Mata indah nan tajam itu memandang penuh rasa amarah pada sosok yang duduk di depannya.
"Aku tidak mau menikah." Kata perempuan pemilik mata indah itu, tegas dan mantap tanpa keraguan.
Sosok lawan bicaranya tak segera memberikan reaksi. Ia hanya menatap tajam pada sang pemilik mata indah yang merupakan cucu kandungnya sendiri.
Atmosfer di ruang kerja minimalis itu, begitu menegangkan sampai leher terasa mencekik. Asisten sang kakek berdiri di samping, merupakan pria umur tiga puluhan dengan pakaian jas hitam dan rambut rapih, serta berkacamata, hanya bisa mengelap keringatnya sendiri menggunakan sapu tangan biru muda. Ia tahu betapa keras kepala wanita yang berusaha dibujuk tuannya tersebut.
" SHIMAZAKI SATOMI!" ucap sang kakek dengan suara menggelegar dan keras.
"Kakek tidak usah berteriak! Aku juga masih bisa mendengar dengan baik!"
"Sampai kapan kamu mau melajang terus? Kakakmu sudah menikah sejak dulu dan sudah memiliki dua anak di Amerika! Apa kau tidak malu? Semua orang di perusahaan ini membicarakanmu! Dan bulan depan adalah ulang tahunmu! Berapa umurmu tahun ini!" tangan sang kakek memukul-mukul meja kaca dengan penuh tekanan hingga membuat sang asisten panik menghentikannya sebelum ada retak di sana.
Satomi mendengus geli.
"Aku tidak butuh yang namanya pernikahan. Jika masalah anak, perusahaan ini sudah aku anggap sebagai anak kandungku sendiri. Apa bedanya? Toh, fungsi anak hanya untuk membuat kita bahagia, dan aku bahagia dengan perusahaan yang sudah aku rintis ini dari nol."
"Begitu. Apa ini pernyataan perang padaku?"
Satomi merasa tertohok, kedua bola matanya membesar.
Perusahaan miliknya belum bisa dibandingkan dengan perusahaan milik sang kakek,
meski perusahaannya sudah terbilang bernilai ratusan ribu dollar, tapi perusahaan kakeknya adalah perusahaan kelas internasional. Jika ia bersaing dengan perusahaan kelas kakap seperti itu, dalam sekejap perusahaannya bisa musnah dan akan susah bangkit lagi.
"Aku tak ada niat untuk bersaing dengan kakek! Maka dari itu aku membuat lini produk perusahaanku sendiri! Kakek datang jauh-jauh kemari dari Tokyo hanya untuk menyuruhku menikah? Apa kakek sebegitu luangnya?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Tongkatnya dihentakkan ke lantai kali ini. Sang asisten hanya bisa salah tingkah karena terkejut dan mengelap keringat dingin di pelipisnya.
"Di keluarga kita tak ada keturunan pria. Aku sudah berperan sebagai pria, apa itu tidak cukup? Semua yang kakek inginkan dari seorang pria untuk dibanggakan sudah aku berikan: harta, nama besar, kekuasaan, dan citra seorang dewi bisnis di Jepang. Jangan meminta hal mustahil dariku seperti memberikan cicit! Aku tidak suka kerja keras 'jenis itu'."
"SATOMI!"
"Kakek ini berisik sekali." Jari kelingking kanannya mengorek iseng lubang telinganya, mata menyipit sebal, meski begitu aura dingin yang terkenal dari wanita itu masih terlihat jelas.
"Kakek tidak mau tahu! Pokoknya mulai minggu depan kau harus ikut acara perjodohan yang akan diatur khusus untukmu!"
"Tsk! Kakek! Jangan melakukan hal sia-sia begitu! Kakek pikir akan ada pria yang tahan selevel denganku? Di dunia ini, para pria takut menikah dengan tipe perempuan dominan dan lebih berpenghasilan! Kakek mau dapat laki-laki yang lebih hebat dariku di mana? Terlebih lagi aku adalah cucu dari Shimazaki Group yang mendunia! Jika kakek berharap aku mendapat suami yang hebat, maka sebaiknya kakek telan bulat-bulat semua itu! Mereka hanya akan mengincar harta dan uangku lalu bermain wanita! Aku jijik dengan lelaki semacam itu!"
"Jangan khawatir. Jika hanya itu masalah yang mengganggu pikiranmu. Kakek akan menyeleksi secara ketat calon suami untukmu. Kau hanya perlu datang ke acara perjodohan dan bersikap manis, imut, dan patuh layaknya seorang putri bangsawan."
"Apa?"
Satomi tiba-tiba saja merinding, rasanya harga dirinya terluka. Dia bukan perempuan yang suka bermanis-manis dan terlihat imut di hadapan siapa pun. Selama ini, citranya adalah perempuan dingin perfeksionis dengan gaya berpakaian seksi ala kantoran.
"Singkiran citra wanita gila kerjamu saat ke acara perjodohan nanti. Untuk menundukkan hewan buas kau harus terlihat lemah agar bisa menaklukan mereka."
"Aku bukan hewan tak berotak. Jika kakek bicara soal hewan buas. Di kebun binatang ada banyak, kenapa tidak mengambil satu untuk peliharaan di rumah? Itu lebih masuk akal daripada mencari suami tidak becus."
"SATOMI!"
Perempuan itu mengecek jam tangannya. "Sebentar lagi aku ada rapat. Kuharap kakek bisa melakukan tur di perusahaan dengan bantuan asistenku," ia bangkit dari meja tamu dan berjalan menuju meja kerja, menekan nomor telepon dan berbicara dengan nada tajam, "Tolong temani Komisaris Shimazaki Group berkeliling perusahaan kita."
