"Baginda, apa maksudmu. Dia adalah putra kita. Sudah sewajarnya jika ia membantuku. Aku adalah ibunya."
Pembelaan permaisuri membuat kaisar muak.
"Njoo, bukankah selama ini kita sudah sama-sama tahu. Bahkan kau pun juga sudah tahu bahwa aku sudah mengatahui tindakan burukmu yang mencoba membunuh permaisuri. Saat itu kau mengatahkan, bahwa kau melakukannya demi cintamu padaku. Ternyata itu semua omong kosong. Kau melakukannya demi ambisimu sendiri."
Permaisuri menangis. Wajah cantiknya dihiasi air mata. Entah air mata karena kematian sahabat atau karena kaisar tak memercainya. Bagi sang putri, keduanya tidaklah penting. Ia tampak seperti seorang malaikat maut yang mencoba menghasut semua orang.
"Yang Mulia, kaulah satu-satunya alasan mengapa aku mencelakai permaisuri. Aku tak ingin dan tak sanggup melihat orang lain mendekatimu. Aku mencintaimu. Bahkan, aku merubah wajahku menjadi seseorang yang sangat kau cintai. Hanya demi kau."
"DIAM!" bentak sang kaisar.
"Njoo, apa kau pikir aku benar-benar tua dan bodoh? Aku membiarkanmu hidup dan tidak menyakitimu meski aku tau kau melukai permaisuri. Bahkkan mencuri wajahnya. Bukan tanpa alasan. Tapi, ingat. Aku tetaplah kaisar. Apapun yang kalian lakukan aku tahu semuanya."
"Bahkan, aku pun tahu bahwa kalian setiap malam selalau bertemu dan menghabiskan waktu bersama." Ujar sang kaisar lagi.
Melihat harapan semakin tipis, permaisuri gadugan itu meletakkan tubuh sahabatnya di lantai perlahan. Ia bangkit dan mencoba menguatkan tubuhnya.
Ia tertawa perlahan seperti orang kerasukan setan.
"Apa anak kesayanganmu ini yang memberitahukannya padamu?" tunjukan sang permaisuri pada putri yang telah kehilangan gelarnya.
"Tidakkah kau tahu, ia memang membenciku seumur hidupnya? Apapun kebaikan yang aku lakukan, ia tak akan pernah menerimaku sebagai ibunya."
Kaisar tertawa kecut. "Njoo, kau sudah semakin kehilangan akal. Aku memiliki banyak mata-mata di istana. Semua orang di istana ini harus patuh kepada kaisar. Tanpa Siane, aku bahkan bisa mengetahui semua hal yang telah kalian berdua lakukan.
Cukup menjijikkan. Jika rakyat tahu apa yang kalian berdua lakukan, maka istana tidak lagi memiliki muka dan kepercayaan. Kalian tak bisa dibiarkan lagi!"
"Ayah apa maksdumu? Kau tak bisa membiarkan kami berdua? Dan jika kau sudah tahu ia bukanlah ibu, mengapa kau tetap saja melindunginya. Tak memberikan hukuman apapapun padanya. Kau sama buruknya denganku ayah!"
"Dia benar", sahut sang permaisuri lagi. "Apapun yang terjadi, kau tidak lebih baik dari kami kaisar. Kau juga membiarkan ku berkeliaran dan tetap menjadi permaisuri. Suami macam apa kau?"
Perkataan putra mahkota dan kekasihnya membuat Kaisar makin geram. Ia mengambil pedang dari tangan ajudan yang mengikutinya. Ia ingin menancapakannya ke jantung sang anak saat itu juga. Jika saja, Pastor Mark dari Bzyantium terlambat datang mungkin putra mahkota benar-benar mati di tangannya.
"Pastor, mudah bagi anda mengatakan memaafkan mereka. Tapi bagiku, ini bukanlah hal yang gampang."
Pastor Mark menghela nafas dalam-dalam.
"Aku mengerti, atapi baik bagaimana pun juga, anda juga salah dan ikut terlibat dalam hal ini. Jangan biarakan orang lain yang tak bersalah menjadi korban. Jika tak perlu sebaiknya tak membunuh orang yang juga menjadi korban. Kulihat, putra mahkota juga korban di sini."
"Kau menghina sekali Pastor! Aku bukan korban. Kalianlah orang-orang yang menghalangi cinta kami!" teriak putra mahkota.
"Kau memiliki banyak selir, mengapa harus mencintai Njoo."
Tak sabar mendengar ocehan keluarga ini, Siane mengambil pedang dan melukai Putra Mahkota. Ia kesakitan dan tak sadarkan diri. Tumbang ke lantai.
"Tuan Putri cobalah mengendalikan emosi anda."
Ucapan Pastor Mark tak lagi berarti saat ini. Bagi Siane, ia hanya ingin mengakhiri drama cinta tak kenal batas ini. Ia hanya ingin menyelamatkan kerjaan dan tentunya dirinya dari setiap rencana jahat yang permaisuri palsu miliki.
