Arsha ingin membuang pandangannya tapi lehernya seolah kaku. Dia sangat tidak siap untuk kembali bertemu dengan wanita itu, nasib sial pun sepertinya tengah menimpa Arsha. Karena tepat saat Arsha ingin memundurkan kursi rodanya, ban roda tersebut menabrak kursi panjang yang ada di belakang Arsha, hal itu membuat wanita yang Arsha hindari menoleh ke arahnya.
Menutup mata guna menahan seluruh emosi yang bergejolak, menarik nafas agar pikirannya tetap tenang, barulah Arsha membuka matanya. Hal yang pertama dia lihat adalah wanita itu yang berjalan ke arahnya.
Jarak mereka yang sangat dekat, belum lagi wanita itu menunduk untuk mensejajarkan tinggi mereka. Arsha dapat melihat wajah yang sudah tidak lagi muda itu dengan sangat dekat, ada rasa rindu yang teramat. Tapi rasa itu kalah oleh amarah yang sangat menguasai dirinya.
"Kita bertemu lagi, padahal saya sangat berharap untuk tidak melihat muka kamu. Tapi tidak papa, karena mungkin ini pertemuan kita yang terakhir."
Dada Arsha berdebar, walaupun amarah sempat menguasainya, ada rasa tidak rela saat kalimat itu meluncur dari bibir mamanya.
"Saya yakin di kepala kamu ada banyak sekali pertanyaan untuk saya," Arsha yakin dia tidak salah lihat, barusan mamanya mengeluarkan senyum kecut. Tapi kenapa?
"Kenapa diam?"
"Kenapa mama ngelakuin semua ini?"
Kali ini senyum miring lah yang tercetak jelas di birai merah milik mama. Dan Arsha tidak sanggup untuk melihatnya.
"Arsha Arsha. Kamu terlalu naif dan polos untuk mengetahui dunia ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak semua laki-laki itu baik, mereka hanya ingin memanfaatkan sisi lemah perempuan. Dan setelahnya kamu akan ditinggalkan. Sebelum semua yang saya alami terjadi sama kamu, persiapkan diri kamu baik-baik. Oiya, salam buat adik kamu ya. Saya harus pergi soalnya."
Mamanya sempat memberi tepukan dua kali di pundak kanannya, entah apa maksudnya yang pasti ucapan sang mana begitu mengusik pikirannya. Dan membuatnya sangat penasaran apa yang tidak ia ketahui selama ini?
"Ini lontong sama buburnya," Arka yang tiba-tiba muncul langsung menaruh kantong plastik berisikan pesanan Arsha ke atas pangkuan wanita itu.
"Kita ke kamar ya, kamu harus sarapan dan minum vitamin nya. Pulang dari sini kita mampir ke supermarket buat beli keperluan kamu."
Arsha hanya mengangguk, dia tidak benar-benar mendengar semua ucapan suaminya, karena sekarang pikirannya sudah di penuhi oleh kalimat-kalimat dari sang mama.
Satu hal yang Arsha tidak tau adalah Arka yang tadi mendengar semua obrolan mereka.
Arsha membuka pintu ruangannya dengan pelan, lalu mendorong kursi roda Arsha perlahan ke arah brangkar pasien. Menggendong Arsha dengan pelan untuk dia duduklah di atas ranjang. Walaupun lengan dan kakinya masih terasa sedikit nyeri, tapi dia merasa kuat kalau hanya untuk menggendong Arsha.
"Mau lontong atau bubur dulu yang?"
"Bubur."
Arka langsung membuka sterofom bubur dan dengan sigap menyuapi Arsha. Memastikan istrinya makan dengan benar dan habis.
"Minum," entah mengapa suara Arsha terdengar manja di telinga Arka. Bukannya geli, tapi Arka sangat menyukainya.
"Udah kenyang mas."
"Tapi ini belum habis, lontong nya juga belum dimakan loh yang."
Arsha menggeleng. "Udah nggak muat perutnya mas," kini Arsha benar-benar merengek.
"Kasian anak kita, mama nya bandel padahal anaknya masih lapar."
Arsha tidak menjawab, dia malah membenamkan wajahnya ke dada Arka untuk menghindari sendok plastik yang berisi bubur.
"Ck, yaudah langsung minum vitamin aja kalau gitu."
Sontak saja Arsha langsung menarik wajahnya, menunggu Arka yang dengan sigap menyiapkan segalanya.
Sebenarnya Arsha enggan meminum semua itu, tapi melihat tatapan mengancam yang di layangkan Arka membuat Arsha hanya bisa pasrah.
"Mas nggak sarapan juga. Biar cepet sehat, biar bisa pulang. Aku nggak betah di sini."
"Iya, tapi kamu yang suapin ya."
Arsha mengangguk, selama menyuapi Arka pria itu lebih sulit di suap di banding dirinya. Sebab selama ia makan tangan Arka selalu mengusap perut ratanya, sesekali juga menyapa janin yang ada di dalam kandungannya kini.
"Kira-kira anak kita cewek atau cowok ya yang? mirip aku atau kamu?"
"Terserah mau cewek atau cowok yang penting sehat."
Arka mengangguki ucapan istrinya, mulutnya kembali terbuka menerima suapan yang kesekian dari Arsha.
"Mas, tadi aku ketemu mama."
Arsha sudah terbiasa menceritakan apapun kepada suaminya, jadi dia tidak bisa menahan apa yang sedang dia rasakan kini.
"Dua hari yang lalu juga, aku bingung mas. Mama tadi bilang dia berharap ini pertemuan terakhir kami. Padahal ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Aku juga pengen peluk mama mas, aku harus gimana?"
Air mata Arsha sudah meluncur, Arka langsung saja menarik wanita hamil itu kedalam pelukannya. Tidak ada kata yang terucap karena dia pun bingung untuk mengatakan apa. Hanya usapan lembut yang dapat ia berikan untuk menenangkan Arsha.
"Sstt, udah ya. Nanti kita usaha untuk ketemu mama lagi, kamu bisa peluk beliau nanti," suara Arka terdengar ragu.
"Jangan bagus yang, nanti anak kita juga ikutan sedih," Arka melepas pelukan mereka dan menghapus air mata yang mengenang di pelupuk istrinya.
****
Seminggu sudah mereka di rumah sakit dan hari ini adalah hari kepulangan mereka, Arsha benar-benar semangat, dia sudah sangat merindukan rumah.
"Pak kita mampir ke supermarket dulu ya."
"Iya den."
Dengan sigap pak Hadi memutar kemudi dan berhenti di pelataran parkir supermarket.
"Kita sekalian beli barang-barang yang udah habis dirumah ya mas," ujar Arsha yang di balas anggukan oleh Arka.
"Kok rasa banyak banget, aku cuma sukanya rasa coklat mas."
"Nggak papa, takutnya nanti nggak cocok jadi bisa langsung tukar."
"Terserah deh. Kita langsung ke bahan-bahan makanan aja mas."
Arka mengikuti Arsha dari belakang, melihat istrinya itu yang sangat serius mengamati setiap benda yang dia pegang. Entah apa yang Arsha lalukakan tapi Arka tetap sabar menunggunya.
"Kamu ada yang mau di beli mas?"
"Ada sih, tapi nanti aja deh. Kamu udah siap?"
"Udah tinggal kekasir aja, kamu yakin nggak ada yang mau di beli?"
"Iya, yaudah ayo."
*******
Batam, 22 Juni 20.