Chereads / Diego & Irene / Chapter 62 - Chapter 62 : Return of the Princess

Chapter 62 - Chapter 62 : Return of the Princess

AN : Gais jangan lupa sama ibu angkatnya Irene ya, namanya Intan.

Oke! Selamat membaca!

Semoga suka😘

•••

ALVAROS Private Airport, Jakarta Pusat, Jakarta--Indonesia. 21:00 WIB.

Irene masih terlelap ketika dia merasakan tubuhnya melayang. Kali ini Irene membuka mata dan menemukan wajah Diego di dekatnya. Lelaki itu menggendongnya, gaya bridal.

"Sudah bangun?" tanya Diego rendah.

Irene mengangguk lesu. Ah, dia haus sekali.

"Aku ingin minum." pinta Irene sambil mengucek kedua matanya menggunakan tangan, lalu kembali menatap Diego.

Lucu. Diego tersenyum, mengecup kening Irene lembut. "Air putih?"

Irene mengangguk, membiarkan Diego tetap menggendongnya hingga ke depan dispenser yang terletak di sebelah sofa. Diego lalu menurunkan Irene di atas sofa.

"Jadi--kita sudah sampai?" tanya Irene setelah meneguk air yang di berikan Diego.

"Sudah. Kita harus segera turun, Mommy dan Daddy menunggu kita." ucap Diego, lalu berjongkok, meraih kaki Irene dan memasangkan kaus kaki berbulu serta sepatu UGG boots berwarna pink yang entah dia dapat darimana.

"Oh, oke." Irene menguap--menutup mata, lalu menempelkan keningnya di pundak Diego. Mata Irene terus terpejam, menikmati sentuhan Diego di kakinya. Ugh! Itu malah membuatnya ngantuk, entah kenapa kakinya jadi hangat dan nyaman. Kepala Irene juga mendadak berkabut--dia tidak bisa berpikir. Irene hanya diam ketika Diego memakaikan jaket tebal di tubuhnya, mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan dan menggendongnya keluar.

Irene tiba-tiba terbangun karena suara keras beberapa meter darinya. Mata Irene membulat. Kaget. Itu sebabnya dia memeluk leher Diego lebih erat untuk menyembunyikan wajahnya di pundak Diego ketika mereka sudah turun. Pasalnya Irene melihat banyak sekali wartawan yang berteriak histeris karena melihat mereka berdua turun tapi tidak bisa bergerak kemanapun akibat bodyguard bersetelan hitam dengan logo A L V A R O menghadang mereka membentuk barisan.

"Suruh mereka tidak mengganggu kami, Chris." ucap Diego dingin pada Christian di belakangnya karena tidak nyaman mendengar teriakan mereka.

"Mr. Alvaro!"

"Mr. Alvaro! Kami dari berita internasional. Kami ingin mewawancarai mengenai hubungan Anda!

"Mr. Alvaro! Izinkan kami mewawancarai, Anda! Sebentar saja!"

"Mr! Tolong singkirkan anak buahmu! Ah! Jangan mendorongku!"

"Tuan Diego! Apa wanita yang Anda gendong adalah nona Irene?"

"Mr! Biarkan kami me--"

Tidak jelas. Irene tidak bisa mendengar suara mereka ketika Diego memasukkannya ke dalam Limousine. Bebas dari kebisingan wartawan.

"Daddy, aku dan Irene akan langsung ke rumah Intan. Kau dan Mommy tunggu aku di Villa." ucap Diego ketika dia berpapasan dengan Sean. Ayahnya itu hanya mengangguk paham, Jasmine yang ada di pelukannya juga sama. Mereka lalu masuk ke Limousine yang berbeda.

Ketahuilah, keluarga Alvaro datang kemari tidak dengan satu pesawat, melainkan dua pesawat raksasa dan Limousine. Hell, terlalu mewah untuk orang awam. But, itulah ciri khas orang kaya--Konglomerat kelas atas! Diego dan Sean punya satu masing-masing. Sedangkan Dilan ikut di pesawat Sean, alasannya karena disana bar nya lebih besar, jadi remaja itu lebih betah di dalam sana. Juga beberapa mobil mewah yang di isi oleh puluhan bodyguard, termasuk Christian dan Lucas.

Akhirnya Limousine Diego beserta iringannya melaju meninggalkan bandara privat tersebut. Irene memandangi jalanan kota Jakarta yang berkelap-kelip di tengah pekatnya malam. Seketika rasa rindu teramat dalam menghantam dadanya. Sesak. Pemandangan ini sudah lama tidak dia lihat. Dan itu membuat Irene meringis dalam hati, entah sudah berapa lama dia tidak pulang?

