"Kakak kedua jangan bercanda. Setiap orang memiliki takdir masing-masing, jadi aku tidak akan memaksa diri untuk melawan takdir yang sudah ditentukan," tutur Mo Liancheng sambil tersenyum tipis. Nada bicaranya datar dan terdengar lemah, tidak terdengar sedikit pun wibawa di dalamnya.
Sementara Qu Tan'er yang sedang menunduk langsung memasang wajah menghina. Pura-pura saja, pura-pura saja kamu sampai mati! Batinnya.
Mo Jiyan merengut karena kesal, seakan-akan tidak percaya dengan perkataan Mo Liancheng. "Kamu bercanda? Kamu merasa bisa menduduki posisi putra mahkota ya?"
"Kakak kedua mungkin salah paham. Tadi kakak pertama juga datang mengingatkan tentang masalah ini. Kakak kedua kan tahu jelas sifatku, aku tidak pernah merebut barang yang bukan milikku."
"Maksud kamu, kakak pertama pernah membicarakan hal ini denganmu?" Mo Jiyan berpura-pura terkejut.
"Kakak tidak lupa kalau ini kediaman Pangeran Pertama, kan?"