Dua hari berlalu sejak Sigmund mengeluarkan aku dari penjara bawah tanah. Jadi itu berarti sudah tiga hari sejak aku melarikan diri ke rumah para werewolf, dan kemudian Raja Bellamy datang dan menyeretku kembali ke kerajaan vampir.
Ayahku berjanji untuk datang dan menyelamatkan aku, tetapi dia belum datang juga sampai sekarang, dan aku mulai khawatir kalau hal yang terburuk akan terjadi. Bagaimana jika Raja Bellamy melanggar janjinya dan memutuskan untuk membunuh ayahku bersama dengan para manusia serigala lainnya? Atau sebaliknya, bagaimana jika ayahku mengingkari janjinya untuk datang menolongku?
Aku menggelengkan kepala dan mendorong pikiran negatif itu keluar dari kepalaku.
Tidak, tidak, tidak. Aku tahu ayahku tidak akan pernah melakukan itu. Jika dia tidak datang, aku yakin dia punya alasan di balik itu. Dan aku berharap itu bukan karena dia terluka, atau yang terburuknya, terbunuh.
"Ah, kenapa kau selalu berpikiran negatif, Rosanne?" aku memarahi diri sendiri.
Pikiran negatif ini mungkin terbersit di otakku karena aku menghabiskan beberapa hari terakhir ini dalam kesepian. Raja Bellamy tidak mengizinkan aku untuk bertemu dengan siapapun, terutama dengan Pangeran Maximilian. Satu-satunya orang yang bisa menemuiku adalah Sigmund. Tapi dia hanya datang untuk membawakan sarapan, makan siang, dan makan malam untukku. Dan dia akan buru-buru pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"aku bertanya pada diri sendiri, "Hari pernikahanku semakin dekat dan tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membatalkannya. Tapi aku tidak bisa duduk tenang sementara aku tahu apa yang akan dilakukan para vampir itu pada hari pernikahanku, kan? Jika aku tidak melakukan apa-apa, para vampir itu akan menjadikan aku sebagai pengorbanan manusia."
"Tidak, tidak, tidak. Aku lebih baik mati daripada membiarkan mereka mengorbankan aku,"pikirku.
Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di kepalaku. "Tunggu! Mungkin ini bisa menjadi jawaban untuk semua masalahku. Jika aku mati, mereka tidak bisa menjadikan aku sebagai pengorbanan manusia. Benarkan?"
"Apa kamu tidak waras, Rosanne? Mengapa kamu ingin bunuh diri?" hati nuraniku menegur aku.
"Diam!" aku membentaknya.
Aku melihat ke sekeliling kamarku, mencari sesuatu yang bisa aku gunakan untuk mengakhiri hidupku. Ya, meskipun sejujurnya aku tidak ingin hidupku berakhir begitu cepat, tetapi jika aku harus memilih antara dibunuh sebagai pengorbanan atau bunuh diri, aku lebih suka melakukan yang terakhir.
Ketika mataku mendarat di jendela, aku menyeringai jahat. "Mungkin aku bisa melompat keluar jendela."
"Kamu tidak bisa melakukannya, Rosanne! Apakah kamu mendengarku?" hati nuraniku berteriak padaku.
"Apa kamu punya solusi yang lebih baik?" aku bertanya dengan sinis.
"Pasti ada cara lain. Kamu tidak dapat menyelesaikan apapun dengan bunuh diri," dia menasihatiku.
"Jika kamu tidak bisa memberikan solusi apapun padaku, kamu sebaiknya tutup mulut sekarang," seruku dengan kesal.
"Baiklah. Kamu bebas melakukan apapun sesukamu. Tetapi aku yakin kamu akan segera menyesalinya," dia berkata dengan marah.
"Ya, terserahlah," kataku acuh tak acuh.
Aku pergi ke jendela hanya untuk menemukan bahwa jendela itu terkunci. Dengan susah payah, aku berhasil mendorong jendela itu hingga terbuka, dan hembusan angin segera mengenai wajahku.
Aku memanjat melalui jendela sampai aku duduk di ambang jendela. Aku mengayunkan kakiku sehingga mereka menggantung di tepi ambang jendela.
Aku menatap ke tanah di bawah dan bergidik. Jika aku melompat dari ketinggian ini, aku akan langsung terjun ke kematianku dan itu pasti akan sangat menyakitkan.
"Oh tidak. Aku pikir itu bukan ide yang bagus," gumamku.
"Sudah kubilang kan," hati nuraniku mengejekku.
Aku pikir aku harus mendengarkan hati nuraniku kali ini. Aku tahu aku mengatakan bahwa aku lebih baik mati daripada membiarkan para vampir itu mengorbankan aku. Tetapi setelah dipikir-pikir, aku tidak ingin mati dengan kematian yang menyakitkan. Selain itu, seperti kata hati nuraniku, melakukan bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalahku. Aku yakin bahwa aku dapat menemukan solusi yang lain untuk masalah ini.
Aku mencoba membawa kakiku kembali ke dalam kamar. Tapi tanpa diduga aku kehilangan keseimbangan akibat hembusan angin yang datang tiba-tiba dan akhirnya terjatuh. Untungnya, aku berhasil menjaga diriku agar tidak jatuh kebawah dengan berpegangan pada tanaman merambat yang merayap di dinding kastil.
Angin kencang mengakibatkan aku berayun di dinding kastil dan membuatku merinding. Telapak tanganku mulai berkeringat. Itu menyebabkan tanganku tergelincir dari tanaman merambat itu dan aku mulai turun secara perlahan.
"TOLONG! TOLONG AKU! SIGMUND? MAXIM? KAKEK? SIAPA SAJA, TOLONG AKU!" aku berteriak sekencang-kencangnya.
Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara pintu terbuka diikuti oleh suara langkah kaki yang mendekat.
"Tuan Putri?" Sigmund terdengar panik. Mungkin karena aku tidak terlihat dimanapun.
"Sigmund," aku berseru. Suaraku serak karena semua jeritan sudah yang aku lakukan.
"Putri, dimana kamu?" teriaknya.
"Aku di luar. Tolong aku!" aku berteriak.
Dalam beberapa detik, Sigmund mencondongkan tubuh ke luar jendela. Dia tersentak ketika melihatku tergantung di bawah jendela.
"Tolong aku, Sigmund!" pintaku.
"Bertahanlah, Putri!" katanya padaku.
Sigmund meletakkan satu tangan di ambang jendela, dan mengulurkan tangan yang lain ke arahku.
"Ulurkan tanganmu, Putri!" suruhnya.
"Aku tidak bisa. Aku takut," ucapku dengan air mata yang mengalir di wajahku.
"Tidak apa-apa, Putri. Jangan takut! Pegang tanaman merambat itu dengan satu tangan, dan ulurkan tanganmu yang lain padaku! Ayo, kamu pasti bisa melakukan ini," dia menyemangati aku.
Tangan kananku terus mencengkeram tanaman merambat sementara aku mengulurkan tangan kiriku ke arah Sigmund. Tapi sebelum aku bisa meraih tangannya, tanaman merambat itu tiba-tiba terputus, dan akibatnya, aku jatuh dengan bebas ke tanah.
"Mirabelle!" Teriakan Sigmund adalah hal terakhir yang kudengar sebelum semuanya menjadi gelap.