Chapter 75 - Bab 74

Duduk, aku melempar selimut dan bangkit dari tempat tidur. Tetapi tepat ketika aku akan berjalan, tiba-tiba aku jatuh ke lantai karena kakiku masih terasa sangat lemas.

"Aduh!" aku merintih.

Suara kejatuhanku rupanya menarik perhatian Sigmund. Dia membuka pintu dan memasuki kamarku.

"Apakah kamu mencoba melarikan diri lagi?" dia bertanya dengan kesal.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak mencoba untuk kabur kok."

"Lalu mengapa kamu turun dari tempat tidur?" dia bertanya lagi dengan curiga.

"Karena aku harus pergi ke kamar mandi," aku berbohong.

"Oke, biarkan aku membantumu!" Sigmund membantuku berdiri dan kemudian membawaku ke kamar mandi.

"Oke, kamu bisa pergi sekarang," kataku begitu kami berada di dalam kamar mandi.

"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu," dia menolak.

"Aku butuh privasi, kau tahu," kataku.

"Aku mengerti, Putri. Tetapi bagaimana jika kau jatuh lagi?" ujar Sigmund.

"Aku tidak akan jatuh lagi. Sekarang keluar!" aku mendorongnya ke arah pintu.

"Baik. Aku akan menunggu di luar pintu. Panggil saja aku jika kau merasa akan jatuh lagi, oke?" ujarnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi.

"Ya, ya," kataku sembari menutup pintu di depan wajahnya.

Aku sebenarnya tidak perlu menggunakan kamar mandi. Tetapi karena aku sudah berada di dalam sini, tiba-tiba aku ingin buang air kecil.

Setelah selesai, aku pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Aku menyalakan keran dan meletakkan tanganku di bawah air yang mengalir. Lalu aku mengambil sabun dan menggosokannya ke tanganku, dan akhirnya membilas busanya dengan air. Setelah itu, aku menangkupkan tangan dan memercikkan air dingin ke wajahku. Ketika aku melihat bayanganku di cermin, aku perhatikan bahwa mata coklatku berubah warna menjadi merah.

"AAAAAH!!!" aku menjerit ngeri sambil berlari menjauh dari cermin dan akhirnya terjatuh ke lantai.

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka dan Sigmund masuk.

"Apa yang terjadi? Mengapa kamu berteriak?" Sigmund bertanya dengan cemas.

"Mataku—mataku—mataku," aku tergagap sambil mengarahkan jari gemetarku ke cermin.

"Apa yang salah dengan matamu?" dia bertanya lagi.

"War—warna mataku be—berubah menjadi merah," aku menjawab dengan terbata-bata.

Sigmund mencondongkan tubuh ke depan untuk mengamati mataku. "Apa yang kamu bicarakan? Matamu masih berwarna coklat kok."

"Tapi barusan, aku melihat mataku berubah menjadi merah," kataku.

"Pasti itu hanya imajinasimu saja, Putri," tebaknya.

"Tidak, ini bukan hanya imajinasiku. Aku yakin warna mataku benar-benar berubah menjadi merah," bantahku.

"Tidak, matamu tidak berwarna merah. Lihat saja sendiri!" Dia menunjuk ke cermin di atas wastafel.

Aku berdiri dan pergi ke wastafel. Aku menatap bayanganku di cermin dan kaget mendapati bahwa mataku telah kembali ke warna aslinya yaitu coklat.

"Bagaimana mungkin? Aku bersumpah tadi aku melihat mataku berwarna merah," aku bertanya-tanya.

"Sudah kubilang itu hanya imajinasimu. Kau pasti sangat lelah sampai melihat hal yang aneh-aneh!" ujar Sigmund.

"Tapi—" Aku mencoba berbicara, tetapi Sigmund menyelaku.

"Cukup, Putri! Ayo keluar dari sini supaya kamu bisa istirahat lagi."

Sigmund melingkarkan lengannya di pundakku dan membawaku keluar dari kamar mandi. Dia kemudian menyuruh aku berbaring di tempat tidur dan menyelimuti  aku.

"Kembalilah tidur!" suruhnya.

"Tidak, aku tidak ingin tidur," aku menolak seraya bangkit untuk duduk dan menyandarkan kepalaku ke kepala ranjang.

"Tapi beberapa menit yang lalu, kamu mengatakan bahwa kamu lelah dan ingin tidur, itu sebabnya kamu memintaku untuk meninggalkanmu sendirian, kan?" dia mengingatkanku.

