"Astaga, Victoria? Kau kenapa?"
Untuk beberapa detik Victoria terpaku. Baru menyadari jika orang yang tidak sengaja dia tabrak ternyata wanita yang menjadi dalang dari kesedihannya. Tanpa bisa di cegah, rasa benci mulai timbul di hati Victoria begitu melihat Irene.
"Victoria?" tanya Irene lagi, kali ini sembari menyentuh pundak telanjang Victoria.
Victoria tidak bersuara, hanya melirik tangan Irene yang menyentuh kulit tubuhnya. Lalu suara teriakan milik Raka kembali terdengar. Victoria pun panik. Dia langsung menghempaskan tangan Irene. Cukup kasar. Membuat Irene tersentak. Setelahnya Victoria bergegas pergi—terburu-buru, tanpa kata maaf. Tidak sampai disitu, Victoria juga memberikan tatapan permusuhan pada Irene sebelum pergi. Dan tentunya sikap Victoria barusan membuat Irene bingung.
"Victoria!"

"Irene?" perhatian Raka teralihkan begitu matanya mendapati Irene.
Irene termenung di tempatnya. Kepalanya memikirkan banyak hal, termasuk Victoria. Raka menatap Irene. Wanita itu tampak diam, matanya menerawang ke arah depan dan mengabaikan dirinya. Raka pun memilih untuk mengikuti arah pandangannya, lalu kembali menatap wanita itu.
"Irene." panggil Raka.
"Ah, I-iya?" Irene langsung tersadar.
"Apa kau melihat Victoria? Aku sedang mencarinya."
Irene mengangguk. "Dia tadi menabrakku. Lalu dia langsung pergi."
"Kemana?"
"Ke arah sana." jawab Irene, menunjuk ke arah depannya. Raka ikut melihat ke arah itu.
"Dia menangis. Kau apakan dia?" tanya Irene, mencoba berani. Meskipun Raka masih terlalu begitu menakutkan untuk Irene karena teror itu, tapi Irene berusaha melupakannya, sebab Irene tau Raka sudah meminta maaf pada Diego beberapa hari yang lalu, lelaki itu bahkan ingin berteman lagi dengan Diego. Raka bilang ingin memulai pertemanan mereka dari awal lagi. Tapi entah kenapa...Irene malah merasa Raka tidak bersungguh-sungguh untuk berteman, apalagi mendengar kata-kata Raka padanya saat mereka bertemu,
"Apa kau pernah mendengar pria yang mudah jatuh cinta pada wanita lain ketika wanita yang dia cintai sekarang malah ada di hadapannya?"
Sialan. Apa maksudnya? Jadi Raka masih mencintainya bahkan setelah pria itu menyatakan dirinya mempunyai kekasih? Ah, apalagi lelaki itu mengatakannya ketika Victoria ada di sampingnya. Hell, Raka gila. Tapi....tunggu! Irene juga melihat Victoria menangis, wanita itu berlari begitu cepat sampai-sampai menabraknya. Dan yang membuat Irene lebih bingung adalah...
Kenapa Victoria berubah panik dan berlari kembali ketika mendengar suara Raka memanggilnya? Apa jangan-jangan Rakalah yang mengejarnya?
Oh, Tuhan! Irene baru sadar. Pasti Victoria salah paham dengan kata-kata Raka waktu itu! Victoria pasti sedang marah hingga menjauhi Raka. Tapi tatapan Victoria tadi... Irene cukup ngeri. Tatapannya sengit sekali. Victoria bahkan terlihat membenci Irene hanya dari caranya menatap Irene. Uh oh... Irene dalam masalah.
"Bukan apa-apa. Mungkin dia lelah hingga ingin cepat-cepat pulang. Hm...." jeda Raka, mengambil satu langkah maju. Menatap Irene lekat. "Melihatmu seperti ini, aku jadi berpikir kalau kau begitu penasaran dengan hubungan kami," Raka tersenyum sinis. "Lucu sekali." ucapnya, sambil tergelak.
