Di Pakuan, Kotaraja Padjadjaran, terlihat dua belas prajurit Katumenggungan mengawal tandu Tumenggung Wirakerta* yang baru pulang dari Tanah Leluhur urang Sunda yang terletak di wilayah Cisolok, Pandeglang atas perintah Prabu Ragamulya Surya Kencana. Kedua belas prajurit tersebut rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, membawa tandu itu dengan setengah berlari. Empat di depan, empat di belakang, yang empat lagi menggotong tandu. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi atap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam. Mereka menggotong tandu berisi Tumenggung yang sudah sepuh itu memasuki Kutaraja Pakuan. (*fiktif)
Ketika mereka memasuki wilayah pasar sebelum alun-alun Kota, sekonyong-konyong melayanglah belasan pisau menderu mengarah pada mereka! Kedua belas prajurit Katumenggungan itu kaget bukan main mendapatkan serangan dadakan tersebut, dua orang prajurit yang mengawal di belakang tewas seketika sewaktu pisau-pisau yang nampaknya beracun itu menancap di perut mereka, sementara yang sepuluh lainnya termasuk empat pengangkat tandu keburu bersiaga, keenam prajurit pengawal itu segera melindungi tandu beserta para pengangkutnya, mereka memutarkan tombaknya dan mengangkat perisainya untuk menahan hujan serangan pisau-pisau beracun tersebut.
Kontan saja suasana di pasar itu menjadi semerawut, para penduduk yang berjualan dan pembeli yang tadinya berlutut menyambut Sang Tumenggung yang melewati pasar tersebut langsung panik dan kocar-kacir, "Siapa yang berani menyerang Gusti Tumenggung Wirakerta?!" bentak si kepala Ponggawa yang mengawal Tumenggung Wirakerta, matanya menatap liar menyapu keadaan di seluruh pasar yang kini kacau balau tersebut, sulit baginya untuk melihat siapa para penyerang gelapnya.
Saat para prajurit tersebut kebingungan mencari para penyerang gelap tersebut, tiba-tiba meluncur lagi belasan pisau menyerang mereka! Kali ini semua pisau itu mengarah tepat pada para pengangkut tandu Sang Tumenggung! "AAAAaaaaa!!!" jerit keempat pengangkut itu, mereka semua menjadi sasaran telak dari pisau-pisau beracun yang seolah bermata tersebut, tandu itu pun terlepas dari genggaman mereka dan akan jatuh ke bumi! Saat itu tiba-tiba… Braakkk!!! Sang Tumenggung melayang dari dalam tandu menerobos atap tandu tersebut, belasan pisau-pisau segera menderu berdesing menyerang Sang Tumenggung yang baru keluar dari dalam tandunya!
Ternyata meskipun sudah sepuh, Tumenggung Wirakerta masih sangat tangguh, dia berjumpalitan di udara menghindari serangan-serangan maut pisau beracun itu, ia juga berhasil menangkap dua buah pisau dan melemparkannya kembali ke arah para penyerang gelap yang bersembunyi di kerumunan orang. Satu jerit kesakitan melengking ketika 2 buah pisau yang dilempar oleh Tumenggung Wirakerta menancap di dada salah seorang pedagang sayur yang merupakan salah 1 penyerang gelap tersebut.
"Itu mereka! Kejar!" tunjuk Tumenggung pada empat orang yang menyamar sebagai pedagang sayur di pasar itu, keenam prajurit yang tersisa pun langsung berlarian ke arah penyerang gelap itu, para penyerang gelap itu langsung menghamburkan seluruh pisaunya untuk melarikan diri, dua lagi prajurit Katumenggungan roboh oleh serangan pisau-pisau beracun itu.
Saat itu dari dalam Keraton Padjadjaran keluarlah puluhan prajurit untuk mengamankan keadaan pasar, mereka langsung mengejar para penyerang gelap itu. Para penyerang gelap itu terus berlarian, karena Kutaraja Pakuan hanya memiliki satu gerbang pintu masuk dari sebelah selatan (Kota tersebut dikelilingi oleh tembok tinggi dan juga tebal serta lubang parit air yang banyak buaya), mereka pun terpaksa berlari menuju ke tembok disebelah barat kota untuk kemudian melompati pagar tinggi tersebut, tapi rupanya niat mereka tak kesampaian, puluhan anak panah bersiut menerjang mereka, tiga orang dari mereka kena, sedangkan pemimpinnya berhasil melompat keatas tembok untuk kemudian melarikan diri!
