan tempat beristirahat. Mereka setuju dengan Diah dan berjalan menuju kelas-kelas kosong, namun sayang Anggi sedikit berteriak karena dia tidak sengaja menyentuh sesuatu, yang ternyata adalah zombie, hal itu membuat zombie yang berada di sana menghampirinya.
"Cih, dasar perempuan. Membuat masalah saja," ucap Aris, segera menghampiri Anggi dan menghalau zombie-zombie itu, mendorong Anggi, menyelamatkan gadis itu. Anggi segera menuju ke tempat Rena, Anin, Diah dan Jessi. Rendra hendak menolong Aris namun, "Pergi! Cepat! Nanti aku menyusul!" ucap Aris. Aris bahkan tidak menyadari tindakannya termasuk bodoh atau tidak, nalurinya saat itu menuntunnya untuk berbuat demikian.
"Ah, Sial!" Gerutu Aris saat melihat zombie yang semakin banyak berdatangan ke arahnya.
Rendra bingung dengan keadaan sekitar, kenapa para zombie itu tidak menyerang mereka, mereka itu manusia. Rendra teringat perkataan Rena soal mata mereka yang buta. Dugaan Rena selama ini benar, jika para zombie itu berada ditempat gelap, indera yang berfungsi adalah pendengaran, jadi selama mereka tidak membuat kebisingan, mereka akan aman.
KLANG
Suara botol kaleng jatuh didepan tangga yang mereka naiki tadi, perhatian zombie yang menyerang Aris kini teralihkan dan zombie itu menuju ke tempat suara kaleng jatuh itu. Jessi menoleh ke belakang, mereka melihat seorang pria berumur sekitar akhir dua puluhan sedang memberikan kode seolah memanggil mereka. Meminta mereka menuju kesana dengan pelan. Mereka yang ada disana mengangguk dan berjalan perlahan, melewati zombie yang berada disebelah mereka.
Berkeringat, detak jantung yang tak karuan, tubuh yang gemetar hebat mereka rasakan saat mereka berjalan menuju tangga dimana tempat pria itu menunggu kedatangan mereka. Perlahan, perlahan, perlahan, perlahan dan akhirnya mereka sampai pada pria itu. Pria itu tersenyum dan mengacungkan jempol. Sebelum mereka menaiki tangga, mereka melihat tubuh Aris yang sudah tak bernyawa lagi. Semuanya menahan isak tangis karena kehilangan satu orang lagi yang berjuang bersama mereka.
"Maaf Aris." Rendra mengepalkan tangannya kuat, merasa bersalah karena tidak dapat menolong temannya.
~oo0oo~
"Terima kasih," ucap Rendra pada pria itu.
"Anda berada disini, pak?" Anggi yang sepertinya mengenali pria itu mendekatinya, seorang pria berparas tampan dan tinggi. Pakaiannya terlihat semi formal meski sedikit berantakan di beberapa bagian.
"Siapa?" tanya Anin yang ikut memperhatikan pria itu. "Oh saya Bian, dosen Fakultas Komunikasi," jawab pria itu. Anin segera mohon maaf karena ketidak sopanannya tadi, gadis itu mengira jika pria tampan itu bukan dosen, melainkan hanya mahasiswa. Bian yang mengerti dengan situasi ini tersenyum dan menyuruh mereka untuk segera memasuki lab komputer Fakultas Teknologi.
Disana terdapat mahasiswa, mahasiswi dan beberapa dosen sedang berbincang. Melihat kedatangan Bian dengan Rendra dan kelompoknya membuat mereka mengkerutkan keningnya. "Kenapa bapak membawa mereka kemari?" tanya seorang mahasiswi saat melihat Rendra dan kelompoknya.
"Mereka orang-orang yang selamat, jadi saya menolongnya. Apa itu masalah?" tanya Bian.
Mahasiswi itu mendengus sinis. "Tentu saja masalah. Bagaimana jika mereka tergigit atau tergores oleh mahkluk itu. Kita akan jadi santapan mereka!"
"Hey! Jaga ucapanmu ya. Kami disini sama sekali tidak ada yang tergigit. Kalau kau ingin memeriksanya, silahkan!" tantang Anggi. Anggi memang dapat diandalkan jika disaat seperti ini. Dosen wanita yang diketahui namanya adalah Indah segera maju dan berkata pada Bian untuk membiarkannya memeriksa Rena, Anin, Diah, Jessi dan Anggi. Sedangkan Bian akan memeriksa Rendra.
"Sekarang siapa yang menjadi pembawa sial?!" seru Rena. Anggi yang tidak terima, menarik Rena dan siap untuk menamparnya namun dicegah oleh Jessi dan Indah. Anggi hanya diam melihat kelakuan Jessi yang terlalu membela Rena.
'Gadis itu benar pembawa masalah', pikir Jessi sambil menekan pelipisnya.
Indah menyuruh mereka untuk membuka baju, awalnya mereka menolak karena malu. Indah tertawa saat melihat ekspresi mereka yang malu-malu ketika membuka pakaian yang mereka kenakan. Mengecek keseluruhan tubuh mereka, bersih. Indah tersenyum. "Bersih. Oh apa kaliah ingin membasuh tubuh dan wajah kalian?" mereka mengangguk dengan tawaran Indah. Indah menunjuk pintu yang berada di sudut ruangan. Kamar mandi yang selalu digunakan oleh asisten lab.
"Ini." Rena memberikan sesuatu yang selalu wanita pakai saat mereka sedang datang bulan, namun versi kecilnya. Anggi yang masih kesal dengan perkataan Rena menerima itu dengan malu-malu.
"Kau selalu membawa ini?" tanya Anin sambil mengambil satu. Rena hanya menganggukkan kepalanya.
"Tidak enak jika basah bukan, haha." Ucap Rena tertawa, mereka yang ada disana ikut tertawa kecuali Anggi yang hanya tersenyum malu.
~oo0oo~
"Maafkan aku untuk yang tadi. Kalau bukan karenaku Aris pasti–" ucapan Anggi terpotong, dia tak sanggup berbicara lebih jauh lagi. Rena, Anin, Diah dan Jessi mengangguk mendengar perkataan Anggi. Tak kusangka dia akan meminta maaf pada kami, pikir mereka berempat. Anggi segera menuju kerumuman lain, sengaja menjauh dari Rena, Anin, Diah dan Jessi.
Rena, Diah, Anin dan Jessi menuju ke tempat Rendra dan Bian, mereka sedang berdiskusi dengan para lelaki disana. Melihat kedatangan Rena dan yang lain membuat Rendra menoleh dan tersenyum. "Kami sudah memutuskan," ucap Rendra yang dengan sengaja memotong ucapannya, sengaja membuat keempat wanita disana mengkerutkan keningnya.
"Memutuskan apa?" tanya Anin pada Rendra yang masih tersenyum misterius.
"Kami akan ke koperasi sekarang. Dugaan Rena benar dan pak Bian juga menyadari tentang indera zombie itu. Ini keuntungan kita," ucap Rendra semangat.
"Kalian istirahatlah dan doakan kami selamat." Bian tersenyum pada mereka, Anin memalingkan wajahnya ketika melihat senyum pak Bian.
.
Fact 1 : Mahkluk yang sekarang mereka sebut zombie. Indera mereka menjadi malfungsi, yang berfungsi sejauh ini yang berfungsi penglihatan yang lebih peka di siang hari dan pendengaran yang peka ketika malam tiba.