Chapter 66 - Bab 65

Pangeran Maximilian memberiku tur di istana ini. Dia menunjukkan padaku ke banyak tempat, seperti: kamar tidur keluarga kerajaan, ruang singgasana, ruang pertemuan, ruang kerja raja, perpustakaan, dapur, ruang makan, kamar para penjaga dan pelayan, kamar tidur tamu, dan garasi tempat puluhan mobil berbaris.

Aku mencoba membuat peta di otakku dari tempat-tempat yang telah kami lewati sehingga aku bisa menggunakannya ketika aku ingin melarikan diri nanti. Dan mungkin aku bisa mencuri salah satu mobil di garasi untuk menolongku pergi dari sini.

Istana ini ternyata lebih besar dari yang pernah aku pikirkan. Kakiku sakit setelah berjalan di sekitar istana selama berjam-jam. Untungnya, kami mengakhiri tur kami di taman di halaman belakang istana. Jadi aku bisa mencelupkan kakiku yang sakit ke dalam air kolam. Air dingin sangat membantu menenangkan otot-ototku yang lelah.

Taman ini mengingatkan kembali pada malam pesta pertunanganku dan Maximiliani di mana aku bertemu Ivan dan kemudian dia membawaku ke sini. Aku ingat, pada waktu itu, Ivan memberitahu aku tentang ibuku dan kegemarannya berkebun.

"Maxim, benarkah ibuku yang menanam semua bunga di taman ini?" tanyaku penasaran.

"Betul. Claribelle sangat menyukai bunga. Itulah sebabnya Raja Bellamy memutuskan untuk membangun taman ini untuknya. Claribelle sangat senang mengetahui hal itu. Dia memilih semua bunga yang akan ditanam di taman ini sendirian. Dan dia bahkan membantu para tukang kebun menanam bunga-bunga itu," Maximilian menjelaskan.

Aku mengangguk tanda mengerti.

"Tunggu! Bagaimana kamu bisa tahu tentang itu?" Maximilian bertanya dengan heran.

"Ivan memberitahuku tentang itu," jawabku.

"Siapa Ivan?" Pertanyaannya membuat aku menyadari kesalahan yang baru saja aku buat.

"Dia ... Hmm ... dia salah satu penjaga di sini," aku berbohong. Meskipun aku tahu itu mungkin tidak berguna karena Maximilian bisa membaca pikiranku.

"Aku tidak tahu ada penjaga yang bernama Ivan di sini," kata Maximilian dengan curiga.

"Ada banyak penjaga di istana ini sehingga kamu tidak akan tahu semua nama mereka," aku beralasan.

Maximilian terus menatapku untuk waktu yang lama, sampai akhirnya dia berbicara, "Aku tahu kau berbohong, Rosanne, tapi aku tidak mengerti mengapa."

Aku tahu itu. Aku tidak akan pernah bisa berbohong kepada seorang pembaca pikiran. Tetapi apapun yang terjadi, aku tidak bisa memberitahu Maximilian bahwa Ivan yang aku bicarakan kebetulan adalah manusia serigala yang sama yang telah menculikku.

"Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu, oke? Ivan hanyalah seorang pria yang aku temui beberapa hari yang lalu. Dan dia kebetulan mengenal ibuku. Itulah mengapa aku bisa tahu tentang sejarah taman ini," aku menjelaskan.

"Jika dia bukan penjaga, lalu siapa dia sebenarnya?" Maximilian bertanya, "Karena aku tahu pasti bahwa Claribelle tidak punya teman yang bernama Ivan."

"Dia bukan siapa-siapa," jawabku, "Anggap saja aku tidak pernah menyebut namanya kepadamu, oke?"

"Aku yakin kamu tahu siapa dia. Tapi mengapa kamu mencoba melindungi pria yang bernama Ivan ini?" tanyanya.

Aku mengangkat bahu. "Mungkin karena aku menyukainya?"