Dengan penuh putus asa, ketiga orang yang terluka ini melemparkan seluruh pisau mereka, rubuhlah tiga orang prajurit Padjajdaran karenanya. Naik pitamlah para prajurit itu, mereka segera menghujani tiga orang itu dengan panah-panah mereka, "Hentikan! Tahan serangan kalian!" perintah Tumenggung Wirakerta, tapi terlambat tiga orang itu sudah tewas dengan tubuh ditancapi belasan anak panah.
"Kenapa kalian gegabah membunuh mereka?! Seharusnya kita tangkap mereka hidup-hidup untuk kita korek keterangan! Sudah! Sekarang geledah mereka!" Dengan raut wajah penuh kekecewaan Tumenggung Wirakerta segera memerintahkan beberapa prajuritnya untuk menggeledah ketiga mayat tersebut, dari ketiga mayat tersebut, ditemukan tanda-tanda bahwa mereka adalah prajurit Kesultanan Banten.
Bukan main geramnya Prabu Ragamulya Surya Kencana mendapati para prajurit Banten dapat memasuki Kutaraja Pakuan, bahkan berani melakukan penyerangan di luar gerbang keratonnya. Serangan yang dilakukan "Didepan Hidungnya Sendiri" tersebut membuatnya marah sekaligus was-was, segeralah ia mengumpulkan seluruh pejabat Keraton Padjadjaran untuk mendengarkan laporan dari Tumenggung Wirakerta. "Ampun Gusti Prabu, tidak salah lagi mereka yang menyerang hamba adalah para prajurit pembunuh dari Banten yang dilatih khusus untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan gelap!"
"Sudah beberapa pekan ini aku menerima laporan bahwa di seluruh Padjadjaran ini telah diisusupi oleh mata-mata dari Banten, sekarang mereka mulai berani menyerang kita di Kutaraja kita sendiri!" ucap Prabu Ragamulya dengan masygul, "Bagaimana mereka bisa masuk Paman Tumenggung?" tanyanya pada Tumenggung Wirakerta.
"Mereka menyamar sebagai pedagang sayur Gusti, begitu hamba lewat ke pasar mereka langsung menyerang hamba dengan pisau-pisau beracunnya!" jawab Tumenggung Wirakerta.
"Hmm... Bahkan Kutaraja kita sendiri mulai tidak aman... Dengarkan kalian semua, aku minta penjagaan di Kutaraja di perketat, tangkap semua orang yang berbicara dengan logat Banten dan Cirebon! Larang orang-orang yang yang berlogat Banten ataupun Cirebon masuk ke Pakuan ini!" titahnya.
Sang Prabu lalu melirik lagi pada Tumenggung Wirakerta, "Paman Tumenggung, bagaimana dengan pembangunan Keraton di Kabuyutan Pandeglang?"
Tumenggung Wirakerta menghaturkan sembahnya sebelum menjawab, "Keraton sudah hampir rampung Gusti, tinggal membangun Kutarajanya saja."
Prabu Ragamulya mengangguk "Bagus! Pembangunan Kota tidak perlu terlalu besar dan mencolok, aku ingin Keraton di Pandeglang tetap berada didalam hutan!" ucapnya.
Saat itu Mahapatih Cakradara* menghanturkan sembahnya, "Mohon ampun beribu ampun Gusti Prabu, apakah Gusti benar-benar telah yakin akan memindahkan Ibukota Padjadjaran ke Pandeglang? Sebab menurut hemat saya dan para sesepuh, Kutaraja Pakuan ini masih tetap yang paling aman dibandingkan dengan Pandeglang sebab sulit ditembus oleh pasukan musuh, parit serta tembok benteng yang mengelilingi Kota Pakuan serta hanya mempunyai satu gerbang masuk akan sangat menyulitkan musuh meyerang kita, kita juga dapat menaruh pasukan panah dan ketapel kita diatas benteng Kota" (*fiktif)
Prabu Ragamulya mengangguk setuju, "Kamu benar Paman Patih, tapi menurut saya selaku Prabu disini, Kota dan Keraton ini sudah kehilangan Wahyu Keratonnya meskipun kita masih menyimpan seluruh pusaka peninggalan Eyang Prabu Sri Baduga Maharaja, nah menurut mimpi saya, Wahyu Keraton itu telah terbang ke arah tanah leluhur kita di Pandeglang, maka dari itu saya memutuskan untuk memindahkan Ibukota serta Keraton ke Pandeglang!" jelas Prabu Ragamulya.
