Chapter 80 - Bab 79

Sigmund, Maximilian, dan aku lari dari aula pernikahan. Namun, jalan kami dihalangi oleh empat orang manusia serigala.

Maximilian dan Sigmund mendorongku ke belakang, melindungi aku dari para manusia serigala tersebut. Karena para manusia serigala sebenarnya datang ke sini untuk menyelamatkanku, aku rasa Sigmund dan Maximilian tidak perlu melindungi aku dari mereka. Mereka mungkin melakukannya hanya karena mereka tidak ingin para manusia serigala membawaku pergi dari sini.

Ketika para manusia serigala maju ke arah kami, Sigmund berkata, "Maximilian, tinggallah bersama Putri Mirabelle! Aku akan bertarung melawan semua manusia serigala itu."

"Oke." Kepala Maximilian mengangguk tanda setuju.

Sigmund akhirnya bertarung melawan keempat manusia serigala itu sendirian. Sementara itu, Maximilian dan aku hanya menyaksikan mereka berkelahi.

Tiba-tiba, lima orang manusia serigala muncul. Mereka mendekati aku dan Maximilian.

"Tetap di sini, Rosanne! Jangan pergi ke mana-mana!" kata Pangeran Maximilian sebelum melancarkan serangan terhadap manusia serigala yang datang.

Sementara Pangeran Maximilian sibuk berperang melawan para manusia serigala itu, Sigmund, yang baru saja mengalahkan manusia serigala yang menyerangnya, mendatangi aku. Dia memegang tanganku dan menarikku bersamanya, meninggalkan Maximilian sendirian.

Saat kami melarikan diri, aku melihat ke belakang melalui bahuku. Pangeran Maximilian masih sibuk bertarung dengan para manusia serigala. Dia sepertinya tidak tahu bahwa kami meninggalkannya.

"Ini tidak benar. Selama ini, Pangeran Maximilian selalu dilindungi oleh pengawal pribadinya. Karena Jasper tidak ada di sini malam ini, aku ragu Maximilian dapat melindungi dirinya sendiri. Kami harus kembali untuk membantunya," pikirku.

Aku menarik lengan baju Sigmund untuk memperoleh perhatiannya.

Sigmund menoleh ke arahku.

Aku memberi tanda padanya untuk berhenti berlari.

Dia mengerti apa yang aku coba katakan dan segera berhenti.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku mengarahkan jari telunjukku ke Maximilian.

"Kita tidak bisa kembali ke sana. Itu terlalu berisiko. Ayo, kita harus pergi sekarang!"

Sigmund mencoba menarikku ke depan, tetapi aku melepaskan pegangannya. Aku cemberut padanya sambil berkata dalam hati, "Apakah kamu bercanda?"

Sigmund menghela nafas panjang. "Dengar! Aku tahu Maximilian adalah seorang pangeran yang manja, tapi kau tahu, dia juga seorang petarung hebat. Jadi kau tidak perlu khawatir tentang dia karena dia bisa mengurus dirinya sendiri."

Meskipun Sigmund mengatakan bahwa Maximilian adalah petarung yang hebat, tetapi aku tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkannya. Aku benar-benar ingin berdebat dengan Sigmund, memberitahu dia bahwa kami tidak bisa meninggalkan Maximilian dan membiarkannya bertarung sendirian. Tetapi karena aku tidak bisa berbicara, aku hanya bisa memberinya ekspresi cemas.

"Dia akan baik-baik saja. Percayalah padaku!" Sigmund meyakinkanku, tetapi jujur saja, aku masih meragukannya.

"Ayo pergi sekarang! Maximilian akan bergabung dengan kita nanti," ujar Sigmund.

Aku menatap Maximilian sekali lagi sebelum menganggukkan kepala untuk menunjukkan bahwa aku setuju untuk pergi dengan Sigmund.

Akhirnya, Sigmund dan aku mulai berlari lagi. Kami melewati banyak lorong berbeda. Tapi lorong terakhir yang kami ambil ternyata adalah jalan buntu.