"Tidak kah kau merasa bersalah membunuh saudara kandungmu sendiri?" tanya Kaisar.
Dengan tenang, Siane menjawab. "Yang Mulia, kita tidak sedang dalam posisi tawar menawar. Bukankah aku saudah katakan. Aku akan mengakhiri hidup permaisuri dan semua orang yang berada dipihaknya. Ingat, kau sudah menyetujuinya."
Siane, menarik pedangnya dan mendakati permaisuri.
"Katakan Yang Mulia, apa yang ia katakan benar?"
Kaisar hanya diam membisu.
"Pastor Mark, apakah benar yang kau katakana? Aku akan bisa membunuhnya dengan mudah. Jika aku mempercayai Tuhan yang anda sembah.?"
Pastor Mark, berlutut dalam posisi berdoa.
"Ada tertulis, siapapun yang mengusir setan dengan namaKu, maka ia bukan musuhKu. Cukup yakin dan tidak ragu. Percayai dengan segenap hatimu, segenap jiwamu dan segenap akal budimu."
Permaisuri mulai mejauh mengantisipasi. Ia terlihat mulai sigap dan tak lagi berwajah manis. Auranya pun menjadi kuat. Ia bukanlah permaisuri yang lemah lebut lagi.
"Jika Kau membunuku, ibumu juga akan mati", permaisuri itu megingatkan kembali kesepakatan mereka di awal.
"Aku terluka, ia juga terluka. Kami terhubung. Pikirkan baik-baik itu wanita busuk!"
Permaisuri memberi isyarat untuk memanggil seseorang. Ia mengharapkan orang-orang suruhannya datang. Datang dan membawa sang ibu. Tapi yang ia dapat adalah.
"Apa yang terjadi pada kalian?" tanya permaisuri yang memanggil mereka dengan ilmu yang ia miliki.
Dalam seketika segerombolan monster yang penuh luka, meraung-raung kesakitan tiba-tiba muncul. Monster-monster itu muncul atas panggilan magis yang permaisrui lakukan. Hanya saja, ini benar-benar tidak seperti yang ia harapkan.
"Kau memanggil, segerombolan sampah.?" Ejek Siane.
Geram. Permaisuri mengeluarkan pedang dari tangannya. Ia cantik bak bidadari tapi mematikan layaknya seoerang penyihir. Siapapun yang melihat pertarungan mereka akan berusahan menghindar sebisa mungkin.
"Yang Mulia, kita akan mati jika terus berada di sini. Nona Yang dan Permaisuri sudah kehilangan kendali."
"Dong Yan, kecil sekali nyalimu!" bentak Kaisar. Seketika itu juga ia diam dan menutup mulutnya.
"Jika hal ini sampai ke telinga orang luar, aku pastikan kau dan keluargamu yang akan pertama mendapat hukuman!"
"Hamba mengerti Yang Mulia"
Pertarungan makin sengit. Jika bukan karena Siane sudah terbiasa menghadapi berbagai musuh, mungkin ia akan tumbang dari awal. Sebab yang ia hadapi kali ini, bukanlah lagi manusia. Ia adalah iblis.
"Ikat kakinya" perintah Jenderal Huo yang baru saja datang dengan beberpa pasukan.
"Kau! Ini pengeroyokan! Kalian akan mati ditanganku semua" kata permaisuri yang terjatuh karena lima orang mengikat kakinya dari lima sudut.
"Tuan Putri, jangan buang-buang tenaga anda. Aku akan menanganinya dari sini."
"Huo, ini adalah masalah pribadi. Dan lagi pula. Aku ingin membunuhnya sendiri."
Permaisuri berusaha bangkit. Namun saat ia bangkit lima orang dari sudut berbeda menarik kakinya. Ia kembali terjajut. Saat terjatuh. Dua orang lainnya mengikatkan tali di tangannya. Ia meronta-rontan.
"Ayo bunuh aku. Jika kau membunuhku. Ibumu juga akan mati!" teriaknya. "Kau akan menjadi pembunuh ibumu. Semua rakyat akan mengejarmu dan merajammu dengan batu."
Tanpa banyak bicara lagi, Siane mengarahkan pedangnya dan menusukkanya di dada. Wanita itu muntah darah dan kesakitan.
"Selir, Njoo. Kalaupun aku harus mati, itu tak maslah." Kata seseorang dengan sangat lirih. Ia adalah permaisuri asli. Ia datang dengan beberapa orang prajurit wanita, dengan melemahnya Njoo, tubuhnya juga melemah.
"Kau tidak mungkin! Bagimana kau bisa membunuh ibumu!"
Tak ingin membuang waktu. Siane nenancapkan pedangnya semakin dalam. Darah semakin bertetesan.
"Siane Yang! Kaulah iblis sesungguhnya!"