Chereads / Lady in Red (21+) / Chapter 25 - Ai no Scenario (Skenario Cinta) (21+)

Chapter 25 - Ai no Scenario (Skenario Cinta) (21+)

Ai no Scenario

- CHiCO with HoneyWorks -

( Magic Kaito Theme Song Opening 2 )

.

Even if it is the answer to deceive the world

palm hold out "believe"

because fear is not not escape in any way

I drown out the weakness open your eyes

Are you aware of the repeated destiny?

The secret I'm hiding I'll tell you someday I'll

walk up the false shadow You don't know The

sprouting memories are inevitable thorns

==================

Segera Vince pacu penis itu tanpa merubah posisi Ruby yang berdiri menghadap tembok kaca. Dua tangan erat cengkram pinggul Ruby sambil terus amati bokong yang bergoyang-goyang erotis saat ia hentakkan penis.

"Lihat ke kaca, Ru! Lihat betapa kau memang menginginkan aku!" perintah Vince.

Ruby menggeleng. Namun, ia menyerah dan melirik bayangan mereka di kaca. Sungguh sangat mesum. "Vin... kau kejam..." rintih Ruby lirih.

Kini dua tangan meraih payudara Ruby, dekatkan tubuh mereka. "Kau sangat basah dan responsif, Ru sayank."

"A-angh! Diam, Vinh! Angh! Argh! Urmccph! Mphh! Mmfhh!" Ruby sudah disumpal bibir Vince ketika ia menoleh barusan.

Tak bisa disangkal, Ruby menyukai aksi Vince, meski ini bisa dikategorikan pelecehan, bahkan pemerkosaan. Tapi, Ruby akhirnya menerima.

Saat tubuhnya dihadapkan ke Vince, kemudian dua kaki ditahan oleh siku Vince yang kuat, Ruby merasa di nirwana terindah. Penis agresif Vince terus saja memberikan sodokan, mengakibatkan rasa panas di vagina. Bunyi kecipak erotis tercipta karena pertemuan cairan pelumas mereka.

Keduanya saling berpagut mesra bagai masih seperti dulu. Ruby pikir, buat apa berontak jika Vince terus mengancam. Lebih baik nikmati saja. Nyatanya, ia tidak mendapatkan gairah muda ala Vince pada Benetton yang mulai menua.

Tak lama, Ruby kembali menyerahkan cairan spesialnya setelah membekap kuat-kuat mulutnya.

Vince tak melepaskan penisnya, membopong Ruby ke sebuah sofa bulat tanpa sandaran di situ, lalu duduk dengan Ruby ada di pangkuan. "Ayo goyangkan berahimu, sayank. Aku rindu itu."

Gilamya, Ruby patuh, mulai gerakkan pinggul secara binal sehingga Vince menggeram nikmat dikarenakan penisnya bagai dihisap dan dikocok rapat-rapat oleh otot vagina Ruby.

Tak sia-sia wanita itu rajin olah raga semacam senam body language agar memperkuat otot vagina. Vince turut merasakan hasilnya. Tidak heran pemuda tampan itu sangat tergila-gila pada Ruby. Ia jarang menemukan wanita bervagina yang bisa menghisap-hisap penisnya.

Posisi demikian rupanya bisa mempercepat orgasme Ruby. Lagi-lagi dia semburkan jus beningnya, dan langsung terkulai di bahu Vince.

Vince bergerak, rebahkan Ruby di sofa tersebut, kemudian buka lebar paha Ruby, sehingga dia bisa leluasa melomoti kewanitaan wanita favoritnya.

Ruby gemetar, menggelinjang begitu lidah nakal Vince meliuk ganas di sekujur klitoris peka milik dia. Lalu, mulut menyesapi vagina basah seolah mereguk segala cairan di sana.

Beruntungnya, ruangan itu dilapisi karpet tebal di area sofa, maka Vince bisa rebahkan tubuh telanjang Ruby ke atas karpet mahal tersebut. Hei, G-string merah sudah lenyap rupanya! Cekatan sekali tangan Vince.

Vince kembali masukkan penis yang masih tegang sempurna belum klimaks ke dalam vagina, kemudian menghentak cepat tanpa jeda. Dua kaki Ruby dilipat sembari paha dibentang lebar agar ia bisa menonton semua lekuk kewanitaan Ruby dari atas.

Puas menonton, Vince merunduk, sampirkan dua kaki Ruby pada pundaknya. Alhasil penetrasi makin dalam. Itu akibatkan erang tertahan mereka kian menjadi-jadi. Keduanya sama-sama terangsang hebat.

Saat pompaan penis kian mengganas cepat, Ruby menyerah terlebih dahulu, lalu beberapa detik berikutnya disusul Vince.

Vince cabut penis dari vagina, membuka tas yang dia bawa, dan lemparkan sebuah tisu basah pocket ke Ruby yang masih lemas di karpet. "Cepat bersihkan vaginamu. Lalu lekas pakai bajumu."

Pria itu juga mengambil tisu basah lain dari tas dan buru-buru mengelap sperma yang berceceran di penis. Setelah membuang tisu ke tempat sampah di situ, ia segera merapikan pakaiannya dan kembali kenakan jas yang tadi sempat dia lempar ke sofa.

Ruby masih membersihkan vaginanya ketika Vince selesai berpakaian.

"Kenapa kau bisa tau aku ada di sini?" tanya Ruby penasaran.

"Aku mengikutimu." Jawaban singkat tanpa bertele-tele dari Vince menciptakan senyum masam Ruby.

"Kau meninggalkan Ying'er di rumah. Apa dia tak curiga kau pergi lama?" Ruby masih ingin mengorek.

