SELAMAT MEMBACA...
SEMOGA SUKA!
Playlist : Thousand Years—Christina Perri.
Yang kepo sama gambarnya bisa lihat di NovelToon dan MangaToon ya! Di webnovel gak bisa liat:'(
•••
Seminggu kemudian...

At Katedral Church. Jakarta Pusat—Indonesia. 09:00 AM.

Bunyi lonceng gereja terdengar begitu seorang pria tampan dengan setelan resminya berdiri di depan pintu masuk. Sontak, hal itu membuat semua orang berbalik untuk menatap Diego Alvaro yang saat ini tampil begitu memukau. Baju pengantinnya terdiri dari setelan jas hitam dengan kemeja putih, dasi pita, dan sepatu pentopel hitam mengkilap. Rambutnya di potong rapi, kulitnya wangi maskulin. Tapi, dari semua itu yang lebih membuat mereka terpukau adalah sepasang mata berwarna biru miliknya. Sangat indah, seperti cahaya. Namun terangnya bukan dari cahaya yang mereka lihat, melainkan netra biru yang kini memancarkan sinarnya. Menakjubkan—sebening lautan. Sama seperti matanya, wajah Diego juga tampak cerah saking bahagianya.
Well, Diego Alvaro belum pernah merasa sebahagia ini. Dan sekarang dia sudah tahu apa itu rasa senang yang sesungguhnya. Rasanya tidak bisa di ungkapkan oleh kata-kata. Terlalu banyak. Tapi yang jelas Diego benar-benar bahagia. Bibirnya bahkan tidak bisa untuk berhenti tersenyum.
Dan ternyata... semua itu hanya karena seorang wanita. Ya. Bae Irene. Wanita yang akan dia nikahi.
Dengan satu tarikan napas panjang, Diego melangkahkan kakinya masuk. Kaki panjangnya yang di balut kain katun itu melangkah lurus ke arah altar pernikahan. Karpet bulu warna putih yang pendek dan ringkas melintang persis di bawah sepatunya. Hiasan bunga memenuhi ruang gereja, juga terdapat lilin aroma yang terasa menyenangkan di hidungnya. Membuat kegugupan yang dirasakan Diego sedikit berkurang.
Kini, didepan Diego sudah ada seorang pendeta. Sean Morgan Alvaro berdiri di samping pendeta dengan gagah. Setelan jas hitamnya juga tak kalah memukau, disampingnya berdiri seorang wanita yang terlihat sangat cantik dengan balutan gaun yang dia pakai, Jasmine Eleanore Poetri. Istrinya. Ibunya Diego. Sementara di sebelah kiri pendeta, Christian tampak rapi dengan setelan jas berwarna biru tua. Kali ini dia memakai dasi pita. Christian terlihat sedang memegang sebuah kotak kaca yang berisi sesuatu yang mewah di dalamnya—cincin pernikahan Diego dan Irene. Cincin yang sempat menjadi saksi bisu pertengkaran Diego dan Irene seminggu lalu.
Kemudian, Diego sudah berdiri di atas altar. Diego langsung memberikan salam hormatnya kepada pendeta. Diego juga melihat Sean dan Jasmine melemparkan senyuman padanya, memberinya dukungan secara tersirat. Christian membungkukkan badannya begitu Diego meliriknya sebelum pria itu berbalik menghadap ke arah pintu yang dia masuki tadi.
Dan sekarang... Mata biru Diego menatap lurus ke arah depan. Menanti kedatangan wanita yang paling dia tunggu-tunggu.
•••

"Oh My God! Aku belum pernah mendandani wanita secantik dirimu, Irene!" pekik Jamilah Ningtiyas, perias pengantin perempuan berusia dua puluh satu tahun yang dipilih Intan untuk menyiapkan Irene.
Irene terkesiap, langsung memundurkan kepalanya sembari menatap Jamilah lewat cermin sembari menahan tawa. "Kau mengagetkanku, Jamilah!" seru Irene, tertawa kecil.
Jamilah balas menatap Irene lewat cermin, menatapnya geli, kemudian kembali fokus mendandani Irene. "Ibumu makan apa sih pas hamil kamu? Cantiknya minta ampun! Heran deh." gumam Jamilah pelan, tidak habis pikir.
