Chereads / JADI YANG MANA? / Chapter 3 - 02

Chapter 3 - 02

"ciee abi, lagi belajar ya?"

"menurutmu?"

"rajinmu, wajar ji iya seringko ringking kelas hehehe (kamu rajin banget sih, wajar kamu sering juara kelas)" kataku dengan wajah ceria lalu dengan enteng aku memamerkan deretan gigiku pada abi.

inginnya senyum itu tertular pada abi, tapi abi malah menatapku sesaat lalu dengan acuh dia kembali pada kegiatannya. abi dengan tekun membaca lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan di buku tugas itu.

kuperhatikan dia dalam diam tapi jujurnya aku jenuh hingga aku bersenandung dengan suara cukup keras untuk mengusiknya namun dia tetap acuh.

"bi, aku mau mau ikut belajar dong" pintaku.

"..." kali ini abi memilih tak bersuara dirinya bahkan dengan santai memakai headphone yang besar dihadapanku.

tak ingin diacuhkan aku akhirnya memilih menggangu abi dengan beberapa kali melemparinya bantal, dan pulpen namun hal itu tidak sukses menggalihkan perhatian abi dari buku pelajaran.

jengah terus didiami dengan kurang ajar kulepas headphone dan hal itu sukses membuat abi menatapku dengan berang.

"..." aku tak bisa berkata apa-apa kala itu abi memancarkan aura membunuhnya. hanya cenggiran bodoh yang kini kutunjukkan padanya.

"...." melihatku demikian abi lalu kembali memilih mengacuhkanku. tak ingin usahaku sia-sia aku akhirnya berkata

"abi ajarin aku bilangan pitagoras dong" kataku dengan senyum manis dan kedipan mata manja, namun bukannya terkesima abi seakan benar-benar jijik padaku lalu berkata

"tidak" jawabnya santai

"besok itu ada ulangan harian, na belum paka ngerti jadi kau ajari kag naa nana abi baik deh ya yayaya (besok aku ulangan tapi aku belum ngerti) " kataku memelas.

"sampai kapanpun kamu ngak bakal ngerti" jawabnya ketus dan menatap mataku tajam

"karena tidak kutahunya mi itu makanya ajari maka na kupintar juga abi dong dong"

"ngak usah, kau buang- buang tenaga saja" jawabnya geram

"ighh abi, ku tanyakan ko itu om Hafiz"  jawabku kesal

"kau selain menggadu bisanya apa lagi sih?"

"napas, makan, tidur, ngeluh dan tentunya pura-pura bahagialah" ujarku bangga.

"wajar otakkmu masih berkualitas"

"itu tahu hehehe" ujarku

"kau tidak niat tapi hanya ingin jadi tidak usah membuang waktuku"

"maksudnu rahing?"

"tidak usah memaksa otakku bekerja keras untuk menggerti"

"egh?" tanyaku semakin tidak mengerti

"tetaplah bodoh jadi harga otakmu semakin bernilai tinggi" ujarnya sarkis

"apa kau bilang itu jahat naah" walaupun aku tidak mengerti tpi amarahku seketika memuncak

"dong care" ketusnya

"sekarang minta maafko sama saya" kataku galak sambil bersidekap didepannya

"ahahaha mimpi" jawabnya sarkis.

"abi igh" rengekku manja sambil menggoyang-goyangkan badan abi.

"pergi" usirnya

"ngak" kataku ngotot

"dibilang pergi, ya pergi. sekarang pergi ngak?" bentaknya.

"kalo ndak mau kag mau ko apa?" tantangku

"oghh berani ya sekarang?" tanyanya dengan wajah menyeramkan.

"dari dulu ji juga berani kag kenapa i weee?" jawabku semakin memancing kemarahan Abi.

"berani ngadu iya?"

"itu kau tahu" kataku tegas. sambil memeletkan lidah.

"lia awas ya kamu" ujarnya jengkel dan mulai bersiap untuk melempariku dengan buku.

melihat itu aku dengan was-was mulai mencoba kabur. abi itu bukan tipikal orang yang hanya menggancam jadi jika dia marah abi akan benar-benar melakukan keinginannya, dan jika itu terjadi hanya om Hafiz yang bisa menghentikannya.

dengan gerakan pelan namun pasti aku akhirnya bergerak sembari mencari keberadaan om hafiz dan berkata

"om Hafiz,  mau ka' na pukul abi" jeritku keras dan benar-benar meninggalkan abi di kamarnya.

sudah seperti yang kutakutkan abi benar-benar menggejarku sampai aku mendapati om Hafiz berada didapur. dengan gerakan cepat akhirnya aku bergerak memeluk om Hafiz dan berkata

"om, Abi nakal" ujarku manja dan disertai derai air mata juga tubuh yang bergetar ketakutan.

aku tak tak tahu bagaimana ekspresi om hafiz dan abi kala itu yang jelas ketika aku membuka mata dengan pelan-pelan kulihat abi sedang bersikap siap dihadapanku dan om Hafiz.

aku jelas tidak tahu apa yang terjadi namun setelah itu aku tahu jika memang pawangnya abi itu ya om Hafiz. baik om Hafiz maupun Abi tak bersuara tapi dengan lembut om hafiz menenangkanku dalam pelukannya dan setelah derai air mata itu berakhir om hafiz memberiku air minum.

abi dan om hafiz terasa sangat berbeda dari segi watak walau wajah mereka mirip tapi aku tak tahu dimana abi memungut sikap kasar, nakal dan jahat itu. selama aku mengenal om Hafiz, om Hafiz selalu baik sedari awal sedangkan abi jahatnya sudah sampai ketulang-tulangnya mungkin sampai ngak bisa di hilangkan.

