DIEGO UPDATE!

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN YANG BANYAAAAK!
Happy reading!
"Kalau kau marah, aku akan menyenangkanmu." bisik Diego serak. "Seperti ini," kemudian dia merendahkan kepalanya untuk memagut bibir Irene--melumatnya.
Sementara itu, tangan Diego bergerak menutupi kaca dan sekat mobil yang berfungsi sebagai pembatas bangku kemudi dan bangku belakang yang mereka duduki, membuat apapun yang mereka lakukan tidak dapat di ketahui oleh supir.
"I want you now, Irene." desah Diego begitu ciuman mereka terlepas.
🖤🖤🖤
Near the End guys!
DIEGO & IRENE | Chapter 66 : Dendam Seorang Ayah
Playlist : Justin Bieber - Changes
•••
"Aku ingin menciummu, sayang."
Dalam sekejap tubuh Irene membeku. Aroma dan napas Diego menyapu lembut wajahnya yang telah di selimuti keringat dingin. Hidung Diego menyentuh hidung Irene. Satu gerakan maju saja, bibir mereka akan menyatu.
"Ta-tapi... mereka tidak akan melihatnya kan?" suara Irene bergetar, kedua tangannya meremas kuat jas yang membalut tubuh Diego. Irene merasa nyaman berada di atas pangkuan Diego, di tambah dengan pelukan posesif Diego di pinggangnya dan elusan jemari di punggungnya menambah rasa nyamannya, tubuh mereka terlalu dekat--Irene menyukainya, tapi yang membuatnya takut adalah tak jauh di samping kanannya terdapat beberapa mobil yang berhenti karena kepadatan lalu lintas.
Diego tersenyum melihat ekspresi di wajah Irene saat ini. Entah kenapa Diego begitu puas melihat Irene ketakutan seperti ini. Irene terlihat lebih menggairahkan dan menggoda. Bibir merah penuh miliknya benar-benar membuat Diego gila.
"Tidak ada seorangpun yang bisa melihat kita, Irene. Mobilku menggunakan kaca film khusus. Bahkan ketika kau menjerit ataupun mendesah, tidak akan ada yang mendengarnya." ucap Diego dengan tenang.
Kalimat Diego membuat Irene kehilangan kata-kata.
Menelan ludah kasar, Irene memperhatikan ke sekeliling. Apa benar disini kedap suara?
Seharusnya Irene menyadarinya, karena setelah setengah jam perjalanan dia tidak mendengar suara apapun dari luar.
Tiba-tiba bibir Irene melengkung manis. Tatapannya beralih pada Diego, menatapnya lekat. "Kau yakin?" tanya Irene, suaranya terdengar serak. Jemarinya membelai dada keras milik Diego secara naik turun.
Diego terangsang.
"Damn it!"
Tanpa peringatan Diego langsung menempelkan bibirnya pada bibir Irene yang begitu merah dan menggoda. Diego melumat bibir itu, mencecap rasa dari bibir yang selalu menghantui pikirannya selama mengenal Irene.
Dan Irene membalas ciuman Diego. Dia membuka mulutnya, mempersilahkan bibir lembut Diego menekan bibirnya dan mengulumnya dengan nikmat. Diego menciumnya dengan kasar dan liar yang menandakan perannya sebagai seorang dominan. Lidahnya menyelusup lebih jauh seolah mengabsen gigi Irene satu persatu.
Di sela-sela ciuman itu, tangan Diego tak lagi melingkar di pinggang Irene, melainkan turun ke paha Irene. Diego membelai paha Irene dengan lembut, merasakan kehalusan kulit Irene di tangannya.
Diego semakin bergairah. Dengan satu tangannya yang lain, Diego mengusap rambut panjang Irene, lalu menarik tengkuknya memperdalam ciuman mereka.
