Tomorrow Night,
At Amuz Gourmet Restaurant. Jakarta Selatan--Indonesia.

Malam ini adalah malam terindah bagi wanita dengan dress menawannya itu. Well, senyum Irene pun tidak pernah pudar di wajah cantiknya. Hatinya menghangat begitu merasakan waktu untuk bertemu sang Ibu kandung semakin dekat. Kini, di sebelah kanannya ada seorang lelaki yang tidak lama lagi akan menjadi suaminya, Diego. Lalu wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang ada di sebelah kirinya, Intan, juga ada Reyhan di gendongan wanita itu. Mereka berjalan bersama menuju tempat yang sudah di siapkan secara khusus, sementara Christian dan Lucas mengawasi di belakang mereka. Terlihat earpiece kecil di telinga mereka, begitu juga dengan Diego.
Selama di perjalanan Irene terus memasang wajah ceria. Apalagi disini ada Rey, bocah itu berkali-kali membuat Irene tertawa melihat kelucuannya. Diego yang merasakan aura bahagia Irene hanya bisa tersenyum. Irene bahagia, apa lagi yang dia inginkan?
"Wellcome, Mr. Alvaro." sapa seorang pelayan pria yang berdiri di samping pintu masuk.
Pintu besar nan megah mengantar mereka memasuki restoran fine dining seluas 350 meter persegi ini. Bertepatan dengan itu mereka juga mengalami suasana ala Perancis yang di iringi alunan musik halus. Kilauan cahaya yang di hasilkan dari lampu gantung berlatar belakang plafon berdesain struktur menara Eiffel, terlihat mengagumkan. Apalagi di tambah lantai marmer yang menjadikan setiap sudut ruang terlihat lebih elegan.
Pelayan yang menyapa tadi mengantarkan mereka ke Private Room berkapasitas 12 orang yang memiliki desain mewah dengan chandelier sebagai penerangan di tengah ruang.

Sapaan itu tidak Diego jawab, hanya sebuah senyum tipis yang terukir di bibirnya. Sampai di meja makan berukuran panjang dan mengkilat itu, mereka pun duduk. Manis sekali, Diego memperhatikan Irene dengan menarik kursi wanita itu agar bisa di duduki.
"Astaga... Diego, sebagai orang Jakarta aku belum pernah masuk ke restoran seindah ini. Tapi bagi kau--rasanya mudah sekali." gumam Irene tak percaya.
Diego melirik Irene, mendengus pelan. "Restoran ini tidak cukup bagus. Masih lebih bagus di Paris, aku bisa melihat pemandangan kota dari ketinggian. Tapi disini aku hanya berada di lantai dua." omelnya.
Oh Jesus! Pukul kepala Irene sekarang! Pria apa sebenarnya dia itu? Restoran semewah ini dia bilang tidak bagus? Rasanya mau di lantai berapapun tetap saja, sama-sama bagus! Apalagi makanan disini sama persis seperti di Perancis. Haish, apa Irene perlu memeriksa kepala Diego dulu?
"Seleramu tinggi sekali, Tedy bear!"
Kesal bercampur gemas, Irene mencubit pipi Diego. Keras. Sampai Diego mengaduh kesakitan. Irene yang melihatnya tertawa, selanjutnya dia hampir memekik karena Diego bergerak untuk menggelitiknya dengan alibi membalas cubitannya tadi. Well, adegan romantis ini membuat pelayan disana menatap keduanya dengan heran. Untuk orang kaya seperti mereka, sah-sah saja!
"Hentikan Diego, hentikan!" napas Irene tersenggal, lelah habis tertawa. Sialan. Diego suka sekali menggelitik perutnya.
Diego tersenyum geli melihat Irene yang kewalahan. Dia lalu memegang pundak Irene. "Maaf membuatmu lelah." ucap Diego lembut. Pipi Irene panas.
"Tidak apa, aku jadi tidak terlalu tegang. Terimakasih." ucap Irene, wajahnya merona.
