"Lihat tak ada yang bergaris dua, itu berarti kau ti—"
"Dua!" pekikkan Rena menghentikan ucapan Tiara. Membuat gadis itu menoleh dan matanya terbuka lebar melihat sebuah test pack yang kini memiliki garis dua. Apa?! Bagaimana bisa?! Tidak! Ini tidak mungkin!
Dengan cepat Tiara menarik test pack itu. Dan mengamatinya dengan seksama.
"Ini tidak mungkin. Tast pack ini pasti salah. Atau jangan-jangan test pack ini sudah rusak." Tiara bersikeras menyangkal hasil test pack itu. Dia tak akan percaya. Jelas-jelas dia tau jika Elise mandul dan tak akan pernah bisa hamil. Ini pasti rusak!
"Rusak?" tanya Elise dengan alis yang terangkat menatap Tiara penuh cemooh.
"Apa kau ingin mengatakan kelima test pack itu rusak?" ucapan Elise membuat mata Tiara menoleh ke meja. Terarah tepat pada keempat test pack yang kini menampilkan dua garis merah.
Tiara tak bisa berkata-kata. Dia terlalu terkejut dengan semua ini. Karena sebelumnya dia yakin Elise tak akan bisa hamil. Tiara bahkan sudah berkonsultasi dan bertanya dengan seorang dokter kandungan dari rumah sakit lain mengenai hasil pemeriksaan rahim Elise. Dan dokter itu mengatakan dengan jelas Elise sangat sulit untuk hamil.
"Bagaimana bisa?" Setelah lama kesulitan berkata, hanya itu yang bisa Tiara ucapkan.
"Tentu saja bisa. Karena aku dan Brian bekerja extra siang dan malam membuatkan cucu untuk Mommy." Elise dengan cepat memeluk tubuh Brian dari samping. Bergelung manja di dekapan dada Brian.
Sial! Tiara mengepalkan tangannya kesal. Dia sangat marah. Matanya menatap Elise tajam. Jika dia memiliki kekuatan super, Tiara pasti sudah membakar tubuh Elise sekarang juga.
Brian yang awalnya terkejut mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dan perlahan merangkul pundak Elise.
"Sekarang Mommy sudah percayakan, kalau Elise sekarang sedang mengandung cucu Mommy."
Binar mata Rena terlihat. Dia menatap Brian dengan bahagia.
"Ya, Mommy sudah tak sabar menimang cucu," ucap Rena dengan senyuman pada Brian.
"Dan kau! Jaga kesehatan dan pola makanmu. Jangan sampai terjadi sesuatu pada cucu, Mommy." Walau nada Rena masih sedikit tajam tapi Elise tetap tersenyum lebar dan mengannguk. Ini pertama kalinya Rena memperhatikan dan mengkhawatirkan keadaannya.
Tak hanya itu, Rena mulai berbicara panjang lebar mengenai apa yang harus Elise lakukan dan tak boleh dia lakukan. Layaknya seorang ibu yang memberikan wejangan dan petuah pada anaknya.
Tiara mendengus kesal dan muak. Dia merasa terabaikan dan tak dianggap lagi. Tangannya mengepal semakin erat. Matanya menatap tajam ke arah Elise. Tiara bersumpah tak akan melepaskan Elise begitu saja. Akan dia balas wanita licik itu. Brian hanya miliknya.
Tiara bangkit berdiri dan pergi dari mansion. Sejam kemudian Rena juga pamit pulang.
Kini di ruangan keluarga itu hanya ada Elise dan Brian. Elise duduk membelakangi Brian dengan pria itu memeluk eratnya dari belakang.
Brian masih termenung menatap testpack yang tergeletak di atas mrja. Saat testpack itu menunjukkan dua garis merah dia sangat terkejut. Jantungnya bahkan berhenti sedetik sebelum berdetak dengan sangat cepat. Dia sempat berpikir bahwa Elise benar-benar hamil saat ini. Tapi ... Sepertinya itu hanyalah harapan semu. Karena wanita yang hamil sekarang adalah Elena, bukan Elise, istrinya.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" Akhirnya pertanyaan itu terucap juga. Brian bertanya-tanya sejak tadi.
"Sebenarnya ketika di rumah sakit tadi, saat Diana ingin membuang urine milik Elena aku menghentikannya. Entah mengapa aku memiliki sebuah firasat untuk menyimpan urine itu. Dan ternyata keputusanku memang benar."
"Tapi aku tak menyangka Tiara akan menyudutkan kita seperti tadi. Dia bahkan membeli banyak test pack untuk membuktikan kehamilanku." Brian mengangguk paham.
"Sepertinya dia sangat menyukaimu." Nada suara Elise tajam, membuat Brian tersenyum lebar dan menunduk untuk menatap wajah cantik istrinya.