"Ya, itu benar," aku mengakui, "Tapi sekarang, aku tidak mengantuk lagi."

"Tutup saja matamu dan akhirnya kamu pasti akan tertidur. Kau perlu banyak istirahat supaya siap untuk hari besarmu besok," sarannya.

Aku mengerang dalam hati ketika dia mengingatkan akan pernikahanku. Itu membuatku semakin ingin melarikan diri. Tetapi aku tahu aku harus lebih bijaksana kali ini. Aku harus mencari cara yang tidak akan membahayakan hidupku lagi.

"Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi besok. Aku tidak ingin tidur. Selain itu, bagaimana aku bisa tidur ketika ada sesuatu yang menggangguku?" keluhku.

"Apa yang mengganggumu?" tanyanya.

"Mataku," jawabku, "aku yakin warnanya berubah menjadi merah, dan itu benar-benar membuatku takut."

"Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa itu hanya imajinasimu, Putri?" kata Sigmund dengan jengkel.

Dan aku berujar, "Dan berapa kali aku harus memberitahumu bahwa itu nyata, Sigmund?"

"Itu tidak nyata, oke? Itu hanya terjadi karena kamu lelah. Itu sebabnya aku menyarankanmu untuk tidur sekarang sehingga kamu akan merasa lebih baik, dan kamu tidak akan melihat hal-hal yang aneh lagi," ia mencoba meyakinkanku.

"Sudah kubilang aku tidak ingin tidur. Mengapa kamu benar-benar ingin aku tidur?" tanyaku dengan curiga.

"Pertama, karena kamu masih perlu istirahat. Kedua, karena aku harus pergi ke tempat lain. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sebelum kamu tertidur," jelasnya.

"Jika kau ingin pergi, pergi saja! Kau tidak harus menunggu sampai aku tertidur," ujarku.

"Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian saat kamu bangun. Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu yang bodoh lagi."

"Aku tidak akan pernah melompat keluar jendela lagi jika itu yang kau takutkan. Aku sadar itu sangat bodoh."

"Aku tahu kamu tidak akan pernah mencobanya lagi karena kamu sudah mendapatkan pelajaran. Tetapi aku hanya khawatir kau akan mulai melihat sesuatu yang aneh lagi dan akan menjadi histeris. Itu sebabnya aku harus berada di sini untuk mengawasimu, setidaknya sampai kau tertidur."

"Aku yakinkan kamu bahwa itu tidak akan terjadi lagi. Jadi aku tidak perlu kamu mengasuhku."

"Apakah kamu pikir aku akan mempercayaimu? Sekarang, kembali tidur, putri kecil! Itu satu-satunya cara aku bisa pergi tanpa harus khawatir tentangmu."

Aku menyilangkan tangan di dada. "Tidak! Aku hanya akan tidur kalau aku mau, bukan karena kamu yang menyuruhku."

Sigmund menghela nafas panjang. Berbalik menghadap pintu, dia memanggil, "Lupita!"

Pintu segera terbuka, dan Lupita masuk.

"Ya, Tuanku?" tanyanya.

"Aku harus pergi ke suatu tempat. Awasi Putri Mirabelle! Aku tidak ingin dia melakukan sesuatu yang bodoh lagi ketika aku tidak ada. Dan ingatlah! Jangan pernah meninggalkan sisinya sampai aku kembali! Apakah kamu mengerti?" perintahnya.

"Tentu, Tuanku," jawab Lupita.

"Sudah kubilang aku tidak butuh pengasuh, Sigmund," keluhku.

"Jika kamu tidak ingin Lupita sebagai pengasuhmu, aku akan memerintahkan sepuluh pengawal untuk datang ke sini dan menggantikannya. Bagaimana menurutmu? Pilihannya ada di tanganmu," ujar Sigmund.

"Tidak, tidak, tidak, aku lebih memilih Lupita sebagai pengasuhku daripada membiarkan sepuluh penjaga mengawasiku seperti elang. Para penjaga vampir itu terkadang sangat menakutkan," pikirku.

"Baiklah. Lupita bisa menjadi pengasuhku," akhirnya aku berkata dengan enggan.

"Bagus!" Sigmund menyeringai dengan puas.

Aku memanyunkan bibirku padanya dengan marah.

"Lupita, ingat apa yang aku katakan! Jangan pernah meninggalkan Putri Mirabelle sampai aku kembali!" Sigmund memperingatkan Lupita.

"Baik, Tuanku," ucap Lupita.

"Aku akan segera kembali," kata Sigmund sebelum melangkah keluar dari kamarku.