Ayolah, Widia. Cuma reject segini kurasa masih oke. Mana coba? Panggil Mbak Nur ke sini," protes terlontar dari sosok di hadapanku.
"Sekali reject, ya reject, Mas. Gak ada toleransi. Mbak Nur lagi istirahat. Aku yang gantiin dia sementara," balasku sebal saat dia justru seenaknya menyuruhku memanggil leader-ku.
Badannya kekar dengan tinggi menjulang nyaris dua meter. Belum lagi suara bariton berat dan rupanya yang kerap menautkan alis, membuatku merasa terintimidasi. Bayangkan sosoknya dicelupkan dalam cat hijau, persislah dia dengan Hulk. Jika sedang ribut dengannya, aku sering mengejeknya Bramantyo Nugroho Si Gergasi, begitu biasanya kupanggil dia sambil memasang tampang terjelek plus juluran lidah ke arahnya. Maka matanya yang sudah seperti bhuto itu akan kian melebar.
Kami bekerja di departemen sanitary napkin di sebuah perusahaan Jepang. Bram seorang operator mesin dan aku di bagian quality control. Aku sering berseteru dengannya perihal masalah kualitas produk. Hal yang paling menyebalkan ketika menghadapi operator sepertinya adalah kecenderungan mereka yang berusaha mengejar target produksi sehingga abai pada kualitas produk. Saat ditemukan produk yang reject, mereka biasanya mengelak atau menjadikan oknum quality control sebagai kambing hitam.
Seiring waktu, pandanganku tentang Bram berubah. Ternyata dia tak seburuk yang kukira. Tubuhnya memang raksasa intimidatif, tapi hatinya selembut marshmallow. Awalnya aku heran mengapa Bram selalu menyembunyikan wajah di balik topi safety dan masker ketika bekerja. Rupanya keisenganku digunakan oleh Mbak Asri dan Mas Didik, kedua sahabat Bram, untuk menjahilinya. Diam-diam keduanya sering menyampaikan salam atas namaku pada Bram. Saat itu tak pernah terlintas sedikit pun bayangan lelaki bertubuh tinggi, besar, dan bersuara medhok khas Jawa sebagai tipe pria idamanku.
Aku ingat betul saat itu jelang akhir 2011. Kejenuhan melandaku yang hanya bergelung di dalam kontrakan, sementara karyawan lain asyik menikmati liburan akhir tahun. Rasanya bisa mati bosan kalau begini terus. Kemudian entah angin apa yang menggerakkan jemariku untuk chat dengan Bram.
"Ajakin aku jalan-jalan dong, Mas," rengekku.
"Ayo."
See? Hanya a-y-o saja jawabnya. Apa semua lelaki selalu irit kalimat begitu? Bram menjemput di teras kontrakanku di Rawa Suren. Tepat 25 Desember 2011, bersamaan hari Natal, menjadi kencan pertamaku dengan Bram. Ia mengajakku makan siang di Warteg Bu Mega, sebuah warteg yang cukup besar berkonsep prasmanan dan lauk bervariasi di daerah Cikarang Baru. Jika saja dulu sudah ada emot tepuk jidat di aplikasi ponsel pintar, tapi ya, saat itu aku hanya menepuk jidat sungguhan. Kukira ia akan mengajakku ke suatu tempat entah di mana. Ternyata hanya ke sebuah warteg. Kadang aku tersenyum sendiri jika mengingatnya.
Bram kemudian mengajakku ke Giant Mall Mega Bekasi. Padahal aku hanya mengenakan kaus oblong berbalut sweater lusuh, jeans belel, dan sandal jepit. Jadilah kami berdua menonton Mission Impossible 4 kala itu. Jujur saja, untuk ukuran lelaki, bagiku Bram tergolong pelit. Untungnya aku bukan jenis cewek matre yang langsung ilfeel diajak ke warteg pada kencan pertama.