Irene melihat ke atas, tampak berpikir. "Hm... Nasi? Aku rasa sama aja, Jamilah! Kau ini berlebihan sekali." gerutu Irene, lalu terkekeh.
Jamilah yang sedang mengaplikasikan blush on berwarna pink di pipi Irene berhenti sejenak, memandangi wajah Irene dari cermin. "Aku serius! Kamu itu cantik... wajahmu sudah cantik apalagi aku hias seperti ini."
Irene tersenyum lagi.
Setelah selesai merias wajah Irene dengan make up, Jamilah segera mengambil Mahkota yang tersimpan di atas meja. Tangannya menyentuh perhiasan itu penuh kehati-hatian. Takut jatuh. Pasalnya ini bukan Mahkota biasa, ini berasal dari Inggris. Harganya juga mahal sekali—senilai 1,5 juta dollar—atau sekitar 20 miliar rupiah.
"Sudah selesai?" tanya Irene, langsung berdiri.

Irene melihat penampilan dirinya dari cermin. Dengan gaun putih berkilauan yang menjuntai ke bawah, membuat Irene terpana pada dirinya sendiri.
Gaun dengan potongan panjang di bagian punggung mengekspos keindahan kulitnya. Kulitnya yang putih begitu menyatu dengan warna gaunnya. Lalu Mahkota di atas kepalanya membuat kecantikannya makin nampak. Hingga bentuk payudara yang menonjol dan belahan yang mengintip malu-malu itu membuat siapapun pria yang melihatnya berdecak kagum.
Jamilah memperhatikan Irene. Lalu tiba-tiba alisnya perlahan mengkerut. Sepertinya ada yang kurang.
"Eh, tunggu! Ada yang belum! Aku lupa memasangkan penutup di kepalamu, Irene!" seru Jamilah heboh.
Irene tertawa lagi. "Astaga..."
Sentuhan terakhir, Jamilah mengencangkan sanggulan di kepala Irene sebelum memasangkan veil—penutup kepala.
"Wah... sudah selesai!" Jamilah memekik senang melihat hasil karyanya. Matanya berbinar kagum. Hasilnya benar-benar di luar dugaan, sempurna dan rasanya seperti melihat seorang Dewi secara langsung.
Irene tersenyum pada Jamilah. "Terimakasih ya."
"Sama-sama. Kamu perfect banget! Aku pangling!" seru Jamilah lagi.
•••
Lima belas menit kemudian...
Srek!
Puluhan wartawan yang berdiri di depan pintu masuk langsung melihat ke belakang. Tepat ketika suara pintu gereja yang dibuka. Sontak, kalimat-kalimat pujian langsung memenuhi telinga Irene. Mereka memuji kecantikan sang pengantin wanita saat pertama kali melihat. Bahkan saat ini, tanpa jeda waktu mereka juga langsung menghujani Irene dengan jepretan blitz dari kamera mereka.
Oh, jangan lupakan sosok orang tua yang menemani Irene. Dengan setelan jas resminya, Glen Michael Johannson berdiri di samping Irene—menggandeng lengan sang anak tirinya itu, sementara di belakang Irene dan Glen berdiri kedua ibunya—Bae Angel dan Intan Kartika Dewi. Mereka berdua tampil cantik dengan gaun putih dan karangan bunga yang mereka bawa.
Para tamu undangan menatap ke arah Irene yang kini perlahan melangkahkan kakinya menuju altar. Banyak dari mereka yang menatap Irene kagum, ada yang bersorak memuji bahkan dari mereka juga banyak yang mengambil gambar Irene seperti wartawan.
Irene berjalan dengan anggun ke arah Diego yang berada di atas altar. Berdiri tegap dengan tangan dimasukan kedalam saku celana. Tampan, seperti biasanya, mata birunya menatap Irene lekat. Irene tersenyum, balas menatapnya. Wanita cantik itu mengabaikan flash kamera yang terus menerpa dirinya. Demi Tuhan... Pandangan Diego lebih indah dari apapun. Mata birunya membuat Irene terkunci. Sampai saat ini, Irene belum pernah melihat sepasang mata paling menakjubkan yang mampu melebihi mata biru Diego. Rasanya Irene ingin mati, tidak tahan dengan mata sebiru safir yang tidak sekalipun meninggalkannya. Ditatap selekat itu, Irene merasa dicintai.
