Gemerisik dedaunan menghiasi nyanyian malam. Bunyi lolongan serigala roh terdengar nyaring dan bersahut-sahutan. Angin dingin bertiup pelan membawa hawa dingin yang terasa mencekam. Di sebuah pohoh besar, anak kecil berusia sekitar 5 tahun terbaring di atas cabang pohon. Anak itu tertidur lelap, tubuhnya terikat kain agar tidak jatuh tanpa disengaja. Lolongan serigala yang berirama tidak dapat mengganggu anak itu dari tidur nyenyaknya. Lengan bajunya yang terbuat dari sutra halus melambai dengan lembut tertiup angin. Bercak darah kering tercetak di lengan kanan atasnya. Sesekali tangan mungil itu menggaruk pipinya. Anak kecil itu terlihat sangat lucu namun mengingat posisi tidurnya yang terikat di cabang pohon tampak menyedihkan.
Fajar mulai menyingsing, mentari pagi mulai memberikan kehangatan pada alam. Anak yang tertidur itu bangun dengan linglung. Mendapati tubuhnya terikat di pohon besar membuat wajahnya tidak sedap di pandang. Dia mendengus kasar. Mengerahkan untaian energi, ikatan itupun terlepas. Dia masih duduk di atas pohon sambil mengecek tubuhnya. Wajahnya tampak memerah karena marah.
"Benar-benar berhati hitam! Bagaimana bisa dia mengikatku seperti ini?" anak itu cemberut. Dia adalah Yama, sang pewaris Asura. Bagaimana bisa dia diperlakukan seperti ini? Dia menegok sekeliling dan menyadari bahwa tempat tidur teratainya tidak muncul. Dia mengernyit heran, biasanya teratai hitam itu akan muncul bahkan tanpa dipanggil. Namun saat dia diperlakukan seperti ini benda ajaib itu tidak ada.
Enggan memikirkannya lebih jauh, dia melompat turun. Suasana hatinya begitu buruk. Berjalan tanpa tahu arah, dia menendang apapun yang ada di depannya. Sesekali akan ada binatang iblis di depannya, dia dengan santai membunuh binatang itu dengan belati perak yang terselip di sabuknya. Sambil berjalan dia memeriksa sebuah cincin ruang di jari manisnya. Cincin itu kecil dan tipis dengan kilau keperakan. Terlihat seperti cincin perak biasa.
Di dalam cincin tersebut terdapat banyak tanaman roh serta beberapa buah jiwa yang langkah. Ruangan di dalam cincin itu terbilang besar, hampir sebesar kediamannya di lembah. Di sudut ruangan terdapat tumpukan emas dan perak serta lembaran uang kertas. Dia tidak tahu jumlahnya namun dia yakin bahwa itu sangat banyak. Mengangguk puas dia melanjutkan perjalanannya.
"Setidaknya Kakek Buyut tidak membiarkanku kekurangan uang"
Matahari mulai naik ke atas langit, menyinari dengan terik. Tubuh kecilnya berkeringat karena panas. Lelah berjalan, dia duduk di bawah pohon. Tak ada yang dilakukannya hingga dia mulai merasa bosan. Berbaring di tanah dan menatap dedaunan, Yama mengingat apa yang dilakukannya kemarin malam. Saat teringat tentang Pedang Pembantai Dewa, dia reflek memegang lengan kanan atasnya. Dia memikirkan adegan saat ujung pedang itu berputar dan mengukir di kulitny. Di dorong rasa penasaran, dia membuka bajunya.
Lengan atasnya dipenuhi darah kering, namun tidak ada lagi rasa perih karena luka. Mengambil botol air di cincin ruangnya, dia membasuh bekas darah itu. Matanya melihat sebuah rune aneh yang seakan-akan melilit lengan kanannya. Rune itu terlihat seperti tato berwarna kemerahan. Dia mengerutkan keningnya dan berpikir keras, apa itu? Berpikir dan terus berpikir dengan harapan menemukan jawaban dari banyak buku yang pernah dibacanya.
Dia mendesah dengan lesu, berpikir terasa melelahkan. Mungkin dia akan mencari tahu nanti saat berlatih di dimensi warisan. Sekarang dia harus fokus untuk keluar dari pegunungan ini terlebih dahulu. Tidak mau menunda terlalu lama, dia kembali memakai baju namun dia tidak memakai baju yang sebelumnya. Noda darah itu mengganggu jadi dia mengambil baju di dalam cincin ruang. Ada lemari pakaiannya di sana, Kakek Buyut mempersiapkan perjalanannya dengan berlebihan.