Irene menyipitkan mata, menggeleng pelan. "Sama sekali tidak, Mr. Mikhailova." tukasnya, menatap Raka tidak suka. "Aku tidak peduli denganmu. Termasuk kehidupan asmaramu."
Raka langsung menganggukkan kepalanya, terkesan meremehkan. Irene muak, tapi dia tetap melanjutkan.
"Jangan lupakan juga permintaan maafmu pada suamiku atas semua perbuatan jahatmu, Raka. Sikapmu yang tidak sopan padaku tadi membuatku semakin yakin untuk meragukan maafmu itu. Jika suamiku tau, kau akan tamat. Tidak ada lagi ampunan."
Kalimat bernada tegas Irene ternyata membuat Raka marah. Dia menatap Irene tajam dengan rahang yang mengeras. Raka merasa Irene tengah mengancamnya.
"Baiklah." ucap Raka cepat, masih dengan tatapan tajamnya yang tidak lepas dari Irene. "Aku minta kau untuk melupakan itu. Setidaknya demi nyawaku. Kau wanita baik, tidak mungkin kau—"
"Aku tidak bodoh dan naif seperti bayanganmu," potong Irene cepat, kemudian mundur beberapa langkah. Menjaga jarak yang seharusnya tidak sedekat ini. "Aku peringatkan—jangan pernah mempermainkan Victoria. Jika dia sampai membenciku, aku yang akan membencimu seumur hidup!" tegas Irene, lalu beranjak pergi.
Irene membuat Raka marah. Sangat. Tapi bersamaan dengan itu keinginan Raka untuk mendapatkan Irene semakin besar.
"Irene..." gumam Raka, mengepalkan tangan.
Bugh!
Dengan emosi yang memuncak Raka meninju tembok di sampingnya dengan keras. Darah segarpun langsung keluar, melumuri kepalan tangan Raka. Napasnya naik turun, sementara matanya menatap punggung Irene yang menjauh.
"Aku akan membuatmu jatuh hingga hanya aku yang bisa menangkapmu, Irene. Itu akan terjadi. Pasti!" gumam Raka penuh ancaman.

•••
At Intan's House. Jakarta Selatan—Indonesia. 09:00 PM.

Seusai acara pernikahan mereka di Gereja Katedral sore tadi, Diego dan Irene memutuskan untuk istirahat dan bermalam di rumah Intan sebelum berangkat ke Tiongkok. Well, pesta pernikahan mereka akan di adakan disana. Perayaannya akan sangat megah. Dan itu akan di pastikan oleh Diego sendiri. Semuanya hanya untuk Irene. Istrinya.
"Tunggu sebentar ya. Aku mau mandi dulu." ucap Irene di depan pintu kamar mandi.
Diego yang tengah berbaring di atas ranjang langsung menoleh. "Jangan lama-lama." ucapnya.
"Tentu."
Irene pun masuk, bersamaan dengan itu ponsel milik Diego tiba-tiba berbunyi. Diego mengernyit, hendak mengambil ponselnya dengan menjulurkan tangannya ke atas meja di dekat ranjangnya tanpa merubah posisi berbaringnya.
Ternyata ada sebuah pesan masuk. Diego membukanya, tidak ada nama yang tertera, hanya nomor yang Diego tidak kenali. Tapi jika di lihat dari angka angkanya, Diego tahu ini nomor bukan berasal dari Indonesia, melainkan dari luar negeri.
Ini isinya,
Hai, ini aku, Mi Lover. Aku menyesal, Diego. Kau mau kan memaafkan aku? Sudah satu bulan sejak kau membebaskanku. Aku sangat senang. Terimakasih banyak... Aku sudah berubah, dan aku sudah melupakanmu. Kenangan kita, sudah aku lupakan dalam-dalam. Aku juga sudah menemukan lelaki baru, dia sangat baik dan tampan. Aku senang akhirnya dia menjadi pacarku. Ah, selamat atas pernikahanmu, Diego... Wanita yang kau pilih itu pasti beruntung. Aku akan datang kesana besok bersama pacarku. Aku harap kita bisa bertemu lagi. Bye!
