Kota Istanbul tak pernah tak cantik, Kota dengan kepadatan penduduk dan kehidupan modernnya, tak pernah lepas dari cerita kehidupan metropolis para warganya.
Masih di bulan Januari, dimana rintik salju menimbun Kota Istanbul. Suhunya bisa mencapai -5 derajat.
Thalita tinggal di sebuah rumah mewah yang letaknya tak jauh dari selat Bhosporus, dimana selat tersebut membelah daratan benua Eropa dan Asia. Rumahnya terletak tepat di tengah distrik Besiktas, distrik yang merupakan distrik terelit di sepenjuru Turki terutama di Kota Istanbul.
Thalita memandang ke arah luar jendela rumahnya dari lantai 3 ruangan sholat rumah tersebut. Ia memejamkan matanya dan berusaha mengingat kejadian 6 tahun yang lalu.
Semua tak akan pernah kembali seperti 6 tahun yang lalu.
Bumi yang diinjak sekarang, sudah tak sama dengan bumi yang diinjaknya dulu.
Ternyata semua tak sia- sia. Thalita sedikit demi sedikit mengingat sesuatu. Ingatannya bagaikan anak puzzle yang hilang. Ia harus mencarinya dengan teliti agar tersusun kembali gambar puzzle yang sempurna.
**
Thalita pun hendak keluar rumah. Ia sudah memakai gamisnya dan juga menyambar khimarnya di atas ranjangnya, ia pun tak lupa mengambil mantel panjanganya dari gantungan baju dan juga tak lupa ia mengambil syalnya yang hendak Ia kalungkan di lehernya sebelum mengenakan khimar.
Ia pun memakai sepatu boots hitamnya dan keluar melangkahkan kakinya keluar rumah.
Ia telah bersiap pergi ke suatu tempat yang mana ia ingat. Tempat itu adalah tempat yang sangat berarti Thalita.
Thalita pun pergi menaiki taksi ke tempat yang Ia maksud. Sebuah taman yang bernama Emigran Korusu dimana hanya perlu waktu 20 menit saja untuk menjangkau taman tersebut dari rumahnya.
Walau cuaca sangat dingin, tak mengurungkan niat Thalita untuk pergi ke taman yang telah diselimuti salju tersebut.
Sang supir taksi pun menurunkan Thalita di tempat yang dimaksud.
Thalita pun melangkahkan kakinya dengan gamis yang menyeret ke tanah, menuju jalan setapak yang tertata diantara pepohonan pinis yang kini tengah tertimbun salju.
Ia meneteskan air matanya mengingat sesuatu di tempat itu.
Thalita menutup telinganya dengan kedua tangannya,, Ia seperti mendengar suara tembakan- tembakan yang keras, peluru- peluru terbang di udara, dan suara ledakan dari lemparan granat tangan yang menimbulkan ledakan yang amat kencang, keadaan mencekam itu kembali terbayang di dalam benaknya. Ia pun tiba- tiba berjongkok sembari memeluk dirinya sendiri. Ia sangat ketakutan mengingat kejadian mencekam tersebut.
**