"Kamu tunanganku. Kamu tidak boleh menyukai pria lain selain aku. Apakah kamu mengerti, Rosanne?" Maximilian menggeram.

Aku mengangkat tangan. "Tenang, Maxim! Aku hanya bercanda."

Maximilian mengambil napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya.

Sebelum dia bisa meledak dengan amarah lagi, aku memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan kami. "Aku lelah. Bisakah kau membawaku ke kamar sekarang, Maxim?" Aku bahkan pura-pura menguap agar aktingku terlihat lebih meyakinkan.

Maximilian menghela nafas. "Maafkan aku, Rosanne. Aku tidak bermaksud membentakmu seperti itu."

"Tidak apa-apa, Maxim. Kamu dimaafkan," ucapku sambil tersenyum.

"Dengar! Aku mengerti jika kamu tidak ingin memberitahuku siapa Ivan saat ini. Tapi kau tahu, cepat atau lambat pada akhirnya aku pasti akan menemukan jawabnya sendiri," ujar Maximilian.

Aku menelan ludah. Dia benar. Tidak diragukan lagi bahwa cepat atau lambat, Maximilian akhirnya akan dapat mengetahui siapa Ivan. Tapi aku tidak bisa memberitahu dia sebelum aku pergi dari sini.

Aku menarik kakiku dari air dan berdiri. "Tidak bisakah kita masuk saja sekarang? Sudah mulai dingin di sini."

Maximilian bangkit dan mengulurkan tangannya padaku. "Tentu. Ayo kita pergi!"

Aku tersenyum sambil meraih tangannya. Akhirnya, kami berjalan masuk dan langsung menuju kamarku.

"Oke, kurasa cukup sampai di sini saja mengantarnya," kataku saat kami mencapai kamar.

Para penjaga yang mengikutiku ke kamar Maximilian tadi malam telah kembali ke sini juga.

"Baik. Selamat malam, Rosanne," ucap Maximilian.

"Selamat malam, Maxim," balasku.

Aku melambaikan tangan kepada Maximilian ketika dia mulai berjalan pergi dan dia balas melambai padaku.

Setelah Pangeran Maximilian tidak terlihat, salah satu penjaga membukakan pintu untukku, dan aku masuk.

Sigmund rupanya sudah menungguku di dalam kamar. Dia tampak sangat marah. Tetapi aku tidak melihat Jasper di sini.

"Apakah kamu tahu apa yang telah dilakukan pengawal tunanganmu kepadamu, Putri?" Sigmund mulai mengeluh dengan marah, "Dia menteleport aku ke sebuah kota yang jaraknya lima jam dari sini, dan dia meninggalkan aku di sana sendirian. Jadi aku harus lari untuk kembali ke istana."

Aku menahan tawa setelah mendengar apa yang telah dilakukan Jasper padanya. Kupikir Sigmund pantas mendapatkannya karena dia sangat menjengkelkan.

"Bisakah kamu bayangkan betapa lelahnya aku untuk berlari pulang? Untungnya aku vampir. Jika aku manusia, pasti aku sudah mati kelelahan sekarang," lanjutnya.

"Itu bukan salahku. Aku tidak pernah meminta Jasper untuk melakukannya kepada kamu, tetapi Maximilian yang memintanya," kataku.

"Tapi ini juga sebagian salahmu," dia bersikeras.

Aku tidak ingin berdebat dengannya. Jadi aku lebih memilih merangkak ke atas tempat tidur.

"Ini sudah sangat malam. Jadi bisakah kita membicarakannya besok? Aku ingin tidur sekarang," dalihku.

Dia menghela nafas panjang. "Baik. Tapi jangan berpikir kamu bisa lolos begitu saja!"

"Ya, ya," aku bergumam sembari memunggungi dia dan menarik selimut menutupi kepalaku.

"Selamat malam, Sigmund. Tidur nyenyak," ucapku.

Tanpa menunggu tanggapannya, aku memejamkan mata dan bergegas tidur.