Chapter 77 - Bab 76

Aku melangkah mundur. "Ka—Ka—Kakek," aku tergagap-gagap.

"Kamu pikir kamu mau pergi ke mana, Mirabelle?" Dia bertanya dengan marah.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku berbalik dan berlari ke arah yang berlawanan, sebelum berbelok ke kiri, memasuki hutan lebih dalam.

Namun, pelarianku berumur pendek, karena dalam sepersekian detik, Raja Bellamy bisa menyusulku, dan langsung memegang tanganku.

"Tidak secepat itu, Putri Kecil," desisnya.

"Aku benci vampir dan kekuatan super mereka!" aku menggerutu dalam hati.

"Ayo kita kembali sekarang!" Sambil melepaskan lenganku, raja vampir menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku ke arah istana. Mengingat betapa erat cengkeramannya di pergelangan tanganku, aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.

Ketika kami sampai di gerbang istana, kami berpapasan dengan sepuluh pengawal pribadiku dan penjaga lainnya yang tadi aku temui di lorong. Mereka semua tampaknya mengejar aku juga.

"Kenapa kalian membiarkan dia meninggalkan istana?" Raja Bellamy memarahi para penjaga tersebut.

Semua penjaga menundukkan kepala mereka dengan ketakutan, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab raja mereka.

"Aku bertanya pada kalian," bentak sang raja pada mereka.

Salah satu dari mereka akhirnya angkat bicara, "Maafkan kami, Yang Mulia. Kami tidak tahu mengapa kami tidak bisa untuk tidak mematuhi perintah Putri Mirabelle."

"Betul, Yang Mulia," tambah penjaga lainnya, "Terutama ketika kami melihat mata Putri Mirabelle berubah menjadi merah. Seolah-olah kami terhipnotis untuk mematuhinya. "

"Jadi mataku benar-benar berubah menjadi merah? Artinya itu bukan hanya imajinasiku. Sigmund telah berbohong padaku," batinku.

Raja mengembalikan perhatiannya kepadaku. "Jadi matamu berubah menjadi merah ya?"

Aku tahu itu adalah pertanyaan retoris, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menjawabnya.

"Sepertinya darahku telah mengaktifkan kekuatanmu lebih awal, Mirabelle," lanjutnya.

"Kekuatan?" Aku mengerutkan kening.

"Ya, kekuatan vampirmu," dia menjelaskan.

"Kekuatan vampir? Sejak kapan aku punya kekuatan vampir? Aku rasa aku tidak memiliki kekuatan super. Dan jika aku benar-benar memilikinya, mengapa aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya?" aku bertanya pada diri sendiri dengan bingung.

"Kupikir sebaiknya aku menanyakan hal itu kepada kakekku saja," aku memutuskan.

"Kekuatan apa maksudmu, Kakek?" tanyaku penasaran.

"Compulsion," jawabnya, "Kekuatanmu sama seperti ibumu."

"Aku pernah membaca salah satu novel vampir yang menceritakan tentang seorang vampir yang memiliki kekuatan sihir yang bisa mengendalikan orang dengan kata-kata mereka. Atau mereka biasa menyebutnya compulsion. Jadi aku bisa melakukan itu di dunia nyata? Keren!" pikirku.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku. "Bagaimana jika aku menggunakan kekuatanku pada Raja Bellamy sehingga aku bisa melarikan diri dari sini? Aku tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak. Tapi aku pikir ini patut dicoba."

Aku menatap raja vampir di matanya dan berkata dengan tegas, "Kakek, aku memerintahkanmu untuk membiarkanku pergi sekarang!"

Untuk sejenak suasana di sini berubah menjadi hening sebelum akhirnya raja vampir itu tertawa terbahak-bahak. "Oh tidak, kekuatanmu tidak akan bekerja padaku, putri kecil."

"Kekuatanku benar-benar berhasil pada para penjaga, tetapi mengapa itu tidak berhasil pada raja?" tanyaku pada diri sendiri dengan kesal.

"Ayo!" Raja Bellamy mulai menyeretku ke dalam istana. Pada saat kami tiba di ruang singgasana, raja vampir mendorongku.

"Aduh!" Aku merintih kesakitan ketika aku jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk.

Sigmund, yang kebetulan juga berada di ruang singgasana saat itu, bersama Pangeran Maximilian, mendekatiku. Membungkuk, dia memegang lenganku dengan lembut dan membantuku berdiri.

"Terima kasih," bisikku.

Dia hanya menjawabku dengan anggukan sebelum kembali ke posisi sebelumnya di samping Pangeran Maximilian.

Raja Bellamy berjalan mengelilingiku sehingga dia sekarang berdiri di depanku.

Aku menundukkan kepala untuk mengalihkan pandanganku dari tatapannya yang mengintimidasi.

"KAMU BERJANJI BAHWA KAMU AKAN TINGGAL DENGANKU JIKA AKU MENGAMPUNI HIDUP PARA WEREWOLF ITU, TETAPI MENGAPA KAMU BERCOBA UNTUK MELARIKAN LAGI, MIRABELLE? MENGAPA?" Raja Bellamy berteriak kepadaku.

Aku benar-benar ingin berteriak balik kepadanya bahwa aku mencoba melarikan diri karena aku tidak ingin menikahi Pangeran Maximilian, tetapi aku pikir lebih baik aku tidak melakukan itu. Raja Bellamy sangat marah sekarang. Aku takut aku akan semakin membuatnya marah jika aku mengatakan yang sebenarnya. Jadi, yang bisa aku katakan adalah, "Maaf, Kakek."