Begitu sampai, Glen langsung melepaskan gandengannya, menyerahkan tangan Irene ke tangan Diego yang entah sejak kapan sudah menjulurkan tangannya. Irene menerimanya, bibirnya tersenyum hangat.
"Irene... Aku jatuh cinta lagi." bisik Diego di telinga Irene.
Wajah Irene langsung berubah, bibirnya mencebik kesal. "Dengan siapa?" ucapnya tidak suka.
Diego menyeriangi. "Wanita luar biasa yang ada di depanku."
Irene terkekeh. Wajahnya memerah sembari memukul dada Diego. Cukup kencang. Tapi Diego tidak kesakitan, dia malah tertawa geli melihat Irene yang menggemaskan.
Lalu setelah itu Pendeta segera memulai upacara pernikahan. Pendeta meminta Diego dan Irene untuk duduk bersanding di depan mimbar sementara orang tua mempelai duduk di barisan paling depan dan di lanjutkan oleh anggota keluarga lainnya di belakangnya. Proses di awali dengan melantunkan pujian bersama-sama, pemberitaan firman Tuhan, dan terakhir... upacara peneguhan yang di sertai janji suci pernikahan.
Kini Pendeta meminta Diego dan Irene berdiri, lalu menatap Diego sembari memberikan beberapa pertanyaan. Tak lama setelah pertanyaan di ajukan, Diego menghadapkan tubuhnya pada Irene. Irene ikut melakukan itu.
Diego menatapnya lekat.
Astaga... pipi Irene panas. Jantung Irene benar-benar menggila.
"Saya, Diego, membawa Anda, Irene, untuk menjadi istri saya. Saya berjanji untuk mencintai dan menghormati Anda sejak hari ini, untuk lebih baik, lebih buruk, untuk kaya, untuk miskin, sakit, dan kesehatan semua hari-hari kehidupan kita, sampai kematian memisahkan kita," ucap Diego.
Demi Tuhan, Irene ingin menangis.
"Aku akan selalu mencintai Bae Irene. Sekarang dan selamanya. Hanya dia." ucap Diego dengan suara beratnya. Kepala Diego juga sudah tertunduk di depan patung Jesus seusai membuat tanda salib dengan jemarinya. Kesungguhan terlihat jelas dalam mata biru Diego yang menenggelamkan, terutama ketika Diego lanjut berkata. "Ini adalah sumpah Diego Alvaro. Sumpahku di hadapan Tuhan."
Kedua mata Irene langsung berkaca-kaca, lalu perlahan air matanya jatuh.
Diego kembali menghadap Irene, dia menggenggam tangannya. Menunggu Irene untuk mengucapkan janjinya.
Irene membiarkan air matanya terus mengalir sambil berkata, "Saya, Irene, membawa Anda, Diego, menjadi suami saya. Saya berjanji untuk mencintai dan menghormati Anda sejak hari ini, untuk lebih baik, lebih buruk, untuk kaya, untuk miskin, sakit, dan kesehatan semua hari-hari kehidupan kita, sampai kematian memisahkan kita, " jawab Irene, air matanya makin merebak.
Setelah itu...
"Maka atas nama Gereja Allah, saya meneguhkan pernikahan kalian di atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus," ujar pendeta.
Maka, sejak saat itu Diego dan Irene dinyatakan sebagai pasangan suami istri yang sah. Diego dan Irene bertukar cincin. Diego pun mengecup mesra kening Irene yang saat kini berstatus sebagai istrinya. Senyum bahagia terlihat dari bibir Diego dan Irene. Para undangan pun memberikan tepuk tangan sebagai tanda kebahagiaan pernikahan mereka, terutama ketika Diego dan Irene berciuman. Sontak, tepuk tangan dan kilatan blitz kamera makin buas mengambil gambar mereka.
"So... I own you?" bisik Diego serak begitu ciuman mereka terlepas.
Irene tersenyum manis. "Sure. My Husband."
Namun terlepas dari kebahagiaan yang dirasakan mereka, ternyata dari jarak yang cukup jauh ada seseorang yang mengawasi mereka bagai predator. Orang itu bersembunyi. Dengan pistol berukuran besar di tangannya, kini dia bidikkan ke arah sang mangsa.
Tidak ada yang tahu, siapa yang akan dia lenyapkan hari ini.
"Kau akan mati, bedebah!" ucapnya.
To be continued.