"Baik, Satomi-san!" jawab seorang wanita di seberang sana.
"AKU BELUM SELESAI BICARA, SATOMI!" sang kakek tampak murka, tapi juga salah tingkah karena dicuekin tiba-tiba, ia menghentak-hentakkan tongkat berjalannya ke lantai seperti anak kecil yang sedang ngambek.
Satomi menghela napas panjang. "Menghadapi orang tua memang pelik...."
"Apa katamu? Aku dengar apa yang kau katakan barusan! Dasar cucu kurang ajar!" sang kakek hendak menghampiri sang cucu, tapi asistennya lebih tanggap hingga hanya bisa tertahan di tempat duduknya. "Lepaskan aku, Teruo! Aku sudah jauh-jauh datang ke Kanagawa hanya untuknya, tapi dia tak menganggap kedatanganku sama sekali?! Aku baru sepuluh menit di sini, tapi dia sudah mau pergi?!"
"Kakek jangan manja! Aku adalah seorang pebisnis yang sibuk, waktu adalah uang. Sesama pebisnis, bukankah kakek tahu dengan jelas prinsip itu?" Ia meraih sebuah dokumen dan sebuah tablet di atas meja, berjalan melewati sang kakek yang tampak masih berjuang melepaskan diri dari cengkramann bahu sang asisten.
"Semoga rapatnya berjalan lancar, nona!" seru Teruo.
Satomi hanya mengangguk dingin ke arahnya, dan membuka pintu.
"Apa tur perusahaannya sudah bisa dimulai sekarang?" tanya sang asisten Satomi yang muncul dari balik pintu.
"Oh! Tomoko! Iya. Tolong perlakukan mereka dengan sangat baik. Aku ke tempat rapat dulu."
"Baik. Serahkan padaku." Sang asisten menundukkan kepala sejenak, lalu tersenyum ramah ke arah Teruo yang masih saja berjuang menahan sang kakek agar tak mengamuk.
"Mohon bantuannya." Teruo tersenyum terpaksa.
"Selamat datang di perusahaan kami! Anda ingin turnya dimulai dari mana?" tanya Tomoko, senyum manis mengembang di wajahnya.
"SATOMI! KEMBALI KE MARI! AKU BELUM SELESAI BICARA! KAU MAU BENAR BERPERANG BISNIS DENGAN SHIMAZAKI GROUP?!" teriak sang kakek.
"Shimazaki-san. Tidak baik bersikap begitu. Ini perusahaan cucu anda. Apa kata orang nantinya?" Teruo melirik pelan ke arah sang asisten wanita yang tampak berusaha menahan pandangan tak mau ikut campur.
"Satomi-san akan mengadakan rapat penting hari ini, sudah saya bilang untuk datang lain hari, kan?"
"Lepas! Aku masih ingat!"
Teruo pun melepaskan kedua tangannya dari pundak sang kakek, tersenyum meringis.
"Maafkan aku, Shimazaki-san. Saya sudah lancang hari ini." Teruo membungkuk sejenak.
"Ah... lupakanlah. Cucuku itu memang suka membuat kepalaku berdenyut hebat. Gosip soal dia itu pecinta wanita membuatku malu bukan kepalang. Bagaimana aku menanyakan hal itu secara langsung padanya tanpa menyakitinya? Dia juga masih perawan. Sejak dulu, hanya tahu belajar, belajar, dan belajar. Selepas kuliah, hanya sibuk bekerja bagai kuda. Apa memang dia punya kelainan?" ia memandang curiga pada sang asisten wanita.
"SA-SAYA NORMAL, SHIMAZAKI-SAMA!" teriak sang asisten, setengah gelagapan.
"Oh.... cucuku.... apa dia akan meninggal dalam keadaan masih perawan? Menyedihkan sekali...." sang kakek terlihat pura-pura menangisi sang cucu, matanya setengah mengintip ke arah sang asisten wanita, "jika saja aku bisa mendapat informasi pribadi tentang kehidupan kantornya, mungkin akan lebih mudah mencarikannya calon suami. Oh.... cucuku yang malang, berhati dingin dan pekerja keras. Hidup macam apa itu?"
"Ehem!" Teruo memberi tanda pada sang asisten wanita.
"A-apa? Apa yang bisa saya bantu?" Tomoko gelagapan, panik dan salah tingkah.
"Saya harap anda bisa menjelaskan sedikit keseharian Satomi-san saat bekerja pada kami selama tur perusahaan hari ini."
Sang asisten wanita tampak ragu-ragu. Berbicara tentang bosnya pada orang lain tentu sangat tidak sopan, tapi ini, kan, keluarganya sendiri, jadi mungkin tak mengapa.
"B-baik. Saya akan menceritakan tentang bagaimana keseharian Shizamaki-san di tempat kerja!"
"Teruo! Catat perkataan wanita itu! Jangan sampai lewatkan informasi sekecil apapun!"
"Baik, Shimazaki-san!" Teruo kini dalam pose siap siaga mencatat dengan pulpen dan buku kecil di tangan.
"Su-sungguh sigap sekali!" komentar Tomoko, setengah berbisik melihat tingkah laku Teruo.
"Mari kita bicarakan ini dengan santai, nona asisten. Ayo duduk bersama kami, tur perusahaan bisa menanti." Bujuk sang kakek.
Sang asisten hanya mengangguk patuh, wajahnya tampak pucat pasi.
***