Chereads / My Bastard Husband / Chapter 19 - Bikes

Chapter 19 - Bikes

Geovano terdiam sambil membayangkan kisah yang terjadi pada waktu tiga tahun yang lalu. Tiba-tiba saja ponselnya bordering dengan sangat kencang. Dan itu sontak membuat Geovano merasa sangat terkejut.

"Ya ampun sampai lupa untuk menghubungi Zio," seru Vano dengan suara yang rendah. Pria tampan itu lalu mengambil ponselnya dan langsung menerima panggilan telepon tersebut.

Di dalam sebuah panggilan telepon.

"Halo Zio." Abang Vano menerima panggilan telepon dari sang adik.

"Halo bang, abang katanya mau menelepon balik, kenapa abang lama sekali?" tanya Zio dengan suaranya yang agak lantang.

"Ada apa ini ngegas seperti itu?" kata abang Vano dengan suara yang rendah.

"Habisnya abang lama sekali, Zio sudah menunggu sejak lama, aih Abang tu ya," kata Zio agak kesal kepada sang kakak. Pasalnya Zio sudah menunggu kakakanya lama di kantin Rumah Sakit, tetapi sang kakak belum kunjung tiba. Zio tidak tahu kondisi abangnya saat ini sangat kacau karena banyak pipikiran.

"Kamu itu marah-marah seperti ini ada apa huh, abang tutup teleponnya sekarang, malas sekali jika kamu sudah kerasukan seperti itu," kata Geovano kepada sang adik. Lalu dia pun segera menutup panggilan telepon sang adik.

Vano lalu mematikan ponselnya. Dan melajukan kendaraanya dengan kecepatan tinggi. Entah abang Vano mau kemana, yang pasti pria itu ingin menghibur diri dari rasa sakit hati karena kerinduannya kepada sang kekasih.

Di sisi lain Zio merasa terkejut karena mendengar abangnya marah seperti tadi.

"Sialann, apa ini?" zio mendengus kesal.

"Ada apa?" tanya Tito dengan kening yang mengerut.

"Abang Vano sepertinya marah kepadaku, dia mematikan teleponnya seketika," kata Zio dengan wajah yang memperlihatkan wajah lemahnya.

"Kamu tinggal telepon lagi dong, begitu saja sudah menyerah, siapa tahu abang Vano lagi sibuk." Tito berkata dengan penuh keyakinan.

"Ini sudah aku coba, aku meneleponnya lagi, tetapi ternyata ponselnya sudah tidak aktif lagi," kata Zio dengan rasa sesalnya.

"Lagian kamu tadi ngegas seperti itu sama kakak kamu sendiri," kata Tito.

"Aku cuma tidak sabar ingin segera bicara dengan kakakku, aku ingin meminjam uang kepada dia," seru Zio.

"Begini, kita kan memang yang butuh abang Vano, jadi seharusnya kamu lebih sopan dan lebih memohon sama dia, bukan ngegas sama dia," kata Tito dengan suara yang rendah, namun itu terdengar jelas di telinga Zio.

"Iya memang aku yang salah, ya ampun abang kini dimana, ahh shitt, tidak tau bagaimana lagi cara kita untuk mendapatkan uang." Zio berkata dengan sangat pelan. Kepalanya saat ini begitu kesal, dan kebingungan. Semuanya membuat kepalanya seolah merasa pecah. Dia harus mendapatkan uang dengan segera.

"Kamu minum dulu deh dari pada kusut seperti itu," kata Tito sambil menyodorkan segelas air jeruk dingin.

"Kepalaku seolah mau meledak, susah sekali mencari cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu," kata Zio mendengus kesal.

"Minum dulu lah, biar pas meledak bau jeruk darahnya," kata Tito terus meydorkan segelah air jeruk dingin.

"Sialan Tito, kamu mendo'akan kepalaku meledak beneran ya," kata Zio sambil menyambar segelas air jeruk tersebut lalu meneguk sampi habis.

"Kalau kamu lagi marah begini, kamu seperti onta, minumnya banyak," Tito tekekeh menertawakan sahabatnya tersebut.

"Sekali lagi kamu biacara seperti itu, akan aku cincang kamu dan aku kasih untuk pakan buaya," celetuk Zio dengan mata yang membulat. Sedangkan Tito terkekeh melihat reaksi dari sang sahabat.