"Sweetheart... are you okay?" suara Diego begitu lembut.

Tanpa sadar air mata Irene jatuh. Tapi dia buru-buru menghapusnya sebelum berbalik menghadap Diego. Lelaki di sampingnya menatapnya khawatir.

"Aku baik-baik saja, hanya kangen."

Diego tersenyum mengerti, dia lalu menarik Irene kedalam pelukan. Memangku wanita itu sambil mencium puncak kepalanya. Irene memejamkan mata--merasa nyaman. Kepalanya dia senderkan ke dada Diego, sementara matanya kembali menatap pemandangan di luar.

"Ibu... sebentar lagi anakmu akan pulang. Aku kembali, ibu." batin Irene, dengan matanya yang berkaca-kaca.

Setengah jam kemudian...

"Kenapa belok ke kiri?" tanya Irene bingung, pasalnya dia masih ingat betul jika setelah melewati jembatan seharusnya belok ke arah kanan untuk menuju rumahnya, tapi Limousine ini malah sebaliknya.

"Diego! Jawab aku!" Irene mendadak panik.

Diego yang tengah fokus membuka kamus bahasa Indonesia di layar ponselnya hanya menyahut tanpa menoleh ke arah Irene. "Hm?

Irene melotot melihat Diego yang tampak tenang. "Kita mau kemana? Ini bukan jalan menuju rumahku!"

Diego menyeriangi. "Ini jalan ke rumahmu." jawabnya, tetap fokus dengan ponselnya.

"Ih Diego!" gerutu Irene kesal. Rasanya ingin sekali dia merebut ponsel itu dan melemparkannya ke luar. Memangnya apa sih yang menarik di ponselnya sampai-sampai dia di abaikan seperti ini?!

Dan benar saja, Irene mengambil ponsel Diego yang membuat pria itu menatap tajam ke arahnya.

"Kalau kau terus melihat ke-" Irene menghentikan kalimat protesnya ketika matanya melihat ke layar ponsel itu.

Hah? Kamus bahasa Indonesia?

"Kau--mau belajar bahasaku?" Irene menatap Diego tak percaya.

Diego menaikkan sebelah alisnya. "Well, tentu saja. Tidak enak rasanya jika aku tidak mengerti bahasa ibumu. Bagaimana aku bisa melamarmu jika bicara saja susah?" padahal jauh-jauh hari aku sudah belajar. Meskipun aku sangat sibuk, tapi aku tetap belajar. Semuanya hanya untukmu, Irene. Lanjutnya dalam hati.

Irene tersenyum--merasa haru dengan usaha Diego. "Kau benar." Irene menarik Diego kedalam pelukan, mencium pundak Digeo dengan pipi memerah.

Pelukan mereka makin intim, Diego menarik tubuh Irene hingga menempel dengan tubuhnya. Merasakan dada wanita itu yang berdetak kencang. Diego sangat tahu... betapa rindunya Irene pada keluarganya. Tubuhnya yang mulai bergetar dan pundak Diego yang basah tidak bisa berbohong.

"Sstt... jangan menangis. Kita sudah sampai." bisik Diego di dekat telinga Irene.

At Intan's House. Jakarta Selatan--Indonesia. 21:35 WIB.

Oh Tuhan... Irene terpana melihat rumah di depannya. Tidak ada rumah lusuh, kecil, dan cat yang memudar di makan waktu. Kali ini berbeda--rumahnya megah, besar dan indah ketika di pandang. Suasana menjadi hening, Diego, Christian, Lucas dan anak buahnya tampak diam memandangi punggung Irene yang berjalan pelan mendekati rumah itu. Tampak oleh mereka bahu Irene bergetar.

Irene menangis. Tangisnya mengeras bersamaan dengan ingatan yang kembali berputar beberapa bulan lalu saat dia di culik oleh orang-orang yang tidak di kenalinya.

Menakutkan... sangat menakutkan.

Tok tok tok

Irene mengetuk pintu. Dia mengigit bibir bawahnya dan berusaha meredam tangis.

"Siapa?" suara lembut itu datang ke arah pintu.

Ceklek

Irene mengangkat wajahnya dan melihat ibunya di antara air matanya yang mengancam untuk tumpah. Irene tidak kuat. Tangisnya pecah.

"Irene?" Intan membulatkan matanya tak percaya sembari mengangkat tangan untuk menutup mulutnya.

"Ibu!" Irene berteriak dan memeluk leher ibunya merasakan kehangatan pelukan wanita yang dia rindukan berbulan-bulan lamanya.

Intan. Wanita berusia 38 tahun itu tampak syok. Dia membeku sesaat dan langsung membalas pelukan putrinya. Anaknya... anaknya telah pulang.

