Jika kau adalah jenis manusia suci calon pemegang kunci surga, lantas merasa jijik dengan cukup membaca judulnya saja, maka enyahlah! Atau mungkin di benakmu kini berkelindan tentang fantasi liar__membayangkan dirimu tengah berasyik-masyuk dengan artis seharga delapan puluh juta rupiah sekali kencan yang beritanya terus diulang serupa kaset rusak. Oh, demi aurora borealis yang ingin kugapai tapi tak sampai. Aku tak butuh manusia berotak sampah seperti itu!
Kau lihat dia? Lelaki di depanku begitu bersemangat membuka helai koran edisi akhir pekan yang baru saja dibelinya, lalu berujar "ahaaa!" ketika menemukan rubrik cerpen yang dicarinya. Dialah Bram, lelaki berhati malaikat kiriman Tuhan untuk menjadi suamiku. Dia mengajakku keluar sarapan yang bisa dibilang kesiangan atau makan siang kepagian. Kami mampir di kafe Recharge dekat rumah. Jam dinding di meja kafe sudah menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh. Dua cangkir espresso dan sepasang sandwich tuna kini telah tandas, sementara tangan kami saling menggenggam satu sama lain, dan mata kami larut menekuri kata demi kata dalam cerpen itu.
Menit berlalu. Kafe semakin ramai dipadati pengunjung yang hendak makan siang atau sekadar ngopi santai sambil ber-Wi-Fi ria. Tepat searah pintu masuk, di sana tiga orang barista tengah menghias bentuk dari buih di atas cangkir-cangkir kopi. Dua kasir di sebelahnya sibuk menghitung total bill pelanggan. Dua gadis milenial yang duduk di dekat jendela seakan tak pernah puas dengan hasil jepretannya. Mereka terus mengabadikan diri menjelma ratusan foto, meski pada akhirnya hanya satu foto saja yang di-upload di sosial media. Pekat aroma kopi menguar memanjakan hidung. Sayup-sayup aku mengenali gema melodi di ruangan. Seandainya saat ini kami sedang di teras rumah. Aku ingin mengajak Bram berdansa di atas rumput halaman sambil bertelanjang kaki.
Baby, i'm dancing in the dark with you between my arms. Barefoot on the grass. Listening to our favorite song.
Yap! Perfect-nya Ed Sheeran. Kami sedang merayakan hari ini lima tahun lalu. Dia yang tak pernah kusangka akan meminangku. Sambil membaca cerpen itu, diam-diam aku mencuri pandang padanya.
"Selamat membaca ulang kisahmu ya, Wid." Suara ceria menyambut telinga ketika panggilan ponsel itu kuangkat.
"Terima kasih banyak, Mbak Rania. Kamu menuliskannya dengan sangat manis. Terima kasih banyak sudah membantuku dalam kampanye ini. Selamat juga untukmu," jawabku tersenyum.
Tak seperti kebanyakan pelanggan yang betah berlama-lama untuk menikmati free Wi-Fi, kami sudah hendak menuju kasir ketika genggaman tangan Bram menahanku sejenak.
"Jadi ..." Seiring tatapan nakalnya seraya menggantung ucapan, aku membalasnya dengan memutar bola mata. Namun dia tahu pasti oksitosin di dalam tubuhku tengah memuncak.