"Tentu saja. Apa kau lupa siapa aku? Salah satu billionare hot yang diidamkan semua wanita," ucap Brian penuh percaya diri dengan mengangkat dagunya tinggi. Membuat Elise menoleh dengan wajah cemberut dan memukul dada Brian kesal.
"Kau menyebalkan!"
"Walau menyebalkan, kau tetap suka, kan." Kedua alis Brian naik turun menggoda istrinya.
"Ya, dan pria tampan ini hanya mencintaiku seorang." balas Elise dengan senyuman penuh kemenangan. Membuat Brian tak bisa bekata-kata dan tertawa.
Setelah tawanya mereda, Brian terdiam menatap ke kejauhan.
"Elise, bagaimana jika Elena tinggal di mansion kita?" Tubuh Elise menegang sesaat. Ada keheningan yang cukup lama. Namun Elise sama sekali tak berbicara.
"Aku menghawatirkannya. Maksudku, Elena sedang hamil dan tinggal sendiri di apartemen. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada kandungannya? Kau sendiri tau berapa banyak petuah yang Mommy ucapkan. Aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada anakku."
Elise menoleh ke arah belakang. Menatap lekad mata Brian.
"Aku takut Elena bersikap ceroboh dan membuat kita kehilangan baby."
"Tapi bagaimana jika Mommy kemari? Dan tau semua ini? Dia pasti akan marah besar."
"Kita hanya harus menyembunyikan Elena dari Mommy. Kalian juga bisa berkumpul bersama."
"Baiklah. Tapi aku tak ingin bertukar posisi dengan Elena. Dia bertukar posisi denganku saat kehamilannya sudah sembilan bulan." Elise sudah membulatkan tekadnya dia akan berpura-pura hamil di depan Rena. Hingga kehamilan tua dan saat usia sembilan bulan. Barulah dia dan Elena bertukar posisi. Elise tak ingin jauh dari Brian. Ada ketakutan tersendiri di dalam hatinya. Dia takut Brian akan berpaling jika dia berada jauh dari pria itu.
"Iya, sayang." Brian mencubit gemas kedua pipi Elise.
"Sekarang ayo kita pergi berbelanja."
"Belanja?"
"Baju untukmu dan juga susu ibu hamil untuk Elena." Elise memandang mata Brian. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ucapan Brian hanyalah bentuk perhatian karena Elena mengandung anak mereka. Tidak lebih.
"Ya benar. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui jenis kelaminnya. Perempuan atau laki-laki ya, Kau ingin apa?"
"Laki-laki," jawab Brian.
"Aku juga ingin anak laki-laki. Dia pasti sangat tampan sepertimu." Tangan Elise terulur membelai wajah tampan Brian.
"Tentu saja, karena aku Daddynya." Mulut Elise ingin sekali membalas ucapan Brian itu dengan kata-kata yang sama, mengatakan dia Mommy-nya. Tapi kata itu sangat sulit untuk keluar dari tenggorokannya.
"Ayo pergi," ajak Elise. Binar bahagia kembali muncul di wajah Brian. Pria itu sangat senang.
.
.
Elena berdiri diam di depan mansion Brian. Matanya menatap takjub rumah besar itu. Begitu besar dan luas. Elena bahkan tak akan pernah menyangka bisa masuk ke rumah seperti ini. Setelah Elise dan Brian berbelanja mereka menjemput Elena di apartemen dan mengajak wanita itu untuk tinggal di mansion.
"Ayo masuk, Elena." Tangan Elise merangkul lengan Elena. Mengajaknya untuk masuk ke dalam. Sedangkan Brian sedang menurunkan barang belanjaan mereka dan juga barang-barang Elena. Seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai tukang kebun juga membantunya.
Elena berjalan masuk bersama Elise. Mulutnya ternganga saat berada di dalam rumah. Ruang tamu yang besar, megah dan luas yang memiliki beberapa barang antik. Semakin dalam Elena melangkah, semakin dia dibuat kagum. Mansion itu sangat besar dan luas. Kakinya terhenti saat menatap ke sudut dinding yang menampilkan sebuah foto besar pernikahan Elise dan Brian.
"Kau sangat cantik, Elise. Aku berharap bisa berada disana saat pernikahanmu." Elena menatap lekat foto itu lalu menoleh kepada Elise. Membuat wanita itu terharu.
"Maaf, aku tak mengundangmu. Aku tak tau dimana keberadaanmu."
"Sudahlah, tak apa."
"Ya sudah. Ayo, kuantar ke kamarmu." Elise mengantarkan Elena ke kamarnya. Kamar tamu yang berada di lantai dua. Yang tak jauh dari kamar utama milik Brian dan Elise.
"Beristirahatlah. Aku akan memanggilmu saat makan malam sudah siap."