Chereads / Diary Edward / Prolog - Be Happy, Don't Worry

Diary Edward

VanesTS
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 42.9k
    Views
Synopsis

Prolog - Be Happy, Don't Worry

Duduk di kursi ditempat meja tulisnya yang berhadapan dengan jendela adalah hal yang biasa dia lakukan untuk menunggu cahaya pagi sambil menatap keluar jendela.

Di tengah hutan pinus, sebuah tempat yang dikelilingi oleh dinding tinggi terbuat dari kayu pinus, setiap sudut memiliki menara pengawas termasuk sisi kiri, kanan dari gerbang depan dan belakang. Terdapat rumah sederhana yang cukup untuk banyak orang, beberapa sumur dan lahan untuk tanam.

Orang-orang dewasa sudah terbangun untuk melakukan hal yang biasa mereka lakukan. Memetik buah hasil kebun dan menyiram kembali termasuk memberi pupuk. Beberapa ada yang memanen kentang dan wortel kemudian menanamkan kembali sebagian dari hasil panen. Ada juga yang hanya saling sapa tetapi sebagian besar penduduk yang tinggal sedang menyiapkan acara istimewa.

Beberapa anak kecil terbangun dan meramaikan suasana dengan caranya. Berlari gembira, bermain dengan temannya dan tertawa riang seakan-akan tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

Entah sudah berapa lama dia tidak melihat kebahagiaan kecil itu. Bahkan dia sudah lupa bagaimana harus mengekspresikan dirinya di situasi ini atau mungkin saja dia tidak mengenali emosinya lagi. Mata terpejam secara perlahan dia menghela nafas kemudian membuka kedua matanya dan tersenyum lebar.

Wajahnya tidak layak untuk dilihat oleh anak kecil, sangat kaku seperti patung bahkan sorotan matanya tidak menampakkan bahwa dia sedang terlihat senang. Semua itu terpantul dikaca jendela.

"Sangat buruk.. Jika anak-anak melihat ku, mereka akan memanggilku monster." Katanya kemudian dia tersenyum kecil merendahkan kelopak matanya.

Apakah seperti ini adalah ekspresi yang seharusnya?

Cahaya mulai memasuki ruangan, perlahan-lahan menyinari meja tulis yang ada di depan pria itu. Ada sebuah buku coklat yang tampak tua dan tulisan emas [Diary Edward] di tengah buku itu.

Di samping buku terdapat pena bulu yang masih dicelupkan dalam botol tinta.

"Cahaya.. Masih pantaskah aku dapat melihat cahaya?" Ucapnya, dia menghilangkan senyuman dari wajahnya.

Begitu banyak kerumunan tersenyum bahagia, mereka melakukan apa yang harus dilakukan pada hari yang sangat istimewa itu dan juga kematian Wilson membawa dampak besar dalam kebahagiaan hari itu.

Hanya saja entah sampai kapan kebahagiaan dapat bertahan lama. SebabĀ ada banyak hal yang belum terselesaikan di luar sana. Tiga tahun pria itu masih dalam ketakutan, dia harus siap melakukan apa saja untuk menghentikan bencana yang akan datang tetapi dia tidak ingin menghilangkan senyuman dari banyak orang dengan memberitahu bahwa masih ada bencana di luar sana yang akan menimpa mereka. Keputusan sulit untuknya.

Menghela nafas panjang, rasanya kepala dia akan meledak jika dia terus memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Tangan kanan mengambil bulu yang terendam tinta, dia membuka buku Diary Edward terlihat banyak kalimat yang tertulis pada kertas setiap halaman-halaman yang dia buka.

Ketika halamannya sudah menjadi lembaran kertas yang kosong dia berhenti menggulir, lalu mendekatkan tinta bulu kearah kertas tersebut.

[Hai, sebenarnya aku tidak tahu harus menulis apa.

Ini pertama kalinya aku menulis.

Mungkin aku akan mulai dari perkenalan.

Hai lagi. Namaku Ales Edward.

Lahir di Bargen, di tengah orang-orang yang sangat ramah dan baik seperti Ms. Ward guru sejarah, Mr. Clark guru biologi, Sir Enderson kepala polisi setempat serta Mr & Ms hansiki.

Begitu juga dengan Alice, Emily dan Harshel. Mereka adalah temanku.