"Tega banget kamu Zio, masa kamu mau jadikan aku makanan buaya, ah aku kan keras, buaya gak akan bisa makan aku," kata Tito sambil terus terkekeh.

*****

Di sisi lain kini Reyvan sudah duduk dengan ongkang-ongkang kaki karena rencananya sukses besar. Tujuan utamanya bukanlah Asya melainkan Zio. Reyvan selalu kalah balapan dari Zio dan popularitas di kalangan gadis remaja pun masih kalah sama Zio.

Mungkin karena latar belakang mereka yang berbeda. Zio yang terkenal anak bungsu sang pemilik perusahaan besar, sedangkan Reyvan seorang anak mafia. Kalau adu kekayaan keluarga Reyvan sih pasti menang besar. Karena kekayaan raja mafia memang tiada pembanding.

Namun kalau di bandingkan dengan hal lainnya, tetap saja Zio lah yang lebih unggul. Karena Zio pun selalu berprestasi di sekolah sedang Reyvan tidak memiliki prestasi apapun.

"Akhirnya aku bisa menjebak si Zio ke dalam perangkapku, aku harus mengambil semua yang harusnya menjadi milikku, termasuk wanita yang ada di sampingnya. Aku tidak percaya hubungan dia dengan Asya hanya sekadar teman saja," kata Reyvan kepada temannya.

"Ya jelas bukankah Rey, pasti si Asya itu cewenya." Jhodi berkata sambil terkekeh.

"Nah iya, aku pun berfikiran seperti itu, karena itulah kita ambil si Asya, miliknya harus aku milikki," ungkap Rey dengan penuh ambisi.

"Memang harus Rey, buat si Asya itu merangkak di atas ranjangmu, aku yakin dengan membawa kelemahannya, itu akan membuat dia tidak konsentrasi dalam ikut balapan, sehingga kita bisa dengan leluasa menciptakan sebuah kecelakaan untuknya, bukankah itu ude yang sangat menarik," kata Jhodi dengan penuh keyakinan.

"Apa yang kamu katakan sangat benar Jhodi, aku akan membuat si Asya itu menjerit memanggil namaku setiap malamnya, ah aku sudah sangat tidak sabar untuk menunggu hari itu tiba." Reyvan tersenyum jahat dan mengepalkan tangannya. Senyum Reyvan lebih ke senyum kekesalan untuk Zio.

Beruntunglah Reyvan mengira bahwa Zio begitu mencintai Asya. Andai saja Reyvan tahu bahwa sebenarnya gadis yang Zio sukai itu adalah gadis lain, bukanlah Asya. Kali ini Alea terselamatkan dari Reyvan.

Tiba-tiba saja seorang gadis datang ke hadapan Reyvan. Gadis itu sangat seksi dan menor, teryata gadis itu adalah teman kencannya Reyvan malam ini. Dengan tanpa tak tahu malu Reyvan menggauli gadis tersebut di hadapan Jhodi. Dan kegiatan itu berlangsung selama setengah jam.

Setelah puas menikmati tubuh gadis itu, Reyvan menendang wanta itu sampai terjatuh. Lalu wanita itu dengan segera memunguti bajunya dan berlari dari ruangan itu sambil memeluk bajunya, karena terlalu ketakutan.

"Kamu itu terlalu kasar terhadap perempuan, masa kamu tidak punya perasaan sama sekali sih, sudah menimati madu dalam tubuhnya langsung kamu tendang begitu saja, kan kasihan." Jhodi terkekeh dengan sikap kasar sang sahabat.

"Biarkan saja, mereka itu wanita murahan, kita tidak perlu memperlakukan mereka dengan sopan, toh kita sudah membayar mereka dengan harga yang sangat mahal, harusnya wanira itu puas dengan bayaran yang sudah dia terima," kata Reyvan dengan wajah puasnya karena sudah bercinta barusan dengan gadis bayaran itu.

"Yasudah terserah kamu saja Rey, aku kan hanya memberi tahu saja, kalau kamu tidak suka tidak apa-apa, tidak perlu di ambil hati juga, ok," seru Jhodi dengan senyum manisnya, dan Reyvan pun ikut tersenyum.