Setelah itu, keheningan mulai terasa ketika Diego sedang memilih makanan. Karena itu, Irene memilih untuk mengeksplor keindahan di sekitarnya. Mata coklat keemasan itu tidak henti-hentinya menjelajahi ruangan, binarnya menunjukkan kekaguman. Memangnya siapa yang bisa menyangkal betapa mewahnya tempat ini? Penggunaan jendela besar-besar, detail unik pada dinding, pemakaian balok ekspos dan penggunaan furnitur berkelas, mencirikan suasana Perancis di era 1900-an. Anggun dan cantik.
Irene menyukainya.
"Diego... kapan Ibu dan Ayah datang?"
Sementara disisi lain...

"Suamiku? Apa kita tidak salah alamat?" tanya seorang wanita pada pria bersetelan hitam di depannya.

"Tidak, baby. Tuan besar sendiri yang mengundang kita." ucap Glen pada wanita itu.
Wanita itu menggigit bibir bawah seraya menekan dadanya. Menahan diri dari perasaan yang membuncah. Bae Angel tidak pernah membayangkan dia akan bertemu dengan putri kandungnya... Bae Irene. Rasanya mustahil, karena dia sudah pergi menjauh. Tapi Demi Tuhan... dia tetaplah seorang Ibu. Ibu yang menyayangi anaknya, Ibu yang tidak bisa jauh dari anaknya. Setiap hari dia selalu menangis--menangisi rasa sakit di hatinya kala mengingat hari dimana dia meletakkan bayi mungilnya di depan sebuah rumah yang sempit. Hatinya berteriak mengatakan jika putrinya tidak pantas tinggal disana. Tapi apa dayanya? Dia hanya wanita lemah yang sedang di kejar oleh sekelompok orang jahat. Akal sehatpun akan memilih untuk melarikan diri agar tetap bertahan hidup, dan inilah keputusannya... dia harus meninggalkan Irene--demi nyawa anaknya.
Tapi saat semua itu berlalu dirinya malah mendapatkan segalanya tanpa kekurangan apapun. Uang, harta, suami--semuanya, sudah ada di bawah kakinya. Tapi Irene? Putrinya? Hidupnya serba kekurangan... Bae Angel sangat yakin dengan pikirannya itu.
Tidak... tidak... lebih baik putrinya selamat daripada melanjutkan hidup bersama dirinya tanpa kepastian hidup atau mati, bayangkan saja... apa yang akan kau lakukan ketika merasa dirimu terancam? Di kejar-kejar penjahat? Di intai? Menjadi target pembunuhan berencana? Jangan gila... tentu saja semua itu sangat tidak mudah, tapi ternyata... Bae Angel bisa melewatinya hingga dia bisa seperti ini--memiliki segalanya.
"Ibu harap bisa bertemu denganmu lagi, Irene." gumam Angel.
Angel berjalan memasuki restoran, dia menatap ke sekelilingnya. Sepi. Meja-meja berkilauan dengan kursi pahatan ternama itu tampak kosong. Kening Angel berlipat, tampak bingung--bukankah mereka juga ada disini?
"Dimana mereka, suamiku?" tanya Angel tiba-tiba, membuat Glen yang berjalan di sampingnya berhenti.
"Bukan disini, tapi di ruang private. Tuan besar juga sudah menyewa restoran ini, jadi jangan heran jika tidak ada pelanggan yang datang." ujar Glen, sementara Angel hampir dibuat melongo. Gila! Restoran sebagus ini?! Hanya untuk menyambut kedatangan mereka? Geez... Mr. Alvaro benar-benar kaya. Ah, dia masih tidak percaya akan mendapat menantu seperti Mr. Alvaro itu.
Tak terasa akhirnya mereka sampai. Di detik itu juga, mendadak Angel tidak bisa melangkah lagi.
Angel menelan ludah dan menarik napas dalam, tepat saat matanya menangkap sebuah meja besar yang di kelilingi orang-orang yang mengundangnya makan malam. Sudut matanya menelusuri wajah-wajah orang itu. Hingga tiba-tiba matanya berhenti pada wajah seorang wanita yang begitu cantik, putih, berambut hitam, dan terlebih.... garis wajahnya mirip dengannya. Benar-benar mirip. Apa... apakah dia anaknya?