"Mmmhhh..." Irene menggeliat, memejamkan mata. Merasakan jemari Diego yang menyelinap di antara kedua pahanya dan terus naik menekan area kewanitaannya dengan sangat perlahan. Irene menggeliat makin keras, bersamaan dengan menipisnya jumlah oksigen di paru-parunya. Hal itu membuat Diego menyudahi ciuman tersebut.
"Manis sekali, sayang." Diego bergumam pelan dengan tatapan yang mengarah pada bibir Irene yang merekah dan sedikit membengkak karena ulahnya. Wajah Irene merona.
"Kau sangat cantik, aku menyukaimu." Diego memuja kecantikan Irene. Diciumnya sekali lagi calon istrinya itu. Ciumannya kemudian beralih turun ke dagu sebelum akhirnya jatuh turun ke leher jenjangnya yang harum.
"Ngghh...." rangsangan yang datang secara bertubi-tubi itu berhasil membuat Irene memejamkan mata untuk menahan desahan yang hendak lolos dari mulutnya.
"Ahhh... Please...." Irene tidak tahan, dia akhirnya menjerit kecil ketika merasakan tangan Diego bergerak naik dan menyusup masuk hingga melewati celana dalamnya. Jari telunjuk lelaki itu berhasil masuk ke lubang sensitifnya dan bergerak naik turun dengan cepat.
"Tedy bear..." Irene mengerang keras, mengalungkan kedua tangannya di leher Diego dan memeluknya dengan erat. Diego tersenyum mendengar suara Irene yang hampir mendesah. "Yes, honey?" ucapnya serak.
Irene hanya bisa melenguh, mengigit bibir dan memejamkan matanya ketika dua jemari Diego mengaduk-aduk kewanitaannya, memaju mundurkan jarinya, sedangkan ibu jari Diego mengusap-usap klitorisnya.
"Milikmu masih rapat, honey." Diego kemudian mencium bibir Irene. Menciumnya dengan lumatan kecil. Sementara tangannya melanjutkan kegiatannya, menari dan menjelajahi pusat kewanitaannya.
Napas Irene mulai tersenggal dan dia memekik kecil ketika Diego menambah kecepatan jarinya serta mengecup pipinya berkali-kali.
"Tedy bear, berhenti." ucap Irene dengan napas tersengal-senggal.
"Kenapa?"
"Aku tidak kuat!"
Sontak Diego tersenyum miring, kemudian melumat telinga Irene. "Kalau begitu keluarkan saja, honey."
Keluarkan?
Irene tidak cukup mengerti. Tapi dia memang merasa ingin mengeluarkan sesuatu dari intinya. Rasanya meledak-ledak, tapi... nikmat. Haish! Apa yang dia pikirkan? Irene buru-buru menggeleng. Tapi sepertinya dia hendak orgasme. Irene tidak tahan lagi, dia akhirnya membiarkan gelombang orgasme-nya itu melanda dirinya dan membuat cairan orgasme itu keluar membasahi jari Diego.
Irene kini hanya bisa mengatur napasnya ketika Diego perlahan-lahan namun memberikan kesan nikmat tiada tara kala jemarinya keluar dari kewanitaan Irene yang basah.
Irene terpana melihat Diego yang menjilati jemarinya yang basah oleh cairan kental yang tadi Irene keluarkan. Sembari mengulum jemarinya, kedua mata pria itu bahkan terpejam seolah menikmati.
Diego berkata setelah membuka mata. "Aku tidak sabar untuk bisa langsung menjilat kewanita-"
"Stop!" pekik Irene cepat, melotot pada Diego. Sementara itu wajahnya langsung merona. Beruang ini... mulutnya tidak bisa di kontrol!
"Kau ini mesum sekali." omel Irene sembari turun dari pangkuan Diego. Duduk di tempatnya kembali, menyenderkan punggungnya di kursi dan membenarkan pakaiannya yang sempat di acak-acak oleh Diego.
Diego menatapnya sebentar, kemudian menyeriangi. "Kau benar. Tapi hanya kepadamu. Kau seharusnya bersyukur aku tidak melakukannya pada wanita lain."
