Anindya berada di dalam kamar duduk termenung di tempat tidurnya. Sambil memegang sebuah foto Rayhan di tangannya Anindya mengusap airmata yang sudah mengalir di kedua pipinya.
Wajah Anindya terlihat pucat dengan dua kantung mata yang hitam di kedua matanya.
"Tok...Tok...Tok"
Pintu kamar Anindya terketuk dari luar. Anindya hanya bisa terdiam di tempatnya tanpa ada niat untuk bergerak dari tempatnya.
Tidak lama kemudian pintu itu terbuka, Anindya menoleh dan melihat Aditya menghampirinya.
"Anin... kamu jangan bersedih terus seperti ini. Biarkan Rayhan pergi dengan tenang." ucap Aditya setelah duduk di samping Anindya.
"Bagaimana aku bisa tenang Aditya? disaat aku akan bertunangan dengan Rayhan. Rayhan harus meninggalkan aku selamanya." ucap Anindya dengan suara lirih.
"Semua yang terjadi sudah takdir Anin. Dan kamu harus ikhlas dengan takdir ini." ucap Aditya seraya memberikan bingkisan pada Anindya.
"Apa ini Dit?" tanya Anindya dengan kening berkerut memegang tas plastik di tangannya.
"Itu barang-barang Reyhan yang ditemukan Desta di dalam mobilnya. Kalau kamu ingin tahu bukalah. Ada cincin yang sudah disiapkan Reyhan untuk acara pertunangan kalian." ucap Aditya menatap penuh wajah Anindya.
"Aku tidak ingin melihatnya sekarang Dit. Aku akan semakin sedih kalau melihat semua itu. Dengan kepergian Rayhan aku sudah tidak tahu apa yang harus aku lakukan." ucap Anindya seraya mengusap air mata yang sudah mengalir di pipinya.
Aditya menahan nafasnya merasa sesak melihat keadaan Anindya yang tidak punya semangat hidup sejak kematian Rayhan.
"Anin, kamu harus sabar dan kuat. Jangan seperti ini terus." ucap Aditya meraih punggung Anindya dan memeluknya dengan erat.
"Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan tanpa Rayhan." ucap Anindya menangis tersedu-sedu dalam pelukan Aditya.
Aditya tidak bisa berkata apa-apa lagi selain hanya bisa memeluk Anindya yang menangis dalam pelukannya.
Setelah cukup lama membiarkan Anindya menangis, Aditya membaringkan Anindya agar bisa istirahat dan menenangkan hatinya.
"Istirahatlah Anin, tenangkan hati kamu. Dengan kamu istirahat hati kamu bisa tenang. Nanti siang jangan lupa kamu harus ke kantor polisi untuk mendengarkan berita acara tentang kejadian kecelakaan Rayhan." ucap Aditya seraya membelai rambut Anindya.
"Apa harus aku yang datang Dit? saat ini aku tidak ingin mendengar apa pun tentang kejadian yang menimpa Rayhan. Aku tidak akan kuat mendengarnya." ucap Anindya dengan tatapan sedih.
"Kamu harus datang, jangan sampai menjadi sebuah penyesalan buatmu nanti. Kuatkan hatimu demi ketenangan Rayhan." ucap Aditya seraya menggenggam tangan Anindya dengan penuh rasa sayang.
Tanpa menjawab ucapan Aditya, Anindya menenggelamkan kesedihannya di balik bantal.
Aditya mengambil nafas panjang kemudian keluar kamar.
Di ruang tengah Aditya melihat orang tuanya sedang duduk terdiam dengan wajah masih terlihat shock dan sedih.
"Bagaimana Anin, Dit? apa dia masih menangis terus?" tanya Kartika Ibunya Aditya dan Anindya.
"Masih sedih dan menangis. Aku sudah berusaha menenangkan hatinya tapi sepertinya Anin tidak bisa menghilangkan rasa kesedihannya." ucap Aditya menyadari apa yang Anindya rasakan.
"Memang ujian ini sangat berat untuk Anin. Bukan hanya Anin saja, keluarga Rayhan pasti sangat sedih dengan kejadian ini. Apalagi Rayhan putra satu-satunya." ucap Kartika dengan perasaan sedih.
"Sebaiknya temani Anin, Tika. Saat ini dia sangat membutuhkan seseorang yang bisa menenangkan hatinya." ucap Pramono, Ayahnya Anindya dan Aditya.
