Mo Liancheng mengangguk pelan, karena wanita sebaik apapun pasti akan marah besar jika membuatnya mengelilingi isi kediaman Pangeran Kedelapan dari utara hingga barat, lalu dari barat hingga ke aula. Mo Liancheng memang sengaja membuat Qu Tan'er marah.
"Hamba tidak mengerti." kata Yuhao menundukkan kepala, karena dia tidak mengerti maksud tuannya.
"Kamu tidak perlu mengerti. Apa yang Qu Tan'er lakukan dua hari ini?"
"Nyonya hanya mondar-mandir di tempat tinggalnya, sepertinya dia tengah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Selain itu, sepertinya dia tertarik dengan tembok tinggi yang mengarah ke luar rumah."
"Lalu?"
"Nyonya juga tidak berinteraksi dengan banyak orang. Dia hanya mengobrol dengan pelayan wanitanya, Jingxin, serta dua pelayan lain, Su Yuela dan Xiao Wei. Tetapi dua pelayan itu sibuk memasak di dapur. Berdasarkan pengamatan saya, tidak ada yang mencurigakan dari mereka."
"Oh, ya?"
"Tuan, apakah saya masih harus memata-matai Nyonya?" Yuhao bertanya.
"Tetap awasi dia. Dia selalu berpura-pura, bukan?" kata Mo Liancheng sambil tertawa pelan.
Pria itu merasa heran sekaligus penasaran, kenapa Qu Tan'er belum juga beraksi. Meski dia menikahi Qu Tan'er, bukan berarti gadis itu bisa bertingkah seenaknya di kediamannya ini. Vas bunga yang indah hanya boleh disimpan dan tidak boleh pindah sembarangan. Jika vas bunga itu pecah, maka tidak akan ada harganya lagi.
Yuhao termenung dan tidak berani bertanya lagi, lalu dari luar ruangan tersebut terlihat dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa ke arahnya dan Mo Liancheng.
"Pria itu benar-benar minta ditonjok!" kata Qu Tan'er terlihat berjalan, sambil mengutuk pelan. Gadis itu seperti sudah tidak tahan lagi.
"Nona, tolong kecilkan suara anda, jangan sampai kedengaran orang lain." kata Jingxin mengingatkan Qu Tan'er untuk berhati-hati.
"Tidak bisa! Pria satu itu benar-benar minta ditonjok dan dihajar. Aku yakin dia pasti sengaja." kata Qu Tan'er yakin seratus persen, karena beberapa 'kebetulan' ini dilakukan dengan sengaja.
"Mungkin saja pangeran benar-benar ada urusan."
"Urusan? Semoga saja begitu. Dilihat dari kejadian hari ini, sepertinya kita tidak dapat melewati hari-hari selanjutnya dikediaman ini dengan damai."
"Nona…"
"Jangan bicara lagi. Sebentar lagi kita sampai."
Qu Tan'er dan Jingxin kemudian melangkah masuk ke Rumah Shuang, di sana ada pengawal yang berjaga dan juga pelayan. Semuanya memberi hormat kepada Qu Tan'er, dan pada akhirnya dia berhasil menemui Mo Liancheng. Dia sudah berjalan sangat jauh, namun orang yang dicarinya malah bersantai-santai sambil minum teh. Gadis itu hanya melihat punggung Mo Liancheng yang berbalutkan jubah hijau yang terbuat dari sutra, dan di sebelahnya terletak meja yang terdapat buah-buahan dan kue. Apa yang disaksikan gadis itu membuat emosinya meluap berkali-kali lipat, namun Qu Tan'er mengingatkan dirinya untuk menahan emosi.
"Hamba menghadap Nyonya." kata Yuhao, dia menyapa sambil menundukkan kepala.
"Eh? Tidak perlu sungkan begitu." Qu Tan'er menjawab dengan riang.
"Hamba menghadap Pangeran." kata Jingxin juga memberi hormat ke arah punggung pria itu.
Qu Tan'er juga memberi hormat kepada Mo Liancheng, dengan suara lembut dia berkata, "Tan'er menghadap Pangeran." Kemarahan Qu Tan'er tadi seakan-akan seperti mimpi saja. Dia berdiri dengan tenang menunggu respon Mo Liancheng yang hanya memperlihatkan punggungnya. Dengan sabar , dia menunggu Mo Liancheng membalikkan badan, tak lupa juga dia menampilkan wajah kalem dan tenang.
"Duduklah." Mo Liancheng menjawab dengan datar. Dia tak kunjung membalikkan posisi badannya, seakan-akan sedang menunggu waktu yang tepat.