Lovelyn Mikhailova pengirimnya. Sedikit heran jika wanita itu mengatakan bahwa—Aku sudah berubah, dan aku sudah melupakanmu—karena laporan yang setiap hari Christian berikan padanya berbanding terbalik dengan ini, bahkan Lucas tahu dimana saja tempat tinggal orang-orang Mikhailova untuk memata-matainya. Astaga....Mi Lover tidak juga berhenti. Wanita sialan itu bahkan lebih berani, mengintainya, mengikutinya dengan menyuruh bawahan payahnya. Dan sekarang pesan ini malah datang dengan membawa penyesalan Mi Lover? Haha, permainan kotor yang dilakukan Mi Lover membuat Diego menahan tawanya. Oh, hell... Mi Lover bilang dia sudah memiliki pacar? Ah, bagus sekali. Dengan itu permainan kotor ini akan lebih menyenangkan, dan siapa tau ini akan lebih cepat berakhir?
Diego juga tidak terkejut sama sekali. Dia bahkan sudah mengira ini akan terjadi. Semuanya akan kembali—bukan hanya Raka dan Mi Lover yang sudah menunjukkan baunya, dan entah dengan duri setajam apa yang akan mereka bawa. Well, sikap Diego yang santai dan membiarkan mereka bebas melakukan apa saja sekarang-sekarang ini....bukan berarti Diego tidak berhati-hati. Diego sebenarnya hanya mengikuti alur dari permainan mereka, dan dia tinggal menciptakan lubang yang bisa dia gunakan untuk menenggelamkan mereka di waktu yang tepat. Beres.
•••

Pancaran cahaya dari lilin aromaterapi membuat ruangan kamar mandi berlantai marmer itu tampak indah. Temaramnya cahaya memberikan efek warna jingga yang indah di pandang. Aroma mawar bercampur wanginya lilin aromaterapi seketika menyeruak di indera penciuman Irene. Harum sekali. Membuat Irene tenang.
Busa putih dengan perpaduan aroma bunga mawar menyelimuti seluruh tubuh Irene yang kini telanjang di dalam bathtub yang telah di taburi helaian bunga mawar. Wajah merona dengan senyum merekah tidak henti terpasang di wajah Irene yang cantik.
Irene memandangi cincin yang terpasang di jari manisnya. Dia tidak percaya kalau dirinya telah resmi menjadi istri Diego Alvaro. Suaminya itu bagaikan keindahan paling menyakitkan yang pernah dia miliki. Lelaki yang paling dia benci. Lelaki yang juga telah memberikan torehan luka, sekaligus kebahagiaan di dalam hatinya.
Irene menatap jendela kaca tembus pandang di sebelah kanannya, matanya memandangi Diego yang kini dalam keadaan shirtless. Suaminya juga tengah memandanginya lewat jendela kaca itu. Mereka saling melemparkan senyum. Diego masih berbaring di ranjang, sementara mata birunya menatap lekat ke arah Irene yang tengah berendam.
"Kau sudah selesai? Sudah satu jam, Irene." ucap Diego dengan suara serak.
Karena hening, suara Diego bisa di dengar oleh Irene.
"Benarkah?" Irene bertanya heran, pasalnya Irene tidak sadar jika sudah satu jam dia berendam.
"Ya! Cepatlah. Temani aku tidur!"
Irene memutar bola matanya. "Oke, oke, Tedy bear!" ucapnya, lalu menatap Diego lewat jendela kaca sambil terkekeh.
