Kami masuk lebih dalam di jalan rahasia ini. Semakin jauh kami berjalan, lorong ini menjadi semakin gelap. Sampai akhirnya, kami kehabisan lilin, dan kami tenggelam dalam kegelapan.
"Tunggu, Sigmund!" seruku sambil berhenti berjalan.
Sigmund berhenti juga. "Ada apa?"
"Kupikir kita harus kembali untuk mengambil lilin," usulku.
"Tidak, kita tidak perlu membawa lilin," dia menolak.
"Tapi di sini sangat gelap. Kita perlu lilin untuk menerangi jalan kita atau kita mungkin tersesat," kataku.
"Aku pastikan bahwa kita tidak akan tersesat. Aku telah melewati jalan rahasia ini berkali-kali, oleh karena itu, aku sudahhafal jalannya. Selain itu, aku ini seorang vampir. Aku bisa melihat dengan sangat baik dalam kegelapan, jadi kita tidak membutuhkan lilin," dia meyakinkan aku.
"Tapi aku bukan vampir. Aku tidak bisa melihat apapun dalam kegelapan," keluhku.
"Kamu juga seorang vampir, ingat?" dia mengingatkanku.
"Setengah vampir," aku mengoreksinya.
"Ya, meskipun kamu hanya setengah vampir, matamu pada akhirnya juga akan terbiasa dengan kegelapan," dalihnya.
"Aku meragukan itu," gumamku.
"Kamu tidak perlu takut pada kegelapan. Aku akan memegang tanganmu sepanjang jalan," ujarnya dengan nada mengejek.
"Aku tidak takut pada kegelapan," aku menyangkal, "Aku hanya benci kalau aku tidak bisa melihat apa-apa."
"Ya, ya," komentar Sigmund sambil memutar bola matanyadengan jengah.
"Ayo kita pergi! Aku ingin keluar dari sini sesegera mungkin," pintaku.
Kami akhirnya mulai berjalan lagi. Jika itu bukan karena Sigmund yang terus memegang tanganku, aku pasti akan tersandung atau menabrak sesuatu saat kami berjalan di sepanjang jalan rahasia ini karena di sini sangat gelap, dan aku hampir tidak bisa melihat apa-apa.
Setelah berjalan selama beberapa menit, akhirnya kami sampai di pintu keluar. Jalan rahasia ini rupanya mengarah ke bagian belakang kastil. Pintu jalan rahasia ini disembunyikan oleh tanaman merambat dan pohon mawar yang menutupinya dari atas hingga ke bawah. Jadi orang tidak akan menyadari bahwa ada pintu di sini kecuali mereka sudah tahu tentang itu sebelumnya.
Ketika aku mendongak ke langit, aku melihat ada bulan purnama dan ratusan bintang bersinar di atas sana. Aku lega mengetahui bahwa setidaknya kami tidak harus berjalan dalam kegelapan di luar sini.
Meninggalkan istana, kami menuju hutan. Aku bertanya-tanya mengapa Sigmund membawaku ke hutan.
"Tunggu!" pikirku ketika aku mulai menyadari sesuatu, "Mungkin ketika dia berkata dia akan membawaku ke tempat yang aman, dia bermaksud akan membawaku ke tempat di mana dia bisa membunuhku. Sigmund sengaja membawaku ke tengah hutan karena itu adalah tempat paling aman untuk membunuhku karena tidak akan ada yang bisa menemukan mayatku di sana."
"Oh tidak, aku tidak mau mati. Aku harus kabur sekarang sebelum terlambat," kataku pada diri sendiri.
Aku melepaskan tangan Sigmund dan mencoba berlari ke arah yang berlawanan. Namun, sebelum aku bisa melangkah jauh, Sigmund menangkap lenganku.
"Kamu pikir kamu mau pergi ke mana?" dia bertanya dengan marah.
"Lepaskan aku!" seruku sambil terus meronta, mencoba melepaskan diri, "Aku tidak mau pergi denganmu. Aku tidak ingin mati sekarang."
Sigmund mengerutkan alisnya. "Mati?"
"Iya. Kamu akan membunuhku di tengah hutan, kan?" tuduhku.
"Siapa bilang aku akan membunuhmu?" Sigmund membentakku, membuatku ngeri.
"Ja—jadi ka—kamu tidak ingin mem—membunuhku?" aku tergagap-gagap.
"Tidak," jawabnya tegas.
"Lalu mengapa kamu membawa aku ke sini?" aku bertanya.
"Sudah kubilang, kamu akan segera tahu," balasnya.
"Tapi—" Aku mencoba untuk berdebat, tetapi Sigmund memotongku.
"Cukup! Ayo kita pergi!" Sigmund melepaskan lenganku hanya untuk memegang tanganku. Dan kemudian, dia menyeretku sepanjang hutan.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Sigmund berhenti. Dan aku tidak punya pilihan selain berhenti juga.
"Kau bisa keluar sekarang. Keadaannya sudah aman," teriaknya.
"Kepada siapa dia berteriak?"aku bertanya-tanya karena aku tidak melihat siapapun selain kami di sekitar sini.
Tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pepohonan. Di sini cukup gelap, karena cahaya bulan tidak bisa menembus pepohonan lebat di hutan ini. Akibatnya, aku tidak bisa melihat wajah orang itu.
Dia mulai maju ke arah kami secara perlahan, seperti predator yang mengincar mangsanya. Aku bukanlah seorang penakut, tetapi entah mengapa aku merasa sangat takut hanya dengan melihat sosok itu dalam kegelapan sampai aku harus bersembunyi di balik punggung Sigmund.
"Siapa orang ini? Apa yang dia lakukan di sini? Apakah dia ada di sini untuk membunuhku?" aku bertanya pada diri sendiri dengan ketakutan.
"Tapi Sigmund bilang dia tidak akan membunuhku, kan? Dan aku pikir dia tidak berbohong kepadaku," aku mencoba berpikir positif.
"Kamu benar, Rosanne. Sigmund tidak akan membunuhmu, tetapi orang itulah yang akan membunuhmu," kata hati nuraniku.
Pikiran bahwa aku dibunuh oleh orang misterius itu membuatku takut sekali.
"Oh tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Aku harus pergi dari sini. Sekarang juga," pikirku.
Aku mencoba untuk membebaskan diri dari genggaman tangan Sigmund, tetapi dia memegang erat-erat lenganku, jadi aku tidak bisa pergi kemanapun.
"LEPASKAN AKU, Sigmund! LEPASKAN AKU!" aku berteriak sambil terus berusaha untuk membebaskan diri.
Mengencangkan cengkeramannya di lenganku, dia menggerutu, "Ya Tuhan, bisakah kau berhenti berteriak, Putri? Jika aku tahu kau akan seberisik ini, aku tidak akan memberimu penangkal racun untuk mengembalikan suaramu."
Aku mengabaikannya dan terus berusaha membebaskan diriku sambil berteriak ketakutan.