Yama duduk bersila dengan memejamkan matanya. Teratai hitam berputar pelan dibawahnya. Dia duduk di atas teratai namun rotasi teratai tersebut tidak mempengaruhinya. Kelopak-kelopak hitam teratai tersebut bergetar pelan, energi tipis berbentuk benang saling bertautan di permukaan. Benang-benang tersebut terus bergerak pelan membentuk banyak simpul yang perlahan mulai mengitari kelopak bunga. Anak kecil itu terus bermeditasi, aliran energi hangat mengalir dan mulai menutupi tubuhnya. Bila dilihat dengan seksama, energi tersebut berbentuk benang halus yang persis seperti pada kelopak teratai hitamnya. Aura energi yang terpancar keluar sebelumnya mulai menghilang perlahan. Semakin tipis setiap hembusan napas hingga menghilang sepenuhnya. Merasa bahwa energinya sudah berhasil disembunyikan, Yama membuka matanya.
Teknik ini didapat dari Warisan Asura miliknya. Saat memikirkan tentang teknik mana yang akan digunakannya sambil berjalan menuju formasi, pikirannya tersentak dan muncul Teknik Segel Aura yang memungkinkan untuk menghilangkan aura apapun. Bahkan hawa keberadaan Yama kecil terasa sangat tipis. Ini teknik yang hebat. Dia berpikir mungkin saja teknik biasa tidak akan mampu menyembunyikan energinya yang banyak dan liar.
Yama meregangkan tubuhnya lalu turun dari teratai. Teratai itu masih berputar perlahan sebelum menghilang dengan sendirinya. Dengan riang, dia melompat-lompat gembira sambil berlarian di atas ubin kayu. Masuk ke dalam rumah, Yama melihat kakek buyut sedang meletakkan makan malam di meja kayu. Menu makan malam kali ini adalah daging panggang. Dia tak tahu terbuat dari daging apa makanan tersebut, namun dia tahu daging itu enak. Ada aliran energi roh merembes perlahan dari daging panggang kecoklatan itu. Yama selalu meyakini bahwa setiap daging yang selalu dimakannya sejak kecil pastilah berasal dari binatang buas roh. Namun itu hanya dugaannya saja, kakek buyut tidak pernah memberitahunya dan dia sendiri terlalu malas untuk bertanya.
"Kau sudah berhasil?" tanya Kakek Buyut dengan muka heran. Tatapannya jatuh pada Yama kecil seolah menatap benda langkah yang luar biasa.
"Kebetulan di dalam teknik kultivasi yang aku peroleh memiliki teknik penyegel aura di dalamnya." ujar Yama sambil mengambil daging dengan sumpit bambu. Kakek buyut mengangguk paham.
"Makanlah sepuasmu, kedepannya kau tidak dapat memakan masakanku lagi."
"Aku akan sering berkunjung untuk makan masakan kakek buyut." Yama berbicara sambil mengunyah dengan cepat. Mengambil sepotong daging lagi dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Kau akan langsung pergi malam ini?" Kakek buyut menggelengkan kepalanya melihat cara makan Yama, dia mengambil potongan sayur di dalam mangkuk keramik. Sayuran itu juga mengandung energi roh, mungkin dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya.
"Iya, meski tidak aman berkeliaran di gunung pada malam hari, tapi aku ingin sekaligus merasakan hidup di alam."
"Kalau kau berangkat malam ini, mungkin kau bisa keluar dari pegunungan ini sekitar 9 hari. Tapi mengingat anak kecil sepertimu, kemungkinan kau akan tersesat dan butuh lebih banyak waktu. Cobalah untuk menanyakan arah pada petualang, di pegunungan ini banyak herbal roh jadi akan banyak kelompok pengumpul obat. Mintalah bantuan mereka."
"Kakek buyut benar-benar berhati hitam! Cucu kecilmu ini akan pergi ke dunia luar, tidakkah kakek buyut akan mengawasiku hingga aku keluar gunung?"
"Mengapa aku harus khawatir? Itu keputusanmu sendiri. Kecuali kau ingin terus bersama kakek buyutmu ini, aku tidak keberatan bila harus merawatmu disini sampai dewasa." mendengar perkataan lelaki tua itu, Yama mengerucutkan bibirnya. Kemudian dia mengambil sepotong daging lagi dan menelannya tanpa mengunyah. Wajahnya memerah kesal. Mereka meneruskan makan dalam diam.
Setelah menghabiskan makan malam, Kakek Buyut mengajak Yama menuju gua yang tersembunyi di belakang air terjun. Udara malam membuat kulit Yama yang putih tampak pucat karena kedinginan. Memasuki gua yang lembab dan dingin, udara disini bahkan lebih dingin dari pada di luar. Yama sedikit bergidik saat memasuki gua, dia merasa seolah memasuki mulut naga kuno yang membawa kegelapan tanpa akhir.
"Aku tidak tahu kalau ada gua seperti ini dibelakang air terjun." Suara khas anak kecil terdengar memecah keheningan. Namun kakek buyut tidak menjawab. Hanya bunyi ketukan tongkat kayu pada lantai gua yang terdengar.