Pelukan mereka makin kencang, membuat Intan ikut menangis. Keduanya saling memeluk erat, melepas segala kerinduan dan kehilangan sosok yang paling berharga.

"Akhirnya kau kembali..." lirih Intan serak. Dia mengelus punggung Irene dengan sayang karena tubuh Irene gemetar di bawah pelukannya.

Irene mengangguk. Dia tidak sanggup untuk berkata-kata. Sungguh... Dia bahagia. Mungkin ini yang membuatnya enggan untuk bicara, tapi di setiap detiknya... Irene mencium aroma tubuh ibunya. Menghirup dalam-dalam aroma yang membuatnya nyaman. Irama detak jantung sang Ibu yang selalu Irene rindukan. Bahkan rasanya... Irene tidak ingin bangun jika ini hanya mimpi. Dan Irene lebih memilih untuk mati daripada semuanya hanyalah mimpi.

Irene tidak ingin berpisah lagi. Tidak!

"Kau.. kau baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu, Irene? Kenapa kau baru kembali?" tanya Intan serak, dia memandangi setiap inci wajah Irene setelah melepas pelukan.

Intan tidak salah. Ya... gadis di depannya adalah Irene. Binar coklat keemasan. Pemilik sepasang mata yang ia sayangi.

"Aku baik bu. Jika aku ceritakan mungkin sampai besok pagi tidak akan selesai. Jadi aku mohon... biarkan aku memeluk ibu dulu. Aku merindukan ibu!" Irene menarik Intan ke pelukan. Lagi. Kali ini tidak di sertai tangisan, tapi senyum kebahagiaan.

"Baiklah. Ibu tunggu penjelasanmu, sayang." balas Intan, ikut tersenyum sambil terus menciumi kepala Irene.

Mata Intan melihat ke depan, tepat di belakang Irene. Dia mengerutkan keningnya. Memerhatikan satu, dua, tiga--puluhan! Intan terkejut melihat banyak sekali pria yang berada di depannya. Mereka semua memakai pakaian serba hitam. Ada juga yang menggunakan kacamata hitam. Tapi yang paling mencolok... seorang pria bersetelan biru nevy yang berdiri paling depan dan arah pandangnya tepat ke arahnya. Atau lebih tepatnya ke arah mereka berdua. Intan jadi bingung, sorotan mata pria itu... terlihat menyedihkan. Intan menyipitkan matanya, mencoba lebih fokus pada pria itu. Hah? Sepertinya... dia pernah melihat wajah pria itu di televisi.

Ya Tuhan! Apakah dia benar-benar orang itu?

Diego Alvaro! Pria yang akhir-akhir ini selalu mengisi layar televisi dengan wajah tampannya. Juga ketenarannya, hartanya, bahkan wanitanya. Hanya orang tidak waras yang tidak mengenalinya.

Intan melepaskan pelukan. Dia mengalihkan perhatiannya pada Irene, menatap anaknya dengan lembut. Tapi dari cara menatapnya jelas sekali dia sedang bingung.

"Siapa mereka?" tanya Intan sembari mengedikkan dagunya ke belakang Irene.

Irene tersenyum. Penuh arti. Sementara Intan yang melihatnya malah cemas. Dia tidak tahu arti senyuman itu.

"Bu..." suara Irene melembut. Dia meraih tangan Intan dan menggenggamnya.

Intan menatap kedua tangannya yang di genggam Irene. Melihat jalinan tangan mereka yang bersatu. Tapi dia langsung mendongak ketika mendengar kalimat Irene berikutnya.

"Mereka semua adalah anak buah dari Diego. Dan pria yang sedang kemari--" Irene menggantungkan kalimatnya ketika mendengar langkah kaki di antara keheningan yang mencekam. Lalu berbalik. "Adalah calon menantumu. Diego Alvaro." ucap Irene, kembali menatap Intan.

Wajah Irene penuh senyum. Dan senyum itu makin lebar ketika merasakan sebuah tangan kekar menyelinap ke tubuhnya--memeluk pinggangnya.

DEG!

Diego Alvaro? Calon menantu?

"Kau... kau--" Intan membulatkan matanya sembari mengangkat jari telunjuknya di depan wajah Diego. Terlampau kaget--mendadak dia ingat betapa kaya nya orang ini. Lalu di detik berikutnya dia malah pingsan.

"IBU?!"

To be continued.

Jangan lupa LIKE dan KOMEN yaaa!

More info go follow :

@nainaarc

@diego.alvaro01

@bae.irene01

See you next time!

Salam manis dari Ina♥️