Alice, gadis cantik yang lucu. Dia teman dekatku, kami sering bermain bersama karena orang tua kami sangat akur. Rumahku juga tidak jauh dari rumahnya sehingga jika ada waktu dia akan datang mengunjungi ku dan malam natal mereka selalu datang menginap.

Kini..

Dia sudah di tempat yang lebih baik.

Emily, gadis tanguh yang pintar. Dia teman sekelas ku, terkadang dia suka berbuat gila dan dia senang membawa ku ke dalam masalahnya. Tetapi aku sudah tidak pernah bertemunya lagi saat dia pindah ke ibukota.

Aku harap dia baik-baik saja.

Harshel..

Kebaikanmu, aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya. Aku senang kau menjadi teman baik ku, tidak peduli seberapa buruknya aku bahkan semua orang menjauh karena mereka melihat betapa anehnya keluargaku setelah ibuku tiada namun kau menghampiriku dan berteman dengan ku.

Maka itu terima kasih sahabat ku.

Umurku yang ke 7, ibuku meninggal. Itu adalah akhir dari kebahagiaan, kakakku berhenti dari sekolah menengah pertamanya, dia selalu ikut dengan ayahku entah kemana aku tidak pernah tahu. Mereka berdua sangat ambisius terhadap sesuatu. Sehingga aku yang kecil mengira mereka menyebalkan dan egois.

Karena selalu ayahku meminta untuk aku menetap di rumah setelah pulang dari sekolah. Dia sangat protektif, aku membencinya saat itu.

Ibuku sangat cantik. Dia adalah wanita yang sangat lembut terhadap keluaganya. Senyumannya sangat hangat layak matahari, aku sangat ingin disana untuk selama-lamanya.

Jika saja mereka mengatakan yang sebenarnya, mungkin semua tidak pernah terjadi. Semua yang menghancurkan harapan dan mendatangkan keputusasaan, tidak akan pernah terjadi.]

Bruak..

Gadis kecil membuka pintu dengan kasar. Rambut pirang lurus dan mata biru menatap Ales sambil tersenyum lebar. "Ayah, salju turun. Salju turun. Cepat keluar, salju turun seperti cerita dalam dongeng sebelum tidur." Ucapnya dengan gembira.

"Selamat natal, Alicia." Ales tersenyum kecil seperti yang dia lakukan sebelumnya.

"Selamat natal, Ayah." Balas Alicia yang sedikit terkejut, dia membalas senyuman dengan tertawa riang. "Ayo ayah, mereka semua sedang menunggumu."

Ales mengangguk. "Kau pergilah terlebih dahulu bersama junior, Ayah akan menyusul."

Alicia mengerti namun sebelum dia pergi dia sempat berkata. "Senyuman ayah tidak seperti monster lagi." sambil tertawa riang dia pergi meninggalkan ayahnya.

Kata-kata itu sangat berarti bagi Ales, dia senang mendengarnya sangat senang. Perasaan yang dia rasakan sama seperti pertama kalinya ucapan 'ayah' keluar dari mulut gadis kecil itu. Dia meneteskan air mata. 'Maafkan aku... Maafkan aku..' Mulutnya dia bungkam menggunakan tangan kanannya. Dia menangis dalam hening di ruangannya.

Setelah lima menit, dia melepas kacamatanya mengusap kedua mata hingga pipi. semua tampak semakin sulit baginya, tidak tahu harus berbuat apa untuk masa depan kelompoknya. Masalah akan segera terjadi, dia harus memilih diantara dua pilihan sulit.

Hela nafas panjang keluar dari mulutnya untuk yang kedua kali. Dia memilih untuk meluangkan waktu lebih banyak kepada kelompok dan keluarganya, setidaknya untuk saat ini.

Dia memasang kacamatanya lalu menatap buku. Ales kembali menulis kata-kata untuk mengakhiri diari. Selesai menulis dia berdiri dari tempat duduk mengambil jaket yang terbaring di kasur dan menggunakannya. Lalu berjalan pergi keluar dari ruangan untuk menemui orang yang ada diluar sana.

Tulisan terakhir yang ia tulis adalah..

[Dan sekarang bagaimana aku harus mengatasinya.. Pikiranku tidak cukup rasional, semua hancur aku hanya berhasil mengatasi sepuluh persen dari yang dia lakukan.

Buck, apa yang harus aku lakukan?]