Kaito
"Senpai? apa kau masih di situ?", Suara yang sudah lama tidak masuk dari kedua lubang telinga ku ini.
Apa ini mimpi aneh itu lagi?
Aku merasa berada di padang rumput yang sangat indah. Tentu saja dengan gadis kelas satu SMP bernama Ame. Seperti nya tinggi ku jauh di atas nya. Ini adalah tubuh ku yang sekarang.
"Nee ... Senpai masih ingat aku?", Tanya Ame sembari menarik lengan seragam ku berulang ulang seperti biasa nya.
"Tentu ... mana mungkin aku bisa melupakan mu? ... Hujan di musim panas", ucap ku dengan sedikit senyum.
"Hehe ... julukan aneh apaan itu?!", ujar Ame dengan senyuman yang sangat ku rindukan itu.
"Dan juga ... Ame ... kenapa kau ...",
"Selalu muncul di mimpi mu?", Sela Ame dengan wajah imut nya itu.
Rambut pirang sebahu nya yang tertiup angin itu mirip bahkan sangat mirip seperti milik Ai. Dan juga senyuman nya itu seperti milik Ai.
Kenapa mereka sangat mirip?!
"Ano ... sebenar nya ... aku ingin mengatakan ini sewaktu aku hidup tapi ...", wajah yang penuh senyum itu seakan ditelan angin yang melewati kami berdua.
Aku tak tahu lagi apa yang membuat ku selalu memimpikan nya. Seperti nya saat ini lah saat nya aku mengetahui nya. Setelah aku mengetahui nya mungkin aku tak akan pernah melihat Ame selama nya.
Aku siap dengan segala kemungkinan terburuk nya ...
"Ai adalah kakak ku!", seru Ame di tengah padang rumput yang luas ini.
A-apa?!
"Dan ... dia akan segera ...", Ame membalikkan badan nya dan melihat ku dengan air mata yang mengalir di pipi nya.
"Se-segera?! a-apa maksud mu?!", aku merasa sangat takut, aku takut kehilangan nya lagi.
Ini bukan mimpi, pasti bukan mimpi. Jiwa Ame masih ada di hati ku, dia hidup di sini. Tapi kalau begitu, semua yang dia katakan memang benar benar terjadi.
Aku bohong!!!!
Aku belum siap dengan kemungkinan terburuk nya!!!
"Kakak ku akan segera menyusul ku ...", Ame tersungkur di atas rumput yang indah itu.
Kata kata nya itu sungguh membuat hati ku hancur. Aku mengepalkan tangan ku dengan kuat.
"Kenapa?! kenapa?!! ... apa kalian ingin membunuh ku secara perlahan lahan?!!!", aku tak lagi bisa mengendalikan emosi ku yang sangat aneh ini.
"Bukan ..."
"Tapi!!! kehilangan mu saja membuat ku hampir bunuh diri!!!", aku merasakan air mata mulai berkumpul.
Hati ku juga sesak dan panas. Aku tak bisa bernafas dengan lancar. Aku tak bisa berpikir dengan logika ku. Hati ku terus mengambil alih tubuh ku.
"Kenapa Ai juga akan mati!!! ... apa Tuhan sudah membenci ku?!!", aku mulai mengeluarkan air mata yang tak lagi tertahan.
"Tidak!!", Ame kembali berdiri.
"Lalu?!! jika aku memang harus mati!? kenapa Tuhan selalu mengambil sesuatu yang berharga dari ku?!!",
"Pertama kau, sekarang Ai ... kenapa tidak aku saja yang mati?!!!"
"Katakan saja kepada Tuhan!!! ... aku bersedia menukar nyawa ku dengan Ai ... aku mohon ...", aku tak peduli lagi, aku mengeluarkan semua isi hati ku.
Air mata ku menetes ke rumput hijau yang ju pijak ini. Aku masih bisa merasakan bau embun di pagi hari. Suasana yang sangat indah. Tapi aku tak dapat menikmati semua itu.
"Senpai? ... kau sudah berubah ...", kata kata Ame yang menghentikan tetesan air mata ku.
"Apa kau lupa? ... sebelum bertemu dengan ku kau selalu murung karena kalah di lomba nulis novel kan?", Ame melangkah kan kaki nya sekali mendekat ke arah ku.
"Kau tau? novel mu itu mempunyai sihir yang sangat hebat!!", puji Ame dengan senyuman manis nya itu.
Sihir apanya?!!
"Aku yang putus asa karena harus mengetahui kapan aku harus mati ini ... aku malah ingin mengembalikan senyuman mu", Ame sekali lagi melangkah mendekat pada ku.
"Aku ... aku berhasil! ... melihat mu tertawa karena candaan ku di perpustakaan kota saat itu aku sudah cukup senang", lagi lagi ia melangkah ke arah ku, dengan kata kata yang menusuk hati ku itu.
Aku juga senang asal kau tau ...
"Maaf ... aku harus menyerahkan sisa novel itu pada mu ... tapi senang rasa nya kita menang", sekali lagi ia melangkah kan kaki nya itu dan semakin dekat Ame pada ku.
Aku sama sekali tak keberatan ...
Walau kau membebankan semua hal yang ada di dunia ini untuk ku ...
"Aku tau ... kau pasti akan kembali murung saat aku pergi ... jadi ... aku menyerahkan diri mu ke kakak ...", air mata Ame kembali menetes saat berbicara tentang Ai.