Aku terbangun dengan sakit kepala yang sangat buruk. Aku mengangkat tangan untuk menyentuh kepalaku yang berdenyut-denyut dan melihat ke sekelilingku. Sekarang aku tengah berbaring di tempat tidur di kamarku.
"Apa yang terjadi?" tanyaku pada diri sendiri sambil beranjak duduk.
Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi padaku. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mencoba bunuh diri dengan melompat keluar dari jendela kamarku. Tetapi aku mengurungkan niatku pada saat-saat terakhir. Namun, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Aku berteriak meminta tolong. Sigmund datang untuk menyelamatkan aku. Tetapi sebelum Sigmund bisa menyelamatkanku, aku jatuh ke tanah dan semuanya menjadi gelap.
"Aku pikir mustahil untuk bertahan hidup setelah jatuh dari ketinggian seperti ini. Tetapi bagaimana aku masih hidup sekarang?" aku bertanya-tanya dengan bingung.
Terlepas dari sakit kepala, aku tidak merasakan sakit di bagian tubuhku yang lain. Sepertinya juga tidak ada tulangku yang patah. Dan ketika aku menyibak selimut, aku juga tidak melihat ada luka atau goresan di lengan dan kakiku.
"Bagaimana aku bisa bertahan hidup tanpa terluka sedikitpun? Seolah-olah aku tidak pernah jatuh dari ketinggian," pikirku dengan bingung.
"Ah akhirnya kamu bangun juga," ujar seseorang.
Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan mendapati Sigmund berdiri di ambang pintu. Dia mendekatiku dan berdiri di samping tempat tidurku.
"Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya.
"Kepalaku sakit, tapi selain itu, aku baik-baik saja," jawabku.
"Bagus!" serunya.
"Sekarang, aku ingin kamu menjelaskan kepadaku apa yang terjadi malam itu! Kenapa kamu bergelantungan di luar jendela seperti itu?" Sigmund menuntut jawaban dariku.
"Aku... aku...," aku ragu apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi aku tahu tidak ada gunanya membohonginya karena cepat atau lambat dia pasti akan mengetahuinya. Jadi aku memutuskan untuk berkata jujur padanya. "Aku bermaksud melompat keluar dari jendela, tapi aku—"
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Sigmund memarahiku, "Apa kau sudah kehilangan akal, Putri? Mengapa kau melompat keluar dari jendela seperti itu? Kau tahu, kau bisa mati jika bukan karena Raja Bellamy yang menyelamatkan nyawamu."
"Tunggu! Raja Bellamy menyelamatkanku?" aku bertanya dengan heran.
"Ya, Raja Bellamy memberimu beberapa tetes darahnya. Itu sebabnya kau masih hidup sekarang," jelasnya.
"Aku tidak mengerti. Raja Bellamy ingin membunuhku dan menjadikanku sebagai persembahan manusia, bukan? Tapi mengapa dia menyelamatkan nyawaku? Dia pasti merencanakan sesuatu. Tetapi aku tidak akan mudah tertipu olehnya," pikirku.
"Dia seharusnya membiarkan aku mati. Kenapa repot-repot menyelamatkan nyawaku ketika pada akhirnya dia hanya ingin membunuhku lagi?" gerutuku.
"Apa yang kamu bicarakan?" Sigmund bertanya. Kebingungan terlukis dengan jelas di wajahnya. Tapi aku tahu pasti itu hanya akting.
"Jangan berpura-pura bodoh! Aku sudah tahu apa yang kalian rencanakan pada ulang tahunku yang ketujuh belas. Kalian akan mengorbankan aku pada malam itu, bukan?" tuduhku.
Sigmund tertawa terbahak-bahak. "Mengorbankan kamu? Siapa yang memberimu ide konyol seperti itu?"
"Konyol? Jadi ide aku dibunuh sebagai pengorbanan benar-benar lucu bagi mereka?" aku berpikir dengan marah.
Aku baru saja akan memberinya balasan, tetapi Sigmund memotong ucapanku, "Tunggu! Jangan katakan padaku! Kurasa aku sudah tahu siapa yang memberitahumu ide konyol itu. Kamu pasti mendengarnya dari para manusia serigala, bukan?"
"Ya, para manusia serigala telah mengungkapkan rencanamu yang jahat kepadaku," aku mengakui.
"Dengar! Apapun yang mereka katakan kepadamu, itu tidak benar, oke?" Sigmund mencoba meyakinkan aku.
Pernyataannya membuat aku marah. "Jadi, kau menuduh mereka berbohong?"
