"Kamu menghindar dari aku, ngebuat semuanya makin rumit Arsha," ujar Arka.
Saat ini kedua insan itu kembali duduk bersama, bedanya kalau tadi sore mereka duduk ditaman belakang, kini kedua anak manusia itu duduk berhadapan di tikar berbulu yang ada diruang keluarga rumah itu.
"Aku tau perkara nikah bukan soal gampang, tapi umur aku udah nggak muda lagi kalau buat pacaran ala anak abg," ungkap Arka.
Arsha yang mendengar kalimat itu rasanya ingin tertawa, yah, memang Arka sudah tidak muda lagi laki-laki itu setau Arsha sudah berumur 27 tahun.
Menurutnya itu bukan angka yang kecil, tapi kalau mereka menikah umur mereka terpaut lumayan jauh.
Arsha saja kini masih berusia 21 tahun, ia merasa umur segitu belum pantas untuk diajak berumah tangga.
"Pak, saya rasa saya tidak pantas untuk menjadi pendamping...."
"Jadi menurut kamu perempuan yang pantas untuk saya itu bagaimana Arsha?" Potong Arka.
Arka merasa egonya terusik, bagaimana bisa Arsha menilai siapa yang pantas dengannya. Apa Arsha tidak pernah berfikir kalau Arka sama sekali tidak memandang latar belakang gadis itu.
"Kalau kamu memang tidak ingin, saya tidak memaksa kamu untuk menikah dengan saya," ujar Arka, ia sudah mengganti kata 'aku' menjadi 'saya' kembali sebagai tanda bahwa egonya benar-benar terusik, setelahnya ia bangkit. Tanpa memandang kearah Arsha ia berlalu dari sana, menyisakan Arsha dengan perasaan bersalahnya.
Arsha tidak bermaksud untuk mengatakan siapa yang pantas, ia hanya ingin menyadarkan dirinya sendiri, bahwa Arka bisa mencari sosok perempuan sempurna. Tidak sepertinya, seorang asisten rumah tangga.
Dengan perasaan bersalahnya Arsha bangkit dari sana, ia berhenti di anak tangga bawah. Memandang ke atas, sebenarnya bukan ranah Arsha bagia atas rumah itu. Ia hanya diperbolehkan membersihkan lantai atas tiga kali dalam seminggu karna memang itu permintaan dari Arka langsung saat ia baru menginjakkan kakinya dirumah ini.
Huh, kenapa sekarang Arka yang marah? Bukannya tadi Arsha yang sedang marah?
Tak ingin berlama-lama disana, Arsha beranjak menuju kamarnya. Mungkin besok ia bisa meminta maaf kepada Arka atas perkataannya tadi.
*******
Matahari mulai menampakkan diri, menggantikan sang bulan untuk menyinari dunia.
Saat ini, Arsha sedang duduk di meja makan, menunggu Arka turun dari lantai atas.
Hampir satu jam Arsha menunggu, namun orang yang ditunggu tak kunjung menampakkan wujudnya.
"Neng Arsha ngapain disini, dari tadi bapak perhatiin neng nengok keatas terus. Nungguin siapa emang?"
Arsha menoleh kearah pak Yudi, ia hanya tersenyum menjawab pertanyaan pak Yudi.
"Neng Arsha nungguin pak Arka ya," tebak pria paruh baya itu.
"Kata siapa pak, en.. enggak kok," jawab Arsha cepat, membuat kecurigaan pak Yudi terhadap gadis itu semakin menjadi.
"Padahal udah keliatan banget kalo neng nungguin pak Arka."
"Pak Arka udah pergi dari tadi subuh neng," ucap pak Yudi.
"Masa sih pak?"
"Iya neng, katanya sih masa liburnya udah siap. Kayaknya udah lepas landas neng."
Pupus sudah harapan Arsha untuk minta maaf dengan pria itu.
"Emang kapan pak perginya, kok Arsha nggak tau?"
"Tadi, sekitar jam empatan lah non."
"Terus pulangnya kapan pak?"
"Kalau itu, bapak nggak tau neng."
Arsha menghela nafas berat. Ia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Neng Arsha ada masalah sama ya, pak Arka?"
"Nggak kok pak," jawab Arsha.
"Tadi, waktu pak Arka pamit, mukanya sama kayak neng Arsha."
Arsha mengernyitkan dahinya bingung.
"Maksud bapak?"
"Ya, kayak gitu. Kaya orang lagi ada masalah neng, kantong matanya aja sampe kelihatan."
"Masa sih pak?"
"Kok neng Arsha penasaran banget sama pak Arka,"
"Nggak kok pak, Arsha kan cuma nanyak. Yaudahlah Arsha mau beresin meja makan dulu."
Pak Yudi terkekeh melihat gelagat malu yang Arsha perlihatkan.
*********
Saat ini Arsha berada di pasar swalayan, karna bahan bulanan sudah habis. Jadi disinilah ia berada, memilih-milih bahan yang akan ia beli.
Arsha sama seperti ibu-ibu kebanyakan, memilih kebutuhan dapur dengan harga murah dan berkualitas bagus.
Setelah puas berbelanja sayuran, kini Arsha beralih kepedagang ikan dan daging.
"Pak, ikan ini berapa?" Tanya Arsha sambil menunjuk kearah ikan tongkol.
"Kalau ini, sekilo tiga puluh mbak."
"Dua lima lah pak," tawar Arsha, memulai aksi tawar menawarnya.
"Aduh nggak bisa dek, dua lapan lah."
"Dua enam lah pak, saya sekalian ambil ayamnya dua kilo."
"Yaudah deh, saya bersihin dulu ya dek."
"Ok, pak."
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, akhirnya Arsha memutuskan untuk pulang karna hari sudah beranjak sore.
*******
"Neng tadi adeknya neng Arsha nelpon," ucap pak Yudi saat Arsha baru menginjakkan kakinya kegerbang rumah Arka
"Oiya pak, Arsha lupa Bawak ponsel tadi. Terus Adek Arsha ngomong apa pak," tanyak Arsha penasaran.
"Cuma nanyak kabar neng, sama kapan neng pulang katanya."
Arsha menghela nafasnya, pasti adeknya kini sudah sudah rindu dengannya, semenjak ibunya memilih pria lain dan meninggalkan dia dengan sang adik, Arshalah yang menjadi tempat sandaran dan orang tua buat adiknya.
Karna semenjak kematian sang ayah, ibunya yang awalnya adalah wanita yang baik dan hangat, kini berubah menjadi sosok yang tak dikenalinya lagi.
Apalagi saat ibunya memutuskan menikah dan tinggal dengan keluarga barunya, tanpa membawa ia dengan sang adik, membuat adiknya membenci ibunya dan berakhir dengan dialah yang menggantikan sosok ibu untuk adiknya kini.
"Oh, kalau gitu saya kedalam dulu ya, mau nelpon Adek saya dulu."
Pak Yudi mengangguk, setelahnya Arsha masuk kedalam menuju dapur untuk menaruh belanjaan yang ia bawa sedari tadi.
******