Angel melangkah perlahan dan hati-hati, berusaha meredam suara pekikan di hati. Matanya terpaku pada sosok wanita itu. Bibirnya berkedut menahan tangis. Rindu. Suara heels miliknya yang mengetuk-ngetuk berirama seiring langkah kaki yang beradu dengan lantai yang terbuat dari marmer berhasil memecah keheningan, hingga membuat semua mata teralihkan padanya.
Termasuk Irene. Wanita itu....

"Ibu?" teriak Irene.
Irene berdiri, matanya langsung memerah--ingin menangis. Tak kuasa akan tangis yang mendera, akhirnya dia berlari ke arah Angel--memeluknya erat. Berjinjit agar bisa meraih pundaknya, tanpa memedulikan perhatian semua orang. Angel balas memeluknya, mengecup pipinya, merapatkan tubuh mereka, lalu mencium puncak kepalanya. Lama. Air mata Irene tumpah, sama seperti Angel.
"Kau... putriku? Bae Irene?" tanya Angel pasca pelukan mereka terlepas.
Anggukan Irene membuat Angel menegang sepersekian detik. Keheningan yang mencekam muncul. Menghembuskan napas gemetar, Angel menyentuh tubuh Irene--merabanya; mulai dari kepalanya, pundaknya, punggungnya, lengannya, hingga sentuhan itu sampai pada tangannya. Angel menarik tangan Irene mendekati bibirnya, lalu menciumnya. Air matanya menetes saat itu juga, Irene menggeleng dengan air mata yang makin merebak--tidak sanggup mendapat perlakuan penuh kelembutan dari Angel.
"Nak..." Tak kuasa melanjutkan, Angel menangis tersedu-sedu. Dia berkali-kali mencium tangan Irene. Demi Tuhan! Angel rindu sekali dengan putrinya ini.
Irene makin menggeleng. "Tidak bu. Jangan menangis."
Angel mengangguk lagi, tapi air matanya terus mengalir.
"Aku ada disini, bu. Kita tidak akan berpisah lagi. Aku janji." bibir Irene melengkung meringis. "Tolong... jangan menangis lagi, Ibu." ucap Irene lembut, lalu kembali memeluk Angel, mengusap punggungnya mencoba menenangkan.
Tapi nyatanya isakan Angel tidak bisa berhenti. Hatinya berkecamuk; menyesal, marah, sedih, senang, bahagia. Tidak. Rasa sesalnya lebih terasa! Kenapa... kenapa dia baru bertemu sekarang? Kenapa dia harus melihat putrinya sudah tumbuh dewasa tanpa pernah sekalipun dia melihatnya? Setidaknya dari dulu dia melakukan ini. Tapi...
"Nak... aku... aku menyesal. Aku telah membuangmu-" kalimat Angel terpotong. Irene menutup mulutnya, menggeleng padanya.
"Ibu. Please," bisik Irene sembari menangkup kepala Angel untuk menatapnya.
"Tidak, nak... Jangan memohon. Aku yang salah. Aku yang membuangmu." bisik Angel sembari menarikan jemarinya yang lain ke pipi Irene--mengelusnya, menatapnya pasrah. "Kali ini cukup katakan apa hukumanku. Aku hanya seorang Ibu yang tidak berguna. Aku tega kepadamu, aku-"
"Hentikan!" tukas Irene serak. Kakinya lemas. Tidak tahan dengan penyesalan yang dirasakan Ibunya. Bukan... semua ini bukan salahnya. Irene yakin, Ibunya terpaksa melakukan itu demi menyelematkan nyawanya. Ibunya tidak salah. Sama sekali tidak!
"Berhenti menyalahkan diri sendiri, bu. Aku sudah tahu semuanya. Dan aku mengerti. Kau tidak bersalah, justru aku senang kau mementingkan aku. Keputusanmu sudah benar. Hanya saja, semua itu membuat kita nyaris tidak pernah bertemu. Tapi sekarang tidak lagi. Kita akan bersama-sama." ujar Irene, tersenyum tulus pada Angel.
Angel menipiskan bibir. Dia menatap Irene lekat, kemudian mengangguk pasrah. Irene tersenyum--merasa tenang. Lalu, Angel memeluknya lagi. Erat. Menghujani puncak kepalanya dengan kecupan.