"Baiklah, aku akan temani Anin." ucap Kartika membenarkan ucapan suaminya.
"Tapi sepertinya Anin lagi tidur Bu." ucap Aditya memberitahu Ibunya.
"Tidak apa-apa biar aku temani Anin tidur saja." ucap Kartika seraya bangun dari duduknya.
"Ibu, nanti siang jam satu tolong Anin di bangunkan. Dia harus ke kantor polisi untuk mendengarkan berita acara dari Pak Desta." ucap Aditya mengingatkan Ibunya tentang panggilan Desta untuk Anindya.
Kartika menganggukkan kepalanya kemudian beranjak pergi ke kamar Anindya.
Pramono menghela nafas panjang ikut terbawa kesedihan yang menimpa calon menantunya.
"Aditya, Ayah minta padamu mulai saat ini kamu harus lebih menjaga adik kamu. Jangan sampai Anin merasa sendiri dengan rasa kesedihannya itu." ucap Pramono dengan wajah serius.
Aditya menganggukkan kepalanya, mengiyakan ucapan Ayahnya untuk menjaga Anindya sementara waktu.
Sebelum kejadian kecelakaan yang menimpa Rayhan. Aditya tinggal di kota lain karena jabatannya sebagai CEO di perusahaan cabang yang baru mengharuskan dia tinggal di sana.
"Kalau kamu cuti beberapa hari tidak akan mengganggu pekerjaan kamu kan Dit?" tanya Pramono dengan wajah serius.
"Ayah jangan kuatir, untuk sementara aku masih bisa handle pekerjaanku walau aku ada di sini." ucap Aditya tidak ingin orang tuanya menjadi cemas karena keadaan Anindya yang masih belum bisa menerima kematian Rayhan.
"Syukurlah, Ayah merasa lega sekarang. Semoga saja Anindya segera bisa menerima kenyataan yang ada." ucap Pramono tidak ingin terjadi sesuatu pada Anindya.
"Baiklah Ayah, aku mau pergi sebentar. Nanti siang biar aku yang mengantar Anin ke kantor polisi." ucap Aditya seraya bangun dari duduknya.
"Hati-hati di jalan Dit." ucap Pramono selalu mengingatkan Aditya setiap kali akan pergi keluar.
Aditya menganggukkan kepalanya kemudian berjalan keluar rumah menemui salah satu temannya yang dulu pernah dekat Anindya.
Aditya berniat meminta bantuan Azell untuk menemani Anindya di saat dia harus kembali bekerja.
****
Di rumah sakit....
Maura masih menunggu Gibran sadar setelah pasca operasinya. Sudah hampir beberapa jam Gibran masih belum sadar juga dan itu sangat membuatnya merasa cemas.
"Gibran, apa yang terjadi padamu? kenapa sampai sekarang kamu masih belum sadar?" tanya Maura sambil menggenggam tangan Gibran.
"Sadarlah Gibran, buka matamu. Apa kamu tidak ingin melihat anak-anak kamu. Mereka sangat menyayangi kamu, aku juga sangat menyayangi kamu walau aku tahu selalu membuat kamu merasa tertekan. Aku seperti itu karena sangat mencintai kamu. Aku tidak bisa melihat wanita-wanita yang selalu mengejarmu." ucap Maura yang punya perasaan cemburu dan prasangka buruk setiap Gibran tidak berada di rumah.
Sambil mengusap air matanya Maura menatap wajah tampan Gibran yang terlihat pucat.
Maura menegakkan punggungnya saat merasakan jari-jari Gibran bergerak seiring terdengar suara Gibran memanggil nama seseorang.
"Anin...Anin...Anin." panggil Gibran memanggil sebuah nama yang tidak pernah di kenal Maura apalagi Gibran memanggil nama itu berulang-ulang.
"Gibran, buka matamu Gibran? siapa Anin Gibran?" tanya Maura dengan tanda tanya besar di dalam hatinya. Siapa Anin yang di sebut Gibran secara terus menerus.
Perlahan Gibran membuka matanya dan melihat Maura dengan tatapan tak berkedip apalagi Maura dalam keadaan menggenggam tangannya.
Dengan pelan Gibran melepas tangannya dari genggaman tangan Maura.
"Siapa kamu? kenapa kamu ada di sini? di mana Anin? dan kenapa aku ada di sini?" tanya Gibran seraya melihat ke sekeliling kamar yang serba putih.