"Aku tidak menuduh mereka; mereka memang berbohong padamu, Putri," dia membantah.
"Tidak, kaulah yang mengatakan kebohongan, bukan mereka," aku bersikeras.
"Kami tidak pernah mengatakan kebohongan padamu, oke? Apa gunanya berbohong padamu?" tanyanya.
"Intinya adalah agar kamu bisa mengorbankan aku tanpa aku tahu apa-apa tentang itu," jawabku dengan percaya diri.
Sigmund menghela nafas. "Bisakah kau berhenti menyebutkan tentang pengorbanan? Itu ide konyol! Selain itu, mengapa kau pikir kami ingin mengorbankanmu?"
"Kalian ingin mengorbankan aku untuk keabadian kalian, kan?" kataku.
Sigmund terkekeh. "Oh, sangat lucu! Vampir itu makhluk abadi. Jadi kami tidak perlu mengorbankanmu untuk mendapatkan keabadian kami."
"Jika vampir makhluk yang abadi, bagaimana bisa ibuku meninggal?" tanyaku dengan sengit.
Pertanyaanku jelas mengejutkan Sigmund. Ada jeda yang lama sebelum dia akhirnya menjawab, "Oke, mungkin vampir tidak benar-benar abadi karena kami masih bisa mati. Tetapi jika kami berhati-hati, kami bisa hidup untuk waktu yang sangat lama. Itu sama saja dengan abadi, kan?"
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kalian mencoba untuk mengorbankanku," aku mengejek.
"Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa kami tidak punya niat untuk mengorbankanmu?" teriaknya frustrasi.
"Jika kalian tidak berniat untuk mengorbankan aku, lalu apa yang ingin kalian lakukan pada hari ulang tahunku yang ketujuh belas?" aku bertanya.
Dia menjawab, "Kau juga tahu kan bahwa pada hari itu kami ingin kamu menikahi Pangeran Maximilian."
"Tapi mengapa itu harus dilakukan pada ulang tahunku yang ketujuh belas, mengapa tidak pada hari lain saja?" aku menuntut jawabannya.
Dia menjelaskan, "Karena tepat pada ulang tahunmu yang ketujuh belas, kekuatan vampirmu akan aktif. Jadi itu akan menjadi waktu terbaik bagimu untuk menikahi Pangeran Maximilian dan— "
"Lalu apa?" selaku, "Kau akan mengubahku menjadi seorang vampir yang seutuhnya?"
Sebelum Sigmund memiliki kesempatan untuk menjawab, aku menyela lagi, "Kau tahu, aku ini tidak bodoh. Aku tahu karena aku adalah vampir berdarah campuran, kalian tidak akan pernah bisa mengubahku menjadi vampir seutuhnya."
"Oke, kamu benar. Kami tidak dapat mengubah setengah vampir menjadi vampir yang seutuhnya," dia mengakui, "Tapi hanya karena kami tidak bisa mengubahmu menjadi vampir yang seutuhnya, bukan berarti kami akan mengorbankanmu."
"Aku benci mengakuinya, tapi dia benar. Aku tidak punya bukti bahwa mereka akan membunuhku sebagai pengorbanan," pikirku.
"Aku tidak tahu siapa yang harus dipercaya sekarang. Haruskah aku percaya pada Sigmund yang mengatakan bahwa para vampir tidak punya niat untuk mengorbankanku? Atau bisakah aku memercayai ayahku dan para manusia serigala yang memberitahuku tentang pengorbanan yang direncanakan para vampir?" tanyaku pada diri sendiri.
"Aku pikir tidak mungkin ayahku membohongiku. Tetapi bukan tidak mungkin Sigmund mengatakan yang sebenarnya pula. Sebelum aku mengetahui siapa pembohong yang sebenarnya, aku lebih baik tidak mempercayai siapapun sekarang," aku memutuskan.
"Baik kalian akan mengorbankan aku atau tidak, aku tidak ingin menikahi Maximilian di ulang tahunku yang ketujuh belas," aku menekankan.
"Kamu tidak punya pilihan, Putri. Karena Putri Claribelle sudah meninggal dunia, kamu menjadi satu-satunya pewaris takhta. Tetapi karena kau hanyalah setengah vampir, kau tidak bisa menjadi ratu vampir kecuali jika kamu menikahi seorang vampir berdarah murni dari kalangan bangsawan. Itulah sebabnya Raja Bellamy mendesakmu untuk menikahi Pangeran Maximilian, supaya kamu bisa menjadi ratu vampir dan memerintah di sampingnya," Sigmund menjelaskan.