Irene menoleh--terkejut mendengar kalimat Diego barusan.
"Jangan coba-coba lakukan itu!" Irene berteriak histeris.
Diego terkekeh, dia terhibur sejenak melihat ekspresi marah di wajah Irene--wanitanya. "Well, tidak tahu nanti. Banyak wanita cantik di luar sana."
"Diego!" Irene mengerang kesal, dia menatap Diego tajam.
Diego menelan ludah.
"Lupakan," dengus Diego cepat, menarik lengan Irene agar mendekat padanya. Kali ini Irene menolak, wanita itu menggeleng keras sembari menatap ke arah luar. Sengaja menghindari tatapan Diego.
"Irene...." panggil Diego, suaranya serak. Pelan, namun menggoda. Irene masih kesal, karena itu dia bertahan, berusaha tidak tergoda. Terserah lelaki itu mau apa, dia akan tetap diam seperti ini. Biarkan saja.
Masih dengan satu alis naik, Diego malah menahan senyum. Lalu mengambil satu gerakan maju--mendekati Irene yang masih menolak menatapnya. "Honey?" bisik Diego sembari mengulurkan jemarinya, menyelipkan untaian rambut Irene ke belakang telinga.
Mau tidak mau Irene balas menatap Diego dengan hidung mengernyit sebal. Kesalahan. Diego malah menyeringai--mengambil kesempatan untuk mengecup kening Irene, lalu berbisik di telinganya. "Kau tahu? Aku tidak menginginkan wanita lain. Hanya kau. Satu-satunya wanita yang pantas menjadi Ratu di hatiku. Apa kau percaya?" tanya Diego, menatap Irene hangat.
Jantung Irene berpacu. Kalimat Diego membuatnya membeku.
"Tedy bear...." suara lirih itu akhirnya keluar dari mulut Irene. Irene mengigit bibir bawah, merasakan panas di matanya. Dia ingin menangis, tapi Irene menahannya. "Ya. Aku percaya."
Diego tersenyum lalu menatap Irene. Misterius. Terlalu banyak arti di dalam tatapan itu. Mata biru Diego berpendar, menunjukkan kilaunya. Tubuh Irene membatu, terkunci di dalam tatapannya--seolah tersihir. Belum sempat Irene menadapat kesadarannya, tiba-tiba saja lengan Diego sudah memeluknya dari belakang--mendekapnya. Wajah Diego tenggelam di lekukan lehernya, memberi Irene gigitan kecil-kecil. "Kau harus percaya, Irene." bisik Diego serak. "Apapun yang terjadi kau harus tetap mempercayaiku."
Irene mengangguk, walau yang sebenarnya dia tidak mengerti. Tapi Irene percaya. Sementara itu Diego makin mendekapnya, menciumi lehernya terus menerus. Irene membiarkannya. Helaan napas Diego terasa menyenangkan di kulitnya. Irene butuh ini, dia tidak bisa melakukan apapun selain menerima apa yang di berikan Diego. Sekali lagi, dia jatuh dalam kuasa Diego.
Sementara disisi lain...
ALVARO'S Mansion. Berlin--Germany. 07:00 PM. (Pukul tujuh malam)

Ruangan pengap dengan pencahayaan remang-remang itu tidak lagi sunyi, setelah sebelumnya seorang wanita yang tak berdaya dengan luka lebam di seluruh tubuhnya hanya membungkam mulutnya karena kehabisan tenaga. Ah, itu juga karena dia tidak sanggup untuk menangis lagi. Dia capek. Atau lebih tepatnya rasa sedihnya ini terlalu besar hingga dia tidak mampu mengekspresikannya.
Seperti sekarang, seorang pria paruh baya tengah menangisinya. Menangisi keadaannya yang mengenaskan. Mi Lover tidak akan menyangkalnya. Dia hanya diam mendengarkan lirihan penuh permohonan pria paruh baya itu yang kini mengelus kepalanya.
