Maura duduk di bangku panjang di depan ruang operasi. Kedua matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat.
Hati Maura sangat hancur saat mendengar kabar dari seorang polisi muda yang bernama Desta.
"Bagaimana ini bisa terjadi? bagaimana ini bisa terjadi padamu Gibran? seandainya sesuatu terjadi padamu, aku akan ikut bersamamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu." ucap Maura di sela-sela isak tangisnya.
"Maura, apa yang kamu katakan! kenapa kamu bicara seperti itu! ingat Fira dengan Aldo! mereka masih kecil, dan mereka masih membutuhkanmu Maura." ucap Helen Ibunya Gibran dengan tatapan kecewa.
"Ibu... maafkan aku, tapi aku tidak bisa hidup tanpa Gibran. Aku sangat mencintai Gibran Bu." ucap Maura yang begitu mencintai sangat mencintai Gibran. Karena terlalu cintanya, ruang gerak Gibran sangat sempit sekali. Setiap pergi tanpa mengajak Maura, kecurigaan selalu menyelimuti hati Maura. Dan itu selalu membawa pertengkaran di setiap Gibran pulang. Karena kesabaran Gibran yang luar biasa, pertengkaran itu tidak menjadi pertengkaran besar atau berlarut-larut.
Gibran seorang laki-laki yang sangat tampan yang menjadi rebutan sebelum menikahi dengan Maura. Apalagi dengan statusnya sebagai Dokter dan seorang Dosen di Universitas yang sangat terkenal di kotanya.
"Maura, kamu harus yakin Gibran akan baik-baik saja." ucap Helen sambil mengusap bahu Maura yang keras kepala dan pencemburu.
"Ya Bu, semoga Gibran baik-baik saja." ucap Maura sambil mengangkat wajahnya melihat pintu ruang operasi yang masih belum terbuka.
Sesaat kemudian, Maura dan Helen melihat ke arah pintu saat mendengar bunyi pintu terbuka.
"Ceklek"
Tampak seorang Dokter keluar dari pintu sambil melepas maskernya.
Segera Maura dan Helen datang menghampiri Dokter tersebut.
"Dokter... Dokter bagaimana dengan keadaan suami saya? apa suami saya baik-baik saja? dan sudah melewati masa kritisnya?" tanya Maura dengan dada terasa sesak.
"Kamu harus tenang Maura, Gibran sudah melewati masa kritisnya. Operasi Gibran berjalan dengan lancar. Tapi tetap harus di ingat dengan kesehatan Gibran, terutama dengan satu ginjalnya yang tidak cukup baik." ucap Dokter Anaz sahabat Gibran sangat tahu betul siapa Gibran. Seorang pekerja keras tanpa ingat waktu.
"Ya Dokter, aku akan terus menjaga kesehatan Gibran." ucap Maura bernapas lega setelah mendengar suaminya melewati masa kritisnya.
"Baiklah Maura, kita tunggu dulu perkembangan Gibran satu sampai dua jam. Kalau dalam waktu dua jam Gibran tidak mengalami masalah, Gibran akan segera kita pindahkan ke kamar inap." ucap Dokter Anaz dengan serius.
"Terima kasih Dokter." ucap Maura tersenyum sedih.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu, sambil menunggu Gibran di pindahkan ke kamar inap." ucap Dokter Anaz seraya mengusap bahu Maura kemudian kembali masuk ke dalam ruang operasi.
Maura menghela nafas panjang, menatap Helen yang sedang duduk di bangku panjang dengan wajah terlihat lelah dan sedih.
Dengan langkah berat, Maura mendekati Helen dan duduk disampingnya.
"Mama, sebaiknya Mama pulang dan istirahat. Aku akan menghubungi Pak Darto untuk mengantar Mama pulang. Wajah Mama terlihat sangat lelah dan pucat." ucap Maura seraya menggenggam tangan Helen.
"Bagaimana aku bisa istirahat di rumah, kalau anakku disini masih dalam keadaan sakit parah? Biarkan aku di sini Maura, aku akan menjaga Gibran sampai Gibran baik-baik saja." ucap Helen sambil mengusap wajahnya yang sembab.
"Mama, tapi keadaan Mama tidak sehat saat ini. Bagaimana kalau Mama sakit lagi?" ucap Maura seraya menekan pelipisnya melihat Helen yang keras kepala.
