Chereads / CERITA PENDEK / Chapter 1 - Jatuh cinta di bumi perkemahan

CERITA PENDEK

Suci_Incees
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 29.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Jatuh cinta di bumi perkemahan

Jatuh cinta di bumi perkemahan

Berawal dari perkemahan ini

Rasa itu pun hadir di hatiku

Menghiasi relung sukmaku

Cinta lokasi ....

Lagu itu perlahan mengalun di music player-ku. Aku menghentikan aktivitas minumku sejenak, hanya untuk sekedar mengenang masa laluku dengan menikmati lagu itu. Kudengar jelas suaraku yang walaupun tidak bagus, menyanyikan lagu itu dengan begitu tulus dari hati

Sejenak, pikiranku menembus masa lalu. Aku menelaah dan menelusuri memori tentang perkemahan 8 tahun silam, ketika diriku yang sama sekali tidak peduli dengan hal-hal berbau asmara mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.

Secuil kenangan mulai menemaniku. Aku tersenyum mengingat betapa dulu diriku sangat membenci pramuka. Ku tersenyum semakin lebar mengingat kenangan betapa aku begitu gigih untuk berusaha kabur setiap hari Sabtu, ketika diadakannya latihan pramuka di sekolahku. Dan aku tersenyum sambil memejamkan mataku, merasakan cinta yang saat ini masih terpendam dalam hatiku, ketika mengingat bagaimana pramuka yang sangat kuhindari memperkenalkanku pada cinta.

Desember 2019

"Namaku Sandika scouting, kakak-kakak sekalian bisa memanggilku Sandika,Ji-Sung dan apa aja yang penting baik." ujarku dengan enggan. Aku memang selalu merasa tidak percaya diri ketika memperkenalkan diri. Sebagai seorang pramuka penegak Garuda yang masih ingin belajar dan terus belajari, kadang aku berpikir kenapa orangtuaku sebegitu bodohnya ketika memberiku nama yang sama persis dengan nama ilmiah scouting

Semua penegak di kelompokku menatapku dan tertegun, merasa aneh dengan namaku. Yah, untungnya aku sudah bisa dengan reaksi seperti itu. Kemudian mereka sepakat memanggilku "ji-sung"

Kala itu aku sedang mengikuti ajang pemilihan pramuka garuda award,kwarda jambi suatu kegiatan yang benar-benar 'wow' menurut teman-teman di organisasi kepramukaan yang aku ikuti. Aku sendiri heran bagaimana aku bisa lolos seleksi kegiatan bergengsi ini, mengingat dulunya aku sangat membenci pramuka dan tidak tau apa pun mengenainya. Pembina pramuka di gugus depanku memasukkan namaku dalam daftar peserta seleksi tanpa meminta konfirmasiku terlebih dahulu. Dan ketika sudah satu minggu sebelum seleksi tahap pertama, beliau baru memberitahuku. Beliau meminta kesungguhanku dalam mengikuti seleksi ini, dan entah keberuntungan apa yang menyertaiku, aku bisa lolos hingga berangkat ke jambi

Aku melalui 10 hari yang berharga dalam hidupku. Bagaimana aku mulai mencintai apa yang dulunya kubenci, bagaimana aku mempelajari caranya mencintai alam dan seisinya, bagaimana aku dibina untuk tidak mengeluh dalam segala keadaan. Aku mengenal solidaritas yang tanpa batas, aku mendapat banyak teman yang sudah menjadi saudara dari berbagai kabupaten yang ada di provinsi jambi, dan aku mendapatkan pengalaman yang berharga menjadi pak camat bumi perkemahan

"Kau butuh bantuan?"

Itulah pertama kali aku mendengar suaranya. Ketika aku tidak bisa melintasi jalan karena kakiku kram, sementara aku harus mengejar ketertinggalanku. Aku tidak bisa melangkah, aku pun berjalan dengan terseok-seok sambil menahan sakit di kakiku.