Jika aku tidak kehilangan suaraku, aku akan memarahi Sigmund karena membawa kami ke jalan buntu.

"Apakah dia bodoh atau apa? Dia telah tinggal di istana ini seumur hidupnya, kan? Jadi dia seharusnya tahu tempat ini dengan baik. Tapi bagaimana mungkin dia tersesat di rumahnya sendiri sekarang?" gerutuku dalam hati.

Melepaskan tanganku, Sigmund mendekat kearah dinding dan menekan salah satu batu bata di tembok. Ajaibnya, dinding itu tiba-tiba terbelah, menampilkan sebuah jalan rahasia seperti yang sering aku lihat di film.

"Keren!" aku berkomentar dengan kagum.

Sigmund dan aku memasuki lorong rahasia itu. Dia menekan batu bata lain dan dinding itu pun tertutup lagi.

Lorong ini hanya diterangi oleh cahaya lilin yang redup. Butuh beberapa saat bagi mataku untuk menyesuaikan diri dengan keremangan di sini.

Sigmund tiba-tiba mengeluarkan botol dari sakunya dan menaruhnya di tanganku.

"Ini, minumlah!" perintahnya.

"Apa ini?" tanyaku pada diri sendiri sambil memeriksa botol itu dengan curiga. Botol ini berisi cairan berwarna hijau. Dan hanya Tuhan yang tahu untuk apa cairan itu.

Meskipun Sigmund tidak bisa membaca pikiranku, untungnya, dia mengerti apa yang aku pikirkan.

"Apakah kamu ingin mendapatkan suaramu kembali atau tidak? Jika kamu mau bisa berbicara lagi, maka minumlah sekarang!" katanya.

"Bisakah aku mempercayai Sigmund?" aku bertanya pada diri sendiri, "Dia ada di sana ketika Raja Bellamy memberiku ramuan yang menyebabkanku kehilangan suaraku. Aku yakin dia sudah tahu untuk apa ramuan itu, tetapi dia tidak melakukan apapun untuk menghentikan rajanya. Jika dia benar-benar ingin membantuku, dia seharusnya mencegah Raja Bellamy untuk memberikan ramuan tersebut kepadaku saat itu, tetapi dia tidak melakukannya. Jadi aku ragu apakah botol ini benar-benar berisi obat. Bisa jadi isinya malah racun."

"Apa yang kamu tunggu? Ayo, minumlah! Kita tidak punya banyak waktu," serunya dengan tidak sabar.

Aku menghela nafas. "Aku pikir aku harus mencoba keberuntunganku sekarang. Jika botol ini benar-benar berisi obat, aku akan mendapatkan suaraku kembali. Tapi jika ini isinya racun, maka aku akan mati."

Dengan enggan, aku membuka tutup botol itu. Mengetahui dari pengalaman yang sebelumnya bahwa ramuan ini akan memiliki rasa yang sangat pahit, aku menjepit hidungku di antara ibu jari dan jari telunjuk sebelum aku memaksakan diri untuk menelan seluruh ramuannya.

Dalam hitungan detik, ramuan itu mulai bereaksi dan aku mulai batuk dan mengeluarkan cairan ungu. Begitu batukku berhenti, Sigmund bertanya, "Apakah kamu baik-baik saja?"

Aku ingin mengetes apakah ramuan itu berfungsi dengan baik atau tidak. Jadi aku membuka mulut dan mencoba berbicara. Kali ini suaraku keluar, meskipun suaranya serak karena aku sudah lama tidak berbicara.

"Iy—iya, aku— aku baik-baik saja," aku berhasil menjawab dengan gagap.

"Bagus! Suaramu kembali," serunya dengan puas.

"Ayo bergerak sekarang!" Sigmund menggenggam tanganku dan menarikku bersamanya menuju lorong di depan kami.

"Kamu akan membawaku kemana?" aku bertanya dengan penasaran.

"Ke tempat yang aman," jawabnya.

"Dan di mana tepatnya tempat yang aman itu?" tanyaku lagi.

"Kamu akan segera tahu," jawabnya sambil menyeringai.