"Tapi aku tidak ingin menjadi ratu vampir. Aku hanya ingin menjadi manusia biasa," protesku.
"Faktanya adalah kamu bukan manusia; kamu itu setelah vampir, ingat?" Sigmund mengingatkanku.
Aku tahu aku tidak akan pernah memenangkan pertengkaran dengan Sigmund. Itu sebabnya aku memutuskan untuk segera menghentikannya.
"Cukup! Aku tidak ingin berdebat denganmu lagi, Sigmund. Aku lelah. Aku ingin istirahat sekarang." Aku berbaring di tempat tidur dan menarik selimut hingga ke leherku.
"Kau benar. Sebaiknya kamu beristirahat sekarang karena kamu memiliki hari besar di hadapanmu besok," kata Sigmund.
Aku mengerutkan alisku. "Ada apa dengan besok?"
"Besok malam adalah hari pernikahanmu. Apakah kamu lupa?" jawab Sigmund.
Aku langsung duduk dengan kaget. "Apa? Pernikahanku? Tapi itu seharusnya minggu depan, kan?"
Sigmund menggelengkan kepalanya. "Tidak, hari pernikahanmu itu besok."
"Mengapa Raja Bellamy mempercepat tanggal pernikahanku? Aku pikir dia ingin pernikahan itu diadakan pada hari ulang tahunku yang ketujuh belas," keluhku.
"Yang Mulia tidak mempercepatnya. Ulang tahunmu itu memang lusa. Jadi pernikahanmu besok malam," dia menjelaskan.
Penjelasannya membuat aku bingung. "Bagaimana mungkin? Aku ingat dengan jelas bahwa kemarin masih ada satu minggu tersisa sampai hari pernikahanku. Tapi mengapa hari ini kamu mengatakan bahwa pernikahanku besok?"
"Kemarin? Maksudmu hari kau mencoba melompat keluar dari jendela?" dia malah bertanya balik padaku.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Oh, itu bukan kemarin. Setelah kau terjatuh, kamu tidak sadarkan diri selama enam hari," katanya.
Aku ternganga. "Jadi aku tak sadarkan diri selama enam hari penuh?"
"Ya." Sigmund mengangguk. "Kamu mengalami gegar otak parah dan kamu juga mengalami beberapa patah tulang akibat terjatuh, itulah sebabnya kamu tak sadarkan diri untuk waktu yang lama."
Aku mengerutkan kening. "Patah tulang? Tapi aku tidak merasa ada tulangku yang patah sekarang. "
"Aku sudah memberitahumu itu karena Raja Bellamy memberimu darahnya. Kau tahu, darah vampir dapat menyembuhkan luka. Biasanya, hanya perlu beberapa jam bagi vampir untuk menyembuhkan diri mereka sendiri, tetapi karena kamu hanya setengah vampir, dibutuhkan waktu lebih lama daripada vampir biasa," jelasnya.
"Ja—jadi pernikahanku benar-benar besok?" aku ingin memastikan sekali lagi.
"Ya," jawab Sigmund dengan tegas.
Aku menjambak rambutku dengan frustrasi. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Pernikahanku besok dan tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikannya."
"Jika para manusia serigala itu benar tentang pengorbanan yang mereka bicarakan, maka aku akan mati besok. Dan bahkan jika Sigmund mengatakan yang sebenarnya bahwa vampir tidak punya niat untuk mengorbankan aku, aku masih akan mengalami masalah. Karena itu berarti aku akan terjebak di dunia vampir selama sisa hidupku," batinku.
"Tidaaaaaak!!!" Aku berteriak dalam hati.
Aku ditarik keluar dari lamunanku ketika Sigmund melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Apakah kamu baik-baik saja, Putri? Kenapa kamu tiba-tiba menjadi sangat pendiam?" dia bertanya dengan cemas.
"Aku baik-baik saja," jawabku sebelum akhirnya kembali berbaring di tempat tidur, "Aku hanya lelah. Bisakah kamu tinggalkan aku sendiri sekarang supaya aku bisa tidur?"
"Tentu saja. Aku akan berada di luar jika kamu membutuhkan sesuatu," kata Sigmund.
"Oke," jawabku sambil menutup mata.
Tidak lama setelah itu, aku mendengar langkah kaki pergi dan kemudian suara pintu ditutup.
Ketika aku yakin aku sendirian di kamar, aku membuka mata lagi.
"Apapun yang terjadi, aku harus menemukan cara untuk melarikan diri dari sini. Aku tidak ingin terjebak di dunia vampir sepanjang hidupku," aku memutuskan.