Seorang sosok wanita datang kepadaku ketika aku tersandung batu dan terjatuh, mengakibatkan luka baru di lututku. Aku menoleh ke arahnya, dan terpana. "Mm, kurasa aku tidak apa-apa," ujarku bohong. Entah kenapa aku ingin terlihat kuat di hadapan dia

Duduk di depanku dan memeriksa kakiku. "Kakimu kram, ya? Dan lututmu terluka." Aku meringis sambil diam ketika ia menempelkan es batu yang entah didapat darimana ke kakiku yang membengkak. Sementara ia yang tidak kukenal ini mengobatiku, aku mengamati wajahnya secara perlahan lahan.

"Masih sakit dibuat jalan?" tanyanya ketika ia selesai mengobati kakiku. Aku memaksakan diri untuk berdiri, dan ternyata rasa sakitnya memang berkurang.

"Kau tertinggal gara-gara aku," ujarku merasa bersalah.

Dia tersenyum. "Ingat dasadharma nomor 5? Rela menolong dan tabah." katanya. "Selama aku bisa menolong, akan kulakukan."

Aku terpesona dan kagum dengan kemampuannya berkata-kata. "Terima kasih," ujarku tulus.

"Sama-sama," katanya. Lalu ia menjulurkan tangannya ke arahku, "annisa," ujarnya memperkenalkan diri.

Aku menjabat tangannya. "Sandika."

"Aku suka nama panggilan itu, Annisa kataku,

Malam itu aku tidak bisa terlelap. Di luar dingin, dingin itu menembus ke dalam tendaku. 2 hari hari aku berada di Bumi Perkemahan inii, berbagai kegiatan menyenangkan telah kulalui. Kadang, moment satu tim dengan kawanku membuatku semangat dalam menjalani kegiatan itu. Entah kenapa, aku suka ketika Annisa selalu di dekatku

Aku berjalan-jalan di bawah kilau bintang-bintang, menginjak rumput-rumput basah khas bumi perkemahan, dan menelusuri satu per satu tenda yang terbangun di sana. Kulihat nyala api menari-nari di kejauhan, membuatku melangkah ke arahnya untuk mencari kehangatan. Ketika aku semakin mendekat, aku mendapati sosok yang kukenal sedang duduk sendirian di sana.

"Nis?"

Sosok yang kupanggil menoleh. "Sedang apa kau malam-malam begini, ?" tanyanya ketika menyadari sosok yang memanggilnya adalah aku.

Aku menghampirinya, memandang ke arah nyala api unggun itu. "Aku mencari kehangatan," jawabku dramatis.

Nisa menggeser duduknya, mempersilahkanku untuk duduk di batang pohon besar yang telah tumbang itu, di sisinya. Aku mencondongkan badanku ke arah sumber kehangatan itu, menggosokkan kedua tanganku lalu menempelkannya di pipi.

"Kau suka api, ya?" tanyanya, membuyarkan konsentrasiku pada api itu. Satu hal yang dulunya tidak kusadari, kini terungkap. "Iya, ya.. ternyata aku suka api." jawabku.

"Api itu, ketika kecil membawa kedamaian.. Jika terlalu besar, ia membawa celaka," ujar annisa berfilosofi.

"Sama seperti cinta. Jika terlalu cinta, malah membawa rasa sakit.. Rindu yang berkepanjangan. Depresi akut, dan rasa hampa yang kekal." Aku tidak tau telah mendapatkan kekuatan dari mana, hingga bisa berkata-kata se'mahal' itu.

Nisa menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu bertanya menggoda. "Ciee.. Lagi jatuh cinta ya?"

Wajahku memerah, entah karena hangat yang menerpaku atau gara-gara ucapan dia barusan. "Aku tidak tau apa itu cinta."

"Mungkin aku bisa mengajarkannya padamu," ujar Nisa, membuat wajahku semakin memerah.