setelah merasa sedikit lebih baik akhirnya aku memilih pulang saja kerumah, adzan sholat telah berkumandan, aku akhirnya tidak jadi minta diajari oleh abi dan memilih pulang untuk sholat dan makan malam. niatnya setelah makan malam aku akan kembali kerumah om hafiz lalu menemui abi dan meminta diajari dengan cara yang benar namun apa daya kampung tengah telah terisi nyiur lembut suara kasur memanggil dan terbuailah aku dalam alam mimpi.

hubunganku dengan abi masih sama. masih sama seperti yang dulu, aku masih menggangap abi adalah kawan, sedangkan abi masih menggangapku musuh.

kini kami telah berseragam putih biru, tidak terasa kami sudah cukup lama bersama. aku sudah layaknya parasit yang tidak bisa hidup tanpa abi, kemana pun abi pergi aku akan ikut  tanpa dipinda dan diindahkan

sekolah yang ditempati abi cukup berkelas juga harus menggeluarkan uang banyak, tentu orangtua maupun aku tidak mampu membayar namun karena bantuan om Hafiz aku masih bisa menjadi teror untuk abi. aku tentu bersyukur dong tapi karena hal itu, abi semakin membenciku setiap harinya.

putih biru memang masa transisi dimana kami akan mencoba meraba agar dapat  menjadi semakin berkembang baik dalam penggetahuan maupun pengembangan mental kami.  mental akan teruji apa akan semakin baik atau tetap pada kebiasaan buruk kala kanak-kanak.

abi yang sudah jelas berotak cerdas jelas dengan cara mudah memasuki organisasi osis sedangkan aku, hanya ikut organisasi Pramuka. hanya kala itu abi bisa lepas dari bayang-bayangku dan abi paling suka saat moment itu.

kami sudah semakin sibuk dengan pelajaran, kegiatan organisasi tapi yang membuatku tidak bisa menghadapinya yaitu ketika seseorang dari teman kami berkata

"abi kok lia selalu ngikutin kamu, kalian pacaran ya?"

"tidak" elak abi tegas, jelas dan dengan nada tinggi.

kala itu aku masih santai karena memang itu yang terjadi, tapi ketika temanku itu kembali berkata

"lag terus?" tanyanya binggung

"lia adalah penggemis yang tidak pernah puas dengan apa yang didapatkannya"

"..." seketika teman-teman yang mendengar itu bungkam seketika sedangkan aku, mendengar itu aku kini menatap lurus tepat dibola mata abi dan keseriusan yang kudapatkan.

dimatanya tak ada tanda jenaka atau sejenisnya, malah aura kebencian yang semakin membara setiap detiknya.

kalimat abi memang singkat namun berada ditengah-tengah orang berada dan mereka kini tahu statusku sebagai orang miskin membuat semakin banyak teman-teman yang merendahkanku bahkan dengan terang-terangan membullyku.

semua penindasan, pembulian hingga pengucilan akhirnya terjadi tapi itu tidak seberapa ketika kami harus membayar iuran kelas dan tibalah saatnya aku membayar abi dengan santainya berkata.

"dia tidak akan membayarmu sekarang tunggu besok setelah dia merayu abiku baru bisa membayarmu" ujarnya sarkis dan dengan suara lantangnya hingga semua teman kelas mendengarnya.

sembar siur semakin menyebar tentangku dan itu membuat hidupku semakin menderita disekolah.

awalnya hanya sindiran-sindiran yang kudapat namun ketika aku berani melawan, seseorang yang enggan kusebut namanya dengan berani mengguncikanku ditoilet lalu dengan berbaik hatinya juga dia menyiramiku dengan air bekas pel.

aku tetap terkunci walau bel sekolah untuk pulang telah terdengar. tubuhku kini semakin bergetar kedinginan namun semakin aku terus berteriak meminta tolong tubuhku malah serasa begitu tak berdaya.

pandanganku semakin kabur namun disela-sela kesadaranku aku tetap berusaha meminta bantuan tetapi tetap saja tak seorangpun yang datang dan membantuku. aku mulai tak sadarkan diri dan ketika mataku terpaksa terbuka sekali lagi dia dan teman-temannya melempariku air seember tapi kini dengan cara berbeda.

jika kemarin mereka hanya menyiramiku dari atas kini siraman tepat dihadapanku sehingga mataku dan pisikopat itu bertemu. itu juga ternyata pintu dibuka hanya untuk melihatku semakin sensara.

tawa mereka menggema dikamar mandi, namun aku tak bisa membalas. jangankan untuk melayangkan pukulan pada mereka bergerak pun aku sudah tidak bisa.

bel pertama telah berbunyi, mereka kini kembali menguncikanku setelah berhasil meludahi wajahku. kala itu aku meminta malaikat maut menjemput dan kuharap balasan akan perbuatan mereka sangat berat.

jikapun aku menjadi arwah penasaran atau penuh dendam mungkin aku merelakan karena sukmaku serasa teriris dan tidak terima akan perbuatan mereka.

apa salahku menjadi orang miskin? salahku yang masih bertahan disamping abi? salahku? sepertinya memang mungkin!

kupasrahkan semuanya dan kuucapkan kalimat syahadat sebelum kegelapan kembali menelan kesadaranku.

inilah nasip orang miskin, ini nasip orang yang berbeda. aku serasa siap menemui penciptaku tapi ketika mataku kembali terbuka dengan pelan namun pasti kulihat mama menatapku dengan derai air mata.