Kemudian Irene segera berdiri dan meraih bathrobe pada gantungan besi di sampingnya. Irene memakai mantel mandinya dengan asal. Rambut panjangnya yang basah dia gulung ke atas dengan handuk tipis miliknya. Wanita bermata coklat terang itu mendekati kaca besar yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Irene mengamati penampilannya disana. Wajahnya kini telah lebih berwarna.
Irene menarik napas panjang sembari membuka pintu. Dia mendapati Diego masih berbaring di ranjang, mata birunya juga masih terbuka—menatapnya. Irene tertangkap—balas menatapnya. Kemudian tak lama Irene melepas pandangan—malu, pipinya merona, karena itu Irene buru-buru melewati Diego dengan berlari kecil menuju meja rias sambil menundukkan kepala. Tanpa Irene tahu Diego malah terkekeh geli melihatnya.
Irene sendiri kini tengah mengeringkan rambutnya, menatap dirinya di kaca, dan Irene tahu jelas ada sepasang mata biru yang juga menatap dirinya. Sangat lekat. Irene tidak kuat, karena itu dia terus menatap dirinya—menolak melihat cara Diego ketika menatapnya. Oh, Lord....Irene merasa panas setiap kali Diego memandanginya. Rasanya berbeda. Sangat. Irene tidak tahu kenapa...mungkin karena malam ini adalah malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Suasananya lebih mendebarkan dari malam-malam yang sudah mereka lewati, malam yang dimana mereka bersama tanpa adanya hubungan. Tapi kali ini...
Irene sangat gugup.
Tidak hanya itu, Irene bahkan ingin menghilang saja. Karena Diego mendadak memeluknya dari belakang.
"Di-diego?" Irene terbata, merasakan tangan kekar Diego yang memeluknya erat.
"Kau sangat harum, sayang." Diego telah berdiri di belakang Irene, memeluknya, mendaratkan bibirnya di tengkuk wanita itu setelah menurunkan bathrobe Irene hingga lepas—membuat istrinya benar-benar telanjang.
Lagi. Irene tersentak ketika dia merasakan napas hangat Diego menyentuh kulit lehernya yang dingin. Bibir lelaki itu menelusuri lehernya dengan lembut, naik dan turun, membuat Irene gila. Akal sehat Irene mulai hilang ketika dia mendesah. Dengan hubungan mereka yang sah, ini adalah sensasi paling menyenangkan yang baru dia rasakan—kuat dan tegas. Dan sekarang, Irene mengakui, cinta mereka telah menyatu—saling menerima. Irene mendesah lagi dan menumpukkan kedua tangannya di lengan Diego yang memeluknya. Irene mengangkat kepalanya, membuat bibir panas Diego lebih leluasa menjelajahi leher jenjang itu dan Irene kembali mengerang nikmat.
"Kau adalah istriku. Aku akan membuatmu bahagia." gumam Diego serak—penuh dengan janji. Irene mendongak, menatap matanya yang menyala-nyala. Diego tengah menunduk di atasnya. Lalu, lelaki itu menarik pundak Irene—membuatnya berdiri. Diego lantas menundukkan kepala, keningnya bersentuhan dengan keningnya. Dia menarik Irene mendekat, membuat Irene merasakan gairahnya.
"Itu harus. Kau suamiku." ucap Irene serak.
Diego tertawa pelan.
"Kau juga boleh menuntutku, lakukan semaumu." Diego memiringkan kepala, menyapukan bibirnya ke bibir Irene. "I'm yours, baby."
Irene meremang, terbakar dalam sentuhan Diego. Jemari lelaki itu mengusap lembut kepalanya. Irene merasa tertawan, tapi dia menyukainya. Sementara angin malam mulai masuk, menusuk kulit mereka. Panas dan dingin. Tapi mereka tetap melanjutkan, karena setelah itu, milik Diego sudah memenuhi Irene dengan cara yang menyenangkan. Dan sinar bulan yang mengintip malu itu, menjadi saksi dari percintaan mereka.

To be continued.