"Tidak. Aku katakan padanya aku ada urusan mendesak, dan dia tak banyak tanya sepertimu."

Ruby menelan ludah. Apakah dia sedang dibandingkan? "Kenapa kau lakukan ini, Vin?"

"Karena aku tau kau pasti menyukainya," sahut Vince telak ke sasaran.

Ruby terdiam ingin protes, namun gagal menemukan kalimat. Otaknya berpikir cepat. Ia harus bisa menyanggah ucapan Vince agar pria itu tidak besar kepala. "Tapi... bukankah kau sudah bisa lampiaskan napsu bejatmu ke Ying'er? Kenapa kau menyasarku lagi?"

Vince mendekat ke Ruby yang duduk di karpet. "Karena hanya kau yang aku mau. Sudah berulang kali kukatakan, bukan? Feifei hanyalah alat bagiku."

Ruby meremas kuat tangannya. Geram. "Jadi, kau menipu Ying'er? Kau hendak menyakitinya?" Matanya mulai basah, hatinya remuk karena keponakan tersayang hanya mendapatkan cinta palsu dari Vince.

"Itu salahmu, Ru. Kau bertanggung jawab penuh atas apa yang aku lakukan dan atas apa yang terjadi pada Ying'er-mu." Lalu Vince terkekeh culas.

"Lepaskan Ying'er jika memang kau tak pernah menginginkannya... hiks!" Ruby terisak.

"Iya, tentu saja akan aku lepas dia suatu saat nanti. Atau bisa kuberikan ke salah satu temanku. Pasti ada yang mau kalau bekasku." Vince memandang pongah Ruby yang gemetar karena amarah.

Ruby ingin berteriak menghujat Vince, namun ia tau diri serta tau tempat. Ia lekas bangun untuk berpakaian. "Kau pria bajingan!"

"Terima kasih pujianmu. Setidaknya..." Vince dekatkan bibir ke telinga Ruby. "...kau mampu orgasme berkali-kali dengan bajingan ini. Pfftt! Aku keluar dulu. Ambil saja semua baju itu, aku yang akan membayarnya."

Ruby katupkan mulut rapat-rapat dengan geraham saling beradu. Apakah dia memang mengambil keputusan keliru? Terbayang Feiying akan sangat patah hati ketika akhirnya dibuang Vince. Pelan, jari Ruby menghapus bulir air mata sebelum jatuh ke pipi.

Vince sudah keluar dari fitting room. Ruby pun mempercepat mamakai baju dan merapikan dandanannya.

Ketika Ruby keluar dan bertemu pelayan butik, ia ditanya, "Nona, tidak jadi membeli baju kami?"

Ruby terpaksa berhenti dan menoleh ke pelayan tadi diiringi senyum palsu. "Rasanya itu semua tidak ada yang cocok untukku. Maaf."

"Tapi kekasih Nona tadi sudah membayar semua baju yang Nona bawa ke fitting room." sergah pelayan satunya.

'Vin brengsek!' maki batin Ruby. "Ah, ya sudah kalau dia sudah membayar."

"Baiklah. Tunggu sebentar di sini, akan kami bungkus semuanya, Nona." Dua pelayan segera masuk ke ruangan tadi. Ruby berharap bau kemesuman dia dan Vince tidak tercium oleh pelayan itu. Dan semoga Ruby sudah membuang semua tisu basah ke tempat sampah.

"Ini, Nona. Terimakasih." Pelayan menyerahkan beberapa tas belanja berlogo merk ternama ke Ruby yang berdiri menunggu di depan meja kasir.

"Oke, terimakasih."

"Jangan bosan berbelanja di sini lagi, Nona."

"Ah, ya. Oke." Ruby kenakan kacamata hitam begitu keluar dari butik sembari menenteng banyak tas karton yang kemudian ia lempar ke jok belakang.

Mobil ia pacu cepat ke mansion suami. Ia menyuruh pelayan wanita mengambil belanjaan dia di mobil, sedangkan dia langsung naik ke atas, ingin segera mandi.

Benetton yang ada di kamar, menyapa istrinya. Ruby membalas singkat tanpa banyak menghiraukan sang suami yang sedang asik dengan tanaman bonsai di balkon kamar mereka.

"Maaf, Ben. Aku lelah dan ingin lekas mandi." Ruby segera masuk ke kamar mandi. Ia tumpahkan tangis di sana dan sengaja kucurkan shower agar tidak terdengar Benetton.

Ruby merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia benci karena tak mampu menolak Vin. Ia muak pada rayuan Vince. Dan dia murka karena Vince benar-benar mempermainkan Feiying.

Puas menangis, ia segera mandi dan keringkan tubuh dengan handuk.

Memakai mantel kamar mandi, ia keluar dari ruang lembab. Benetton segera berikan rangkulan mesra padanya.

"Mau kupijat?" tawar Benetton.

Ruby mengangguk sambil senyum. Suaminya memang jenis pria yang amat lembut.

Jari-jari besar Benetton sudah mulai merayap di punggung Ruby, memijat wanita itu setelah rebah telungkup di kasur.

Ruby kian merasa bersalah. Jantungnya berdegup kencang mengingat peristiwa fitting room bersama Vince. Kini, Benetton begitu manis memijat punggung dan kakinya. Rasanya sungguh tak adil jika ia membandingkan sang suami dengan Vin.

Karena perasaan bersalah itulah, Ruby balik badan dan memberi sinyal ke suaminya untuk bersetubuh.

"Aku bahagia memilikimu, Ben..." bisik Ruby sambil pekuk leher sang suami ketika Benetton menyatukan diri dengannya.