Mahapatih Cakradara beserta seluruh sesepuh di sana hanya bisa diam dan mengiyakan saja, sebab menurut mereka bagaimapun pemindahan ibukota ke Pandeglang sangatlah tidak bijak, apalagi posisi Pandeglang yang lebih dekat ke wilayah Kesultanan Banten. Selain karena lebih dekat, benteng di Pandeglang pun tidak sekokoh Pakuan hingga akan memudahkan pasukan Banten untuk menyerbu Pandeglang suatu saat nanti, belum lagi kalau memperhitungkan persenjataan modern yang dimiliki oleh laskar Banten, prajurit mereka mahir menggunakan bedil dan meriam. Tetapi karena Prabu Ragamulya bersikeras untuk memindahkan Ibukota kesana, mereka hanya bisa mengangguk setuju saja.
***
Di ruang tamu Kademangan Saguling, Jaya dan Galuh sedang duduk santai setelah dipersilahkan untuk beristirahat di sana dan menunggu santap malam oleh Ki Demang Wiraguna. "Jaya menurutmu Ki Demang itu siapa?" Tanya Galuh yang penasaran dan curiga oleh cerita-cerita penduduk desa oleh karena Ki Demang mengambil bayi-bayi mereka, selain ia merasakan perasaan yang aneh.
"Dia manusia biasa." jawab Jaya.
"Benarkah? Berarti kita tidak sedang berada di sarang siluman atau semacamnya kan?" tanya Galuh lagi.
"Ini bangunan Kademangan biasa Galuh, sampai saat ini aku belum merasakan hal yang aneh," balas Jaya.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua pun dipersilahkan untuk masuk kedalam, Ki Demang berserta istrinya juga tujuh anak gadis kecilnya menyambut kedatangan Jaya dan Galuh, melihat sikap Ki Demang juga keluarganya yang memperlakukan Jaya dan Galuh bak tamu agung juga sajian yang berlimpah ini membuat Jaya sangat mencurigai tuan rumahnya, padahal mereka tidak melakukan apa-apa terhadap keluarga Ki Demang ataupun desa ini, apalagi Jaya terus-terusan mencium bau bisa ular yang sangat engas di ruangan itu, akan tetapi ia merasa tidak enak kalau harus menolak sajian dari tuan rumah, maka ia pun menerima jamuan Ki Demang dengan sungkan.
Setelah selesai makan malam, mereka pun dipersilahkan untuk menginap di Kademangan ini. Malam itu Galuh tak bisa memicingkan matanya, ia terus merasa gelisah sambil rebahan sendiri di kamar tamu yang dipersilahkan untuk ditempati dirinya. Saat itu entah mengapa ia merasa sangat takut, selain itu ada perasaan tidak enak saat ia memasuki Kademangan ini. Ia lalu bangun dan melihat ke sekeliling kamarnya, "Aneh ada apa ini... Kenapa semakin malam suasananya semakin seram? bulu kudukku semakin merinding saja!" pikirnya sambil memegangi tengkuknya yang terasa dingin.
Saat itu udara mencucuk sangat dingin, gadis itu seperti mendengar ada suara-suara aneh seperti suara desiran di luar jendelanya, ia segera melompat dan membuka jendelanya, "Siapa?!" tanyanya dengan keras, tapi diluar tidak ada siapa-siapa, hanya pemandangan ke kebun belakang Kademangan yang gelap kosong, gadis ini semakin merasa ketakutan melihat langit malam yang gelap kelam hitam tak berbintang tanpa rembulan, apalagi ketika telinganya mendengar suara-suara berdesis yang tak nampak oleh matanya.