"Baiklah, aku akan pulang...tapi kamu harus menghubungi aku kalau Gibran sudah sadar. Aku akan menjaga anakku." ucap Helen akhirnya mengalah untuk beristirahat di rumah.
Mendengar ucapan Helen segera Maura menghubungi Pak Darto untuk menjemput Mama mertuanya.
"Aku antar ke depan Ma. Aku sudah menghubungi Pak Darto untuk menunggu Mama di depan rumah sakit." ucap Maura seraya membantu Helen berdiri.
Helen adalah orang tua tunggal Gibran. Sejak kecil Gibran sudah di tinggalkan Papanya karena sebuah kecelakaan. Sedangkan dirinya sendiri sangat jauh dari orang tuanya, karena orang tuanya tinggal di luar negeri tepatnya di negeri Jiran.
Setelah memastikan Mama mertuanya pulang dengan Pak Darto, Maura kembali ke tempat Gibran.
Melihat Gibran di bawa keluar oleh beberapa perawat dari ruang operasi segera mengikuti Gibran dengan berjalan di sampingnya.
"Nyonya, sesuai perintah Dokter Anaz pasien akan kami pindahkan di kamar inap VIP." ucap salah satu perawat yang mendorong brankar.
Maura menganggukkan kepalanya, karena dialah yang meminta Gibran di pindahkan ke kamar VIP.
Setelah memindahkan Gibran dan memastikan keadaan Gibran baik-baik saja. Beberapa perawat tersebut segera meninggalkan Maura yang sendirian di dalam kamar.
Dengan hati sedih, Maura mengambil kursi dan duduk di samping Gibran.
Wajah Gibran terlihat pucat, kedua matanya terpejam rapat nafasnya begitu berat terdengar.
"Gibran, kenapa ini harus terjadi padamu? aku sudah bilang padamu bukan? jangan pergi, di luar sedang hujan deras. Tapi kamu tidak menghiraukan apa yang aku katakan. Kamu tetap saja berangkat mengajar." ucap Maura sangat menyesal tidak bisa menghentikan suaminya.
"Lihatlah Gibran, bagaimana keadaanmu sekarang? seandainya kamu mendengarkan aku semua ini tidak akan terjadi." ucap Maura lagi seraya mengusap pelan punggung tangan Gibran.
Airmata Maura mengalir deras, tidak sanggup lagi menahan kesedihannya.
"Ya Tuhan, ujian apa ini? anak-anakku masih kecil. Dan apa yang terjadi sekarang? semoga semua baik-baik saja." ucap Maura seraya mengusap airmatanya yang masih menetes di pipinya.
"Drrtt... Drrrt... Drrrt"
Ponsel Maura berbunyi, dengan cepat Maura menerimanya.
"Hallo." ucap Maura saat mengetahui tidak ada nama di layar ponselnya.
"Selamat pagi Nyonya Maura, saya Desta dari kepolisian. Sehubungan dengan kecelakaan Dokter Gibran kemarin, mohon kedatangannya untuk bisa mengambil barang-barang yang kami temukan di mobil Dokter Gibran." ucap Desta ingin menyelesaikan masalahnya dengan cepat.
"Baiklah Pak Desta, saya akan ke sana. Tapi tidak bisa pagi ini. Mungkin agak siang saya kesana." ucap Maura dengan suara pelan.
"Baik Nyonya, saya akan menunggu kedatangan Nyonya." ucap Desta kemudian menutup panggilannya.
Sambil menghela nafas panjang, Maura kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
"Apa aku harus kesana? atau aku biarkan dulu sampai Gibran sembuh?" tanya Maura yang tidak bisa meninggalkan anak-anaknya selama masih di rumah.
Maura terdiam, tidak bisa berpikir dengan baik. Yang Maura tahu, saat ini dia tidak bisa meninggalkan Gibran dalam keadaan masih terbaring di rumah sakit.
"Gibran, cepatlah sadar. Aku tidak bisa mengatasi ini semua tanpa dirimu. Hidupku sudah tergantung padamu Gibran. Aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada dirimu." ucap Maura menangis sedih seraya menatap wajah Gibran yang masih terpejam rapat.