Setelah berjalan jauh dan Yama mulai merasakan kebas pada kakinya, ada cahaya bersinar redup seakan pusat cahayanya masih sangat jauh. Kakek buyut yang menyadari anak kecil itu mulai kelelahan, dia langsung berjongkok. Yama mengerti bahwa kakek buyut hendak menggendongnya, bagaimanapun kaki kecilnya tidak sanggup lagi berjalan. Ini terlalu jauh dan gua ini terlalu mengerikan. Yama tanpa sungkan naik ke punggung bungkuk pria tua itu. Tubuhnya memang tampak tua dan rapuh namun dia memiliki kekuatan besar di dalamnya. Menggendong Yama bukanlah hal yang merepotkan.
Berjalan lebih lama, sumber cahaya mulai terang. Kemudian mereka sampai di tempat yang penuh dengan permata yang bersinar kebiruan sepanjang jalan. Sekitar 100 meter ada ruangan besar yang di penuhi permata yang bersinar itu. Di tengah ruangan terdapat sebuah pedang sebuah pedang yang tertancap di batu. Ada banyak rantai yang melilit pedang tersebut, di permukaan batu juga ada simbol-simbol aneh seolah mantra yang menahan pedang agar tetap tertancap.
Pedang itu berwarna hitam pekat dengan permukaan berkilat tajam. Hawa dingin yang mengerikan memancar dari pedang dan menusuk hati Yama kecil. Pedang ini mengerikan, hatinya terasa sakit dan menggigil. Rasa takut ekstrem yang tidak dapat di jelaskan muncul menggerogoti hati kecilnya.
"Kakek Buyut, pedang apa ini?" menahan perasaan menyiksa jiwa yang dia rasakan, Yama berusaha tetap berdiri.
"Ini Pedang Pembantai Dewa." sahut pria tua itu dengan suara serak seperti biasa. Yama bergidik ngeri saat mendengar nama pedang itu. "Pedang ini milik Asura. Dia menyegel pedang ini sebelum bertempur melawan 9 Dewa."
"Bukankah itu artinya Asura membunuh para dewa tanpa pedang ini? Jadi bagaimana pedang ini memiliki nama yang begitu sombong." secara spontan, Yama mencibir nama pedang tersebut. Dia berpikir nama itu terlalu berlebihan. Kakek Buyut tersenyum dengan senyuman yang aneh lagi saat mendengar cibiran Yama. Namun dia tidak marah.
"Aku yakin kau pernah membaca tentang senjata yang di pakai Asura saat membunuh Para Dewa. Di dalam buku tertulis dia menggunakan pedang kembar. Sebenarnya, pedang itu ditempa dengan menggunakan patahan ujung pedang ini." Mata Yama berbinar mendengar penjelasan kakek buyutnya. Hanya patahan ujung pedang saja dapat melenyapkan para dewa, bukankah dunia akan hancur bila pedang aslinya di pakai?
Kakek buyut menarik tangan mungil Yama untuk mendekati pedang tersebut. Perasaan mengerikan semakin menjadi, jiwanya seolah terbakar perlahan. Sungguh menyakitkan. Keringat seukuran jagung mulai menetes, wajahnya bertambah pucat seakan darahnya tersedot habis.
"Ulurkan tanganmu ke arah pedang itu." perintah pria tua bungkuk sambil menepuk bahu Yama dengan pelan.
Saat Yama pengulurkan tangannya, pedang yang tersegel itu bergetar hebat. Gua ikut terguncang karena getaran pedang hitam tersebut. Satu persatu rantai yang mengikat pedang mulai terputus. Ukiran kuno pada batu bersinar dengan warna merah darah. Yama merasa darah dan kekuatannya terhisap keluar dari tangan kanannya yang terulur ke arah pedang. Tangannya mulai mati rasa, tubuhnya lemas dan penglihatannya mulai buram.
Batu yang menahan pedang perlahan mulai retak sebelum hancur berkeping-keping. Pedang hitam yang membawa perasaan buruk itu melayang mendekati Yama kecil. Kemudia pedang itu berputar melingkari lengan kanan Yama, ujung pedang itu menggores dagingnya yang putih. Ukiran berbentuk semacam rune melilit lengan atasnya, darah segar mengalir dari sana. Setelah pedang itu selesai mengukir, perlahan pedang itu menghilang seakan masuk ke dalam tubuh kecil Yama. Tubuhnya tersentak kuat, Yama tak bisa lagi mempertahankan kesadarannya saat pedang itu menerobos masuk dengan paksa.
Tubuh kecil dengan lengan berdarah itu terjatuh ke lantai. Tubuh itu terlihat pucat seperti mayat, hawa menakutkan terpancar dari lengan kanan yang masih mengeluarkan darah perlahan. Kakek buyut tersenyum sekali lagi, dia menatap pecahan batu dan rantai-rantai yang terputus sebelum menggendong Yama di punggungnya.