Kupikir segalanya telah usai setelah kencan. Di masa lalu, aku pernah beberapa kali mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan. Sejak saat itu bisa dibilang aku mudah bosan pada lelaki. Aku tak lagi benar-benar serius menjalin kasih. Pernah aku dekat dengan pria selama tiga hari, seminggu, dan paling lama cuma sebulan. Setelahnya aku akan mencampakkan mereka layaknya playgirl. Pernah salah satu mantan memakiku habis-habisan tapi aku tak peduli.
Namun Bram menciptakan perbedaan.
Setelah kencan pertama itu, sepulang kerja Bram sering meneleponku sampai berjam-jam sekadar mengobrol ngalor-ngidul tak karuan. Dia juga sering mengirimiku lagu-lagu cinta yang membuatku ge-er. Wajar kan kalau aku merasa semua lagu itu seolah ungkapan isi hatinya padaku? Dan yang paling kusukai darinya adalah kedewasaannya. Dia tidak pernah bersikap macam-macam padaku selama ini. Menurutnya, aku ini gadis jujur dan lugu, tak suka meminta ini-itu seperti gadis lain yang selama ini didekatinya. Aku mulai merasa nyaman sekaligus khawatir perasaanku akan bertepuk sebelah tangan.
"Sebenarnya kita ini apa, Mas?" tanyaku suatu waktu menuntut kejelasan hubungan kami.
"Kita jalani aja dulu, ya," jawabnya ringan.
Jawaban klise tanda seseorang tak ingin terikat komitmen. Meski sempat kecewa, aku tak bisa memaksa kehendaknya. Sampai suatu hari ia mengucapkan sebaris kalimat yang membuat jantungku serasa terbang ke bulan. Si Gergasi itu melamarku. Akad nikah kami berlangsung sederhana dengan konsep pesta kebun yang hanya dihadiri keluarga dan orang terdekat. Yah, bisa dibilang aku terobsesi pada film Twilight.
Seperti pasangan pengantin baru pada umumnya, kami pun menjemput malam pertama. Melepas hasrat paling purba antara dua anak manusia. Hingga satu hal aneh terjadi. Aku mendadak emosional. Merasa cemas tanpa sebab. Di puncak kenikmatan, lingga yang gelora tak kunjung menembus garba. Seakan ada dinding maha tebal, sesuatu di antara dua pahaku menolak keras segala bentuk penetrasi. Bram yang kadung orgasme, terpaksa memuaskan libidonya dengan onani.
"Maaf, Sayang. Aku ... gak tahu kenapa aku merasa gak siap," ucapku setelahnya.
"Gak apa-apa, Sayang. Mungkin kamu kecapekan."
Ada benarnya yang dibilang Bram. Aku memang kelelahan setelah seharian menerima tamu. Esok lusa kami mencoba lagi. Dan hal serupa masih terjadi lagi. Semula kupikir mungkin aku tak siap karena saat itu masih fokus dengan kesibukan kuliah. Namun kelamaan otakku mengirim sinyal bahwa ada yang salah. Mungkinkah aku kurang rileks? Apa jangan-jangan aku frigid? Atau yang lebih parah, lesbi? Tidak, tidak, tidak! Kuhapus segala spekulasi negatif itu dari pikiran.
Bram merencanakan berbagai kejutan romantis mulai dari menginap di hotel sekitar Cikarang hingga yang paling berkesan, liburan ke Lombok. Bram memandang kelainan dalam diriku dari kacamata yang salah. Ia mengira aku membutuhkan ketenangan untuk melakukannya.
"Gimana kalo nanti di sana kita gagal lagi, Sayang? Aku takut kamu kecewa." Ketakutan menyergapku selama kami dalam penerbangan.
"Gak apa-apa, Sayang. Kita kan ke sana mau liburan. Kalo gagal ya nanti kita coba lagi. Masih banyak waktu. Gak usah dipikirin." Selalu saja hanya ketenangan yang keluar dari mulut Bram setiap kali kami membahas masalah itu.
Fasilitas kamar hotel yang luar biasa besar dan pemandangan menghadap langsung ke pantai, seharusnya mampu membangun suasana romantis di antara kami. Debur ombak dan embusan angin yang membawa sensasi asin di udara nyatanya tak membuat bulan madu impian kami berhasil.