Chapter 78 - Bab 77

Aku bangun dan mendapati diriku berbaring di atas tempat tidur. Ketika aku menoleh ke kiri, aku melihat Pangeran Maximilian duduk di kursi di samping tempat tidur. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan melipat tangan di dadanya. Matanya terpejam. Dadanya yang bergerak naik turun memberitahuku bahwa dia tengah tertidur.

Aku membuka mulut dan mencoba memanggilnya, namun suaraku tidak bisa keluar.

"Apa yang sedang terjadi? Mengapa aku tidak bisa bicara?" aku bertanya pada diri sendiri dengan panik.

Aku mencoba berbicara lagi, tetapi tidak bisa. Akhirnya, aku mengulurkan tangan ke Maximilian dan sedikit mengguncang pahanya.

"Maximilian, bangun!" kataku dalam pikiranku, tahu bahwa Maximilian bisa mendengarnya.

Dalam hitungan detik, Maximilian membuka matanya.

"Ah Rosanne, kamu akhirnya bangun juga," ucap Maximilian dengan senang.

"Maxim, aku tidak bisa bicara. Mengapa tiba-tiba aku kehilangan suara?" aku bertanya dalam hati seraya meneteskan air mata.

Pangeran Maximilian menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Jangan takut, Rosanne! Ini hanya untuk sementara. Kamu akan segera mendapatkan suaramu kembali," dia meyakinkanku.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku, Maxim?" aku bertanya dengan bingung.

"Ingat minuman yang diberikan Raja Bellamy kepadamu?"

Aku mengangguk.

"Raja Bellamy memberitahuku bahwa itu sebenarnya ramuan yang membuatmu kehilangan suaramu untuk sementara waktu. Dia mengatakan bahwa jika kamu tidak dapat berbicara, kamu tidak akan bisa menggunakan kekuatanmu untuk memaksa orang-orang agar membantumu melarikan diri lagi," jelasnya.

"Bagaimana mungkin kakekku melakukan itu padaku!" seruku dengan marah.

"Maafkan aku, Rosanne. Sejujurnya aku tidak setuju beliau menghukummu seperti ini. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan Raja Bellamy," ucap Maximilian.

Aku tersenyum lemah padanya. "Tidak apa-apa, Maxim. Itu bukan salahmu."

Maximilian membalas senyumanku.

"Tunggu!" aku menambahkan ketika menyadari sesuatu, "Karena aku tidak bisa bicara, itu artinya pernikahan kita akan dibatalkan, kan?"

"Oh tidak, tidak, tidak, Rosanne. Apapun yang terjadi, pernikahan kita harus berlanjut," katanya.

"Apakah kamu bodoh? Kita tidak bisa melanjutkan pernikahan kita jika aku tidak bisa bicara," ujarku.

"Tentu saja kita bisa," desaknya.

"Tidak, kita tidak bisa melanjutkannya," aku membantah, "Bagaimana aku bisa mengatakan 'aku bersedia' jika aku bahkan tidak bisa berbicara?"

"Kamu bisa mengatakannya dalam hatimu dan kemudian aku akan memberi tahu pendeta bahwa kamu mengatakan aku bersedia," katanya bersikeras.

"Kalau begitu aku tidak akan mengatakan aku bersedia di pikiranku," kataku.

"Aku akan berbohong bahwa kamu mengatakan aku bersedia. Lagipula tidak ada yang akan tahu tentang itu, kan?"ujarnya sambil menyeringai.

"Kamu sangat menyebalkan!" pekikku.

Maximilian terkekeh. "Hahaha aku tahu kadang-kadang aku memang menyebalkan, tapi justru itu yang membuatmu jatuh cinta padaku, kan?"

"Apa?! Jatuh cinta padamu? Maaf, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada pangeran yang menyebalkan sepertimu, Maximilian,"elakku.

"Tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa kau mencintaiku, Rosanne," katanya sambil menyeringai.

"Tidak, aku tidak mencintaimu," bantahku.

"Iya, kamu mencintaiku," desaknya.

"Aku tidak mencintaimu," tegasku.

Maximilian berkata, "Ya—"

"Cukup!" Aku menyelanya. "Keluar dari kamarku, Maximilian! Aku ingin sendiri sekarang."

"Kamu yakin ingin aku pergi sekarang?" tanyanya.

"Ya,"kataku dengan yakin.

"Tapi jika aku meninggalkanmu, tidak ada yang akan mengerti kamu karena kamu tidak bisa berbicara," ujar Maximilian.

Aku benci mengakuinya, tetapi Maximilian benar. Dia adalah satu-satunya yang bisa mengerti apa yang aku bicarakan. Menendangnya keluar dari kamarku bukanlah pilihan terbaik sekarang.

"Tapi tunggu! Aku masih bisa menulis apa yang ingin aku katakan di selembar kertas, kan? Jadi aku tidak perlu bersamamu sepanjang waktu," ucapku.

"Tapi apakah kamu melihat pena atau kertas di sekitar sini?" dia bertanya.

Dia benar. Lagi. Aku belum pernah melihat pena atau kertas di kamar ini.

"Tidak, aku tidak punya pena dan kertas. Tapi aku bisa meminta Lupita untuk membawakanpena dan kertaskesini untuk aku," jawabku.

"Bagaimana kamu bisa memintanya untuk membawakan pena dan kertas jika kamu bahkan tidak bisa bicara?" dia mengejekku.

"Kamu benar-benar menyebalkan, Maximilian! Aku membencimu," ujarku dalam hati dengan marah.

Sembari menyeringai, Maximilian menjawab dengan tenang, "Aku juga mencintaimu."

"KAMU!" Aku berteriak dalam hati.

Aku segera duduk dan mencoba menyerang Maximilian. Tapi dia dengan cepat bangkit dan mengangkat tangannya ke atas.

"Baiklah, baiklah. Kamu menang. Aku akan meninggalkanmu sekarang," katanya.

Maximilian mulai berjalan menuju pintu. Sebelum dia meninggalkan kamarku, Maximilian berujar, "Sampai jumpa di upacara pernikahan kita malam ini."

"Malam ini. Malam ini. Malam ini."Kata-kata Maximilian tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Upacara pernikahanku akan diadakan malam ini tepat di tengah malam, dan tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikannya.

Aku menjambak rambutku dengan kedua tanganku dan menjerit dalam hati dengan frustrasi.

Setelah aku merasa sedikit lebih baik, aku kembali berbaring dan lalu memejamkan mata.

"Aku berharap aku bisa tidur dan tidak bangun untuk waktu yang lama sehingga aku akan melewatkan hari pernikahanku," aku berharap dalam hati.