Mengabaikan permintaan maafku, raja vampir mulai meneriakiku lagi, "AKU SUDAH MENYELAMATKAN HIDUPMU, MIRABELLE. TAPI INIKAH CARAMU MEMBALASKU? KAU MENCOBA MENINGGALKANKU."

Aku belum pernah melihat Raja Bellamy marah padaku sebelumnya dan aku sangat takut sampai aku tidak bisa menahan tangis.

"Maafkan aku, Kakek," aku terisak.

Raja Bellamy menyentuh wajahku dan mengangkat daguku sehingga mataku bertemu dengan matanya.

"Kamu pasti haus setelah berlari, kan?" katanya sambil tersenyum. Ya, tersenyum.

Perubahan mendadak dalam perilaku sang raja membingungkanku. Satu menit yang lalu dia memarahiku dan menit berikutnya dia berbicara dengan manis seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Dia pasti merencanakan sesuatu," pikirku curiga.

Raja Bellamy bertepuk tangan. Secepat kilat, seorang pelayan datang, membawa nampan dengan segelas air di atasnya. Raja vampir mengambil gelas itu dan memberi isyarat kepada sang pelayan untuk pergi. Pelayan itu menundukkan kepalanya dengan hormat dan segera meninggalkan ruang singgasana.

Raja Bellamy menyeringai dan kemudian menyerahkan gelas itu kepadaku. "Ini, minumlah!"

Aku melihat gelas yang ada di tanganku. Gelas itu berisi cairan ungu.

"Apa ini? Ini jelas bukan darah. Lalu mungkinkah air ini berisi racun?" aku bertanya dalam hati.

"A—apa ini, Kakek?" tanyaku dengan gagap.

"Jangan bertanya; minum saja!" perintahnya.

Aku melirik Sigmund, tetapi dia justru memalingkan pandangannya ke arah lain, menghindari tatapanku. Mengetahui Sigmund tidak akan membantuku, aku menoleh ke Pangeran Maximilian dan berpikir, "Maxim, tolong bantu aku! Aku tidak ingin minum ini. "

"Maaf," bisiknya.

"PENGECUT!!!" aku berteriak padanya dalam hati.

"Tunggu apa lagi, Mirabelle? Ayo minumlah!" katasang raja dengan tidak sabar.

"Kakek, aku ... aku ... aku—"

"AKU BILANG MINUM!" Dia membentakaku, membuatku kaget.

Dengan tangan gemetar, aku membawa gelas itu ke mulutku dan menyeruputnya. Rasanya membuat aku ingin muntah, jadi aku segera mendorong gelas itu menjauh.

"Habiskan semuanya!" perintah Raja Bellamy.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak mau."

Dengan marah, raja vampir mengambil gelas itu dari tanganku. Dia membawa gelas ke mulutku dan memaksaku untuk meminum air itu.

Aku menutup bibirku erat, menolak untuk meminum air itu. Raja Bellamy mencubit hidungku, jadi aku tidak punya pilihan lain selain membuka mulut untuk memasukkan udara ke paru-paruku. Mengambil keuntungan dari itu, sang raja menuangkan air ke mulutku dan kemudian meletakkan tangannya di mulutku sehingga aku terpaksa menelan air itu. Ketika dia yakin aku telah meminum semua airnya, dia menjatuhkan gelas itu hingga hancur berkeping-keping di lantai.

Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba tenggorokanku terasa seperti terbakar. Aku meletakkan tangan di leherku dan kemudian mulai terbatuk.

"Ka—Ka—Kakek, ap—apa yang kakek berikan padaku?" tanyaku terbata-bata.

Tidak menjawab pertanyaanku, Raja Bellamy hanya memberiku sebuah seringaian jahat. Dia kemudian berbalik, dan akhirnya berjalan menuju tahtanya dengan tenang.

Air mata mengalir di wajahku. Ruangan ini tiba-tiba serasa berputar dan penglihatanku mulai kabur. Kakiku tak kuat menopang berat tubuhku dan aku akhirnya terjatuh. Untungnya, Pangeran Maximilian menangkapku sebelum aku terjerembab ke lantai dan dia meletakkan aku di pangkuannya.

"Rosanne?" Dia mengguncang tubuhku.

"Yang Mulia, apa yang telah anda lakukan padanya?" tanyanya dengan cemas.

"Jangan khawatir, Pangeran Maximilian! Aku tidak akan membunuhnya. Aku melakukan ini hanya untuk memberinya pelajaran," jawab Raja Bellamy sambil duduk di singgasananya.

"Sigmund, bawa Putri Mirabelle ke kamarnya sekarang! Dan kali ini, pastikan dia tidak bisa melarikan diri lagi," perintah sang raja.

"Baik, Yang Mulia," jawab Sigmund.

Sigmund berjalan ke arahku. Dia mencoba menyentuhku, tetapi Maximilian mendorong tangannya.

"Aku yang akan menggendongya," Maximilian bersikeras.

"Baiklah," kata Sigmund.

Maximilian meletakkan satu tangan di belakang punggungku sedangkan tangan yang lain di bawah kakiku, dan akhirnya mengangkat tubuhku. Setelah itu, dia menggendongku dengan gaya pengantin keluar dari ruang singgasana. Sigmund mengikuti di belakang kami.

"Tetaplah bersamaku, Rosanne!" ucap Maximilian padaku.

Tapi mataku terasa berat. Jadi aku perlahan menutup mata dan membiarkan kegelapan menyelimutiku.