Angeline terpesona dengan pemandangan yang sedang tersaji di depan matanya. Birunya lautan sepanjang mata memandang, burung-burung beterbangan di atas lau mencari mangsa, dan awan-awan kecil yang tersebar di langit bersandingan dengan sang mentari yang duduk bertahta memamerkan sinar terangnya.
Perahu kecil yang mereka pakai untuk sampai di pulau ini bahkan tidak terlihat sebagai sesuatu yang menarik sama sekali.
Angeline sedikit kaget saat David tiba-tiba memeluknya dari belakang. David memang punya kebiasaan mengganggu lamunan Angeline dengan melingkarkan tangan di pinggangnya dari belakang.
David mengecup pipi Angeline lembut dari samping dan memangku dagunya pada pundak kiri Angeline.
"Kau suka pemandangannya?"
Angeline mengangguk, membuat David tersenyum puas.
"Aku hanya ingin bilang kalau sarapan sudah siap." ucap David, membuat Angeline mendesah pelan. "Ada apa?"
Angeline pun berbalik menghadap David dan menaruh sikunya di bahu David, melingkarkan tangannya di leher David dan menjambak rambut belakang David dengan pelan. "Lain kali biarkan aku yang menyiapkan makanan."
David mengecup bibir Angeline sekilas. "Apa kau mulai tidak menyukai makananku?"
Angeline menggeleng pelan. "Bukan begitu. Biar bagaimanapun aku adalah seorang istri, harusnya istri yang menyiapkan makanan untuk suami."
"Apakah memang ada aturan seperti itu?"
"Tidak juga, hanya kebiasaan masyarakat, mungkin." jawab Angeline dengan aksen asal.
"Jadi aku sudah dilarang untuk menyiapkan makanan?"
"Astaga David, jangan