Pria paruh baya itu menatap pisau yang dia lempar beberapa menit yang lalu dengan nanar, pisau yang tadi hampir mengiris pergelangan tangan sang putri. Dia kemudian beralih menatap putrinya lagi.
"Tidak... tidak, Nak... kau tidak boleh bunuh diri... kau harus tetap hidup. Setidaknya demi diriku. Ayahmu mencintaimu, Lovelyn..."
Tangisan Mi Lover yang awalnya sudah reda sayangnya kembali jatuh begitu dia mendengar ucapan Carlos. Ayahnya tiba-tiba datang menghampirinya dan menangis sembari menggenggam pergelangan tangannya, berusaha meyakinkannya. Padahal dia hampir berhasil memutuskan urat nadi di tangannya kalau saja Ayahnya ini tidak datang dan langsung menghentikannya. Rencana bunuh dirinya pun gagal. Dan sekarang, ruangan bawah tanah yang telah menjadi tempat kurungannya di penuhi isak tangis sang Ayah.
Oh, God.... Akhirnya ada seseorang yang menemaninya. Setidaknya rasa sakit di hatinya tidak sampai membuat dia membunuh dirinya. Diego Alvaro memang brengsek, setelah apa yang di lakukan pria itu dia malah pergi bersama wanita sialan itu.
Mi Lover menghela napas pelan, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Meski sangat sulit, menyadari betapa keinginannya untuk menangis.
Dia di perkosa.... oleh tiga pria sekaligus.
Betapa teganya Diego...
Mi Lover memejamkan matanya. Membiarkan air matanya keluar tanpa ditahan-tahan. Apa yang dilakukan Diego benar-benar menohok dadanya.
"Apa lagi yang harus aku lakukan Ayah? Aku tidak mau hidup lagi. Hidupku sudah hancur sejak mereka menyentuhku." setelah mengucapkannya Mi Lover menangis tersedu-sedu. Wanita itu meringkuk, membenamkan kepalanya di lekukan kakinya. Dia terlihat ketakutan. Itu membuat Carlos buru-buru memeluknya.
Diego Alvaro...
Carlos menggertakkan giginya tanpa sadar begitu kepalanya mengingat sosok anak lelaki itu. Bajingan itu benar-benar brengsek. Carlos yakin jika Diego benar-benar sudah melakukan sesuatu yang buruk dengan melihat kondisi putrinya sekarang. Diego menghancurkan putrinya. Dia membuat putrinya yang ceria berubah menjadi kelinci yang ketakutan. Carlos benci ini.
"Tidak... kau tidak boleh mengatakan itu. Ayah ada disini. Kau masih mempunyai aku, kakakmu, dan adikmu. Kami semua menyayangimu." bisik Carlos sembari mengeratkan pelukannya pada Mi Lover.
Mi Lover sendiri langsung menurut. Dia menenggelamkan kepalanya di dada Carlos yang membuat Carlos menyadari jika tubuh Mi Lover masih menggigil.
"Ayah... Mereka menodaiku. Aku.. aku kotor..." suara bisikan Mi Lover yang terbata-bata membuat Carlos memejamkan mata. Dia benar-benar ingin meledak. Tapi Carlos tahu dia harus tetap tenang, putrinya membutuhkannya. Karena itu, Carlos memilih untuk memeluk Mi Lover lebih erat lagi, dia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Aku takut pada mereka, Ayah... aku takut," gumam Mi Lover lagi.
Kali ini Mi Lover kembali menangis yang membuat Carlos tidak mampu berkata-kata lagi.
"Aku... aku benci tubuh ini. Tubuhku kotor... aku tidak mau-"
Kecupan di keningnya membuat kalimat Mi Lover terhenti. Tapi kemudian tangis Mi Lover kembali pecah ketika dia mengatakan ucapannya lagi. "Aku ingin mati, Ayah..."
Diego sialan! Carlos kembali menggertakkan giginya. Ah, shit. Kenapa dia baru sadar jika kekejaman Diego Alvaro lebih kejam daripada Iblis. Devil itu tidak punya hati! Tega-teganya dia melakukan ini kepada wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Wanita yang dulu pernah menjadi cinta pertamanya.
"Ayah... Lovelyn tidak kuat..." Mi Lover meremas dadanya, menahan sakit yang luar biasa begitu dia teringat nama Diego.
"Nak, Ayah akan melakukan sesuatu untukmu." geram Carlos sembari menatap Mi Lover lekat. Tangan Carlos sudah tidak memeluk Mi Lover lagi, tapi jemarinya menggenggam erat kedua tangannya.
Mata biru milik Carlos lantas menatap Mi Lover lekat, membuat Mi Lover tidak bisa melakukan hal lain selain menatapnya dengan mata birunya yang penuh air mata.
"Sesuatu apa, Ayah?"
"Hal yang bisa membuat Diego Alvaro berlutut di kakimu." ucap Carlos dengan mata berkilat, marah. Dia benar-benar bersumpah akan melakukan apa yang terencana di otaknya.
Mi Lover menghapus air matanya, menatap Ayahnya lagi. Tatapannya terlihat bingung sekaligus terkejut. "Maksud Ayah?"
Melihat ekspresi penuh tanda tanya di wajah putrinya membuat raut wajah Carlos perlahan-lahan berubah menakutkan. Sudut bibir pria paruh baya itu terangkat, sementara mata birunya berkilat menyeramkan.
Mi Lover bergidik. Belum pernah dia melihat wajah marah Ayahnya yang terpampang jelas di kedua matanya. Semengerikan itu.
"Lebih baik kita terlebih dahulu keluar darisini, ada kakakmu di depan. Akan ku jelaskan maksud perkataanku pada kalian, tapi tidak disini. Dindingpun pandai menguping, sayang." bisik Carlos.
Mi Lover hanya mengangguk untuk merespon kalimat sang Ayah. Akhirnya dia tersenyum setelah beberapa hari ini dia tidak pernah tersenyum. Semua itu karena Ayahnya. Carlos Hugo Mikhailova.
Semuanya akan di lakukan Carlos dengan rapi. Dia berusaha semaksimal mungkin tidak akan meninggalkan jejak. Tapi dia tidak bisa sendirian. Harus ada yang membantunya. Diego Alvaro bukan sosok yang dengan mudah dia usik. Apalagi kuasanya begitu kuat dan luas. Ini tidak akan mudah, tapi keyakinan Carlos juga sama kuatnya.
Ah, jangan lupakan. Sepertinya devil itu masih menghargainya dengan mengizinkan dia menemui Mi Lover di mansionnya. Padahal Carlos yakin Diego tidak akan mau menuruti permintaannya karena tempat yang mejadi kurungan putrinya merupakan tempat rahasia. Tapi ternyata Diego hanya mengizinkan Carlos masuk sendirian dengan di temani bodyguard berlogo ALVARO yang memiliki badan besar. Lantas hal itu membuat Carlos tidak bisa berbuat macam-macam. Penjagaan keamanan di mansion ini juga sangat ketat, bahkan kedua mata Carlos harus di tutupi oleh kain saat berjalan menuju ruang rahasia itu. Hal yang membuat Carlos tidak dapat mengetahui jalan masuk ke ruang rahasia itu.
Lalu tanpa siapapun yang menyadari, seringai jahat di wajah Carlos tampak jelas di tengah kegelapan.
Masalah besar sebentar lagi akan terjadi, Diego Alvaro. Itu janji Carlos.

To be continued.
Gaiss... aku ada grup WhatsApp Diego & Irene loh! Yang mau gabung silahkan komen nomor WA kalian! Nanti aku masukin ke grup.


Ina bakal ngasih info yang BANYAK lewat grup ini.
Aku tunggu komentar kalian!
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN YA! YG BANYAK! VOTE JUGA KALO BOLEH WKWK😆
Okee... sekian infonya,
See you next chapter!
With♥️, Ina.