Saat hendak melanjutkan perjalanan, semak-semak di depannya bergoyang. Dia langsung waspada, belatinya memancarkan sinar keperakan yang tajam. Semak-semak itu terus berbunyi, Yama melangkah pelan mendekati semak-semak. Tercium bau amis darah segar dari arah sana. Mata anak itu terkilat tajam memandang semak belukar.
"Uwah!" Dua buah kepala menjembul keluar dari balik semak-semak itu, laki-laki dan perempuan. Yama masih waspada, bila mereka orang jahat makan dia akan langsung membunuhnya.
"Eh, ada anak kecil." ujar perempuan dengan rambut pendek, barulah lelaki di sebelahnya menyadari kehadiran Yama yang memegang belati.
"Siapa kalian? Apa kalian orang jahat?" tanya Yama dengan serius namun terdengar seperti perkataan anak kecil yang sangat polos. Lelaki itu menahan tawanya, pertanyaan ini agak lucu menurutnya.
"Hahaha, iya kami orang jahat." sahut si perempuan. Syuuu... Wajah perempuan itu pucat seketika saat belati tajam itu mengayun ke lehernya dan menciptakan goresan putih, terasa sedikit perih. Lelaki di sebelahnya membelalakan matanya. Dia sudah melihat anak itu memegang belati tajam namun tidak pernah terpikir anak itu akan mengayunkannya seperti itu! Rekannya hampir kehilangan nyawa.
"Nak, kami hanya bercanda!" seru si lelaki. Dia merasa anak kecil di depannya bukanlah anak yang sederhana mengingat gerakan tangannya yang begitu cepat, kalau bukan karena tingkat bela dirinya tinggi maka mustahil baginya untuk melihat gerakan tangan anak itu. Yama hanya diam, tidak ada minat untuk menjawab. Melihat kebungkaman anak itu, si lelaki menghela napas. "Kami berasal dari Sekte Tujuh Sungai, aku dan adik juniorku ini sedang berburu binatang iblis." lelaki itu mencoba menjelaskan sambil membantu adik junior perempuannya keluar dari semak-semak.
Yama masih diam seakan menunggu penjelasan yang lebih jelas. Saat mereka keluar dari semak-semak, Yama dapat melihat lelaki itu memegang dadanya dan ada bekas cakaran binatang buas disana. Mereka mengenakan seragam murid dalam Sekte Tujuh Sungai, walaupun seragam itu kotor dan robek di beberapa bagian tapi masih bisa di kenali.
"Adik kecil, jangan terlalu serius seperti itu. Kami orang baik." mata perempuan itu tertuju pada belati berkilau itu, Yama tentu saja mengerti maksudnya.
"Nak-"
"Aku bukan anakmu!" belum sempat lelaki itu berbicara, Yama langsung berseru. Di panggil seperti itu agak menjengkelkan baginya.
"Baiklah kalau begitu, Adik kecil."
"Aku bukan adikmu!" sekali lagi Yama berseru, ujung belatinya menunjuk tepat ke batang hidung lelaki tersebut.
"Bocah sialan! Jangan berlebihan!" perempuan itu berteriak dengan nada membentak. Melihat bagaimana anak itu memperlakukan kakak seniornya membuatnya geram.
"Bukan urusanmu!" tanpa rasa takut, Yama menodongkan belatinya sekali lagi. Wajah perempuan itu memerah dan dia hendak memukul Yama namun dihentikan oleh seniornya.
"Nana, tidak perlu terlalu serius. Dia hanya anak-anak." Yama agak jengkel mendengar perkataan ini, dia benci diremehkan seperti ini. Mereka benar-benar menganggapnya anak kecil. "Jadi, apa yang kau lakukan disini? Tempat ini bukan tempat bermain untuk anak-anak sepertimu."
"Aku tersesat." jawab Yama dengan ringan tanpa beban seolah tersesat di tempat seperti ini bukanlah hal yang menakutkan. Lagi pula dia memang tidak tahu dimana dia berada ataupun arah mana yang harus dituju.
"Ternyata hanya bocah malang yang tersesat." cibir perempuan itu. Yama melirik tajam padanya, dia benar-benar tidak menyukai perempuan bernama Nana ini.