28 November 2019, usiaku genap tujuh belas tahun. Katanya, usia tujuh belas adalah ketika kau menjalani masa-masa termanis dalam hidupmu. Masa ketika kau mengenal segala yang belum kau kenal, masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Katanya, usia tujuh belas adalah yang paling sakral, karenanya tak sedikit remaja berkecukupan di luar sana yang merayakannya secara besar-besaran.

Tujuh belas tahunku kurayakan di bumi perkemahan ini, bersama sahabat-sahabat baruku. Mereka memberiku perayaan ulang tahun yang benar-benar berkesan, bagaimana dalam satu hari itu aku merasa sangat apes, semua yang kulakukan selalu salah, bagaimana para panitia beserta pemateri ikut-ikutan mengerjaiku, sampai aku terheran-heran apa yang telah kulakukan sampai mereka memperlakukanku seperti itu.

Aku menangis di jalan raya ketika mengetahui nisa juga mencelaku hari itu, ia tidak membelaku sama sekali, seperti yang kuharapkan. Aku meraung-raung, mogok makan dan berdiam diri di dalam tenda, memohon-mohon pada panitia untuk diperbolehkan pulang lebih awal karena lelah diperlakukan dengan kejam—menurutku hal itu kejam, mengingat aku bukanlah gadis yang suka dikasari, dibentak, atau dimarahi—tetapi, bukannya mengizinkanku kembali, mereka malah tambah mengerjaiku.

Aku menyadari bahwa mereka tidak benar-benar sekejam itu ketika malam harinya, pada pesta api unggun, aku mendengar namaku disebut oleh panitia, mereka memintaku meninggalkan barisan dan maju ke tengah lapangan. Aku berjalan ke depan dengan pasrah. Ketika aku sudah berada di depan ratusan peserta dari berbagai daerah itu, aku melihat seorang pemateri tua berjalan ke arahku membawa sebuah kotak, dan ketika kulihat isinya, tersaji sebuah kue tart menggiurkan dengan lilin berangka satu dan tujuh yang menyala. Seketika semua orang di Bumi Perkemahan itu menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untukku, dan aku pun sadar hari itu adalah hari ulang tahunku yang ketujuhbelas.

Setelah acara api unggun massal itu, pada tengah malamnya, annisa memberikan sesuatu untukku. Sebuah gantungan kunci dari kayu, berbentuk love dengan tulisan happy birthday Sandika.

Sejak malam ketiga itu, kala aku berjalan-jalan seorang diri dan bertemu annisa, aku dan dia selalu menghabiskan malam berdua bersama api unggun itu. Kami bercengkerama di bawah gugus bintang, bercerita apa pun yang telah kami lalui hari-hari itu. Tanpa kusadari, aku suka Annisa.

"Tempo hari kau berkata akan mengajariku tentang cinta," semakin malam, topik bahasan kami semakin mendalam. Tanpa ragu-ragu, aku berani menanyakan itu kepada Annisa.

Annisa menghentikan kegiatannya sementara itu, kemudian menatapku lekat-lekat. "Kupikir setelah malam-malam yang telah kita lalui bersama, kau sudah mengenal apa itu cinta,"

Hatiku berdebar-debar mendengar pernyataan Annisa barusan. "Cinta itu…"

"Ketika kau merasa nyaman bersama sosok tersebut.Ketika kau merasa ada yang kurang ketika ia tidak bersamamu. Ketika ia hilang darimu, kau merasa hampa." Annisa termenung. "Bagiku, itu definisi cinta."

Aku menunduk, meresapi kata-katanya. Kini kusadari aku telah mencintai Annisa.

"Aku juga merasakannya, Sandika"Seakan bisa mendengar isi hatiku, Annisa mengutarakan perasaannya. "Kau tidak bertepuk sebelah tangan."

Hari demi hari kami menjalani hubungan ini, sekarang kita sudah beranjak dewasa dan kami terpisahkan oleh jarak karena saling memikirkan masa depan masing-masing,sekarang telah habis sudah lah cerita cinta kami yang dulunya kami pertahankan dan sekarang berakhir dengan apa adanya.