"I love you, my Princess." bisik Angel serak.
Irene tersenyum, memikirkan hal yang sama. Irene mengangkat tangan, mengelus punggung Angel yang gemetar. "Me too, Mom. Another day... we will make happy memories, no more tears."
This is beautiful night, such a perfect dinner. Begitulah yang Irene pikirkan. Semua keluarganya berkumpul; Ibu kandungnya, Ayah tirinya, Intan, Reyhan, Diego. Irene menyayangi mereka. Dia tidak bisa merasakan hal lain selain keharmonisan dan bahagia saat itu. Ayah tirinya... Papa Glen, juga sangat perhatian padanya. Irene jadi merasa dia punya Ayah. Meski kenyataan yang sebenarnya sebaliknya. Tapi tetap saja, dia bahagia. Panggilan Papa adalah permintaan Glen, dan tentu saja Irene tidak akan menolak.
•••
Usai makan malam,
iringan Limousine dan ajudan milik Diego membelah jalanan kota Jakarta di tengah kerlap-kerlip lampu yang memenuhi langit malam. Itu sangat menarik perhatian semua orang. Astaga.... warga disana sadar betul jika iringan-iringan itu bukan mobil ambulance ataupun mobil presiden. Tapi kenapa rasanya mereka tertarik untuk tahu siapa orang di balik Limousine itu? Suara kendaraan terdengar ramai, bahkan teriakan heboh beberapa wanita langsung melengking begitu Diego membuka kaca mobilnya dan melihat ke arah luar, dan tentu saja! Para wanita itu bisa melihat wajah Diego. Keadaan pun makin ramai. Sedikit kacau. Well, mungkin karena ketampanan Diego yang di atas rata-rata. Ya Tuhan! Heboh sekali. Seperti melihat artis Hollywood saja.
Hell, tapi itu memang benar. Semua orang tahu siapa Diego. Bagaimana mungkin dia tidak terkenal seperti artis-artis Hollywood?
Tapi mereka semua berbanding terbalik dengan Irene. Wanita itu tampak tenang, sama sekali tidak terusik oleh kebisingan mereka. Haha, tentu saja, kaca mobil dengan ketebalan yang mutahir itu membuat ruangan kedap suara. Orang-orang di luar juga tidak bisa melihat dalamnya, hanya bisa jika kaca di buka saja. Well, seperti sekarang. Lihatlah pria di sampingnya ini.
"Dasar! Kau pasti sengaja kan?" ujar Irene, melirik Diego kesal karena mendengar jeritan wanita di luar sana. Dia tahu benar itu karena Diego.
Mendapati tatapan menuduh Irene, Diego tersenyum geli. "Apa yang akan kau lukakan jika aku bilang iya?"
"Aku akan memukulmu!"
Diego tergelak, dia lalu menarik pergelangan tangan Irene dan menariknya dengan cukup mudah ke atas pangkuannya. Kedua tangannya melingkari pinggang. Aroma vanilla di tubuh Irene tercium begitu manis di hidung Digeo.
Belum hilang rasa kesalnya, mata Irene membulat. Terkejut. Dia lalu menatap Diego. "Turunkan aku!" ucapnya berang, masih kesal.
"Tidak."
Irene melotot. "Kau ini menyebalkan! Cepat turunkan aku kalau tidak aku akan marah!" ancam Irene, mencoba peruntungan.
"Marah saja." ucap Diego--kelewat santai.
Irene merengut, memukul pundak Diego. "Ish, Diego!" erangnya kesal.
Reaksinya menyulut Diego, membuat mata Diego berkilat menginginkan.
"Kalau kau marah, aku akan menyenangkanmu." bisik Diego. "Seperti ini," kemudian dia merendahkan kepalanya untuk memangut bibir Irene--melumatnya.
Sementara itu, tangan Diego bergerak menutup kaca dan sekat mobil yang berfungsi sebagai pembatas bangku kemudi dan bangku belakang yang mereka duduki.
"I want you now, Irene." desah Diego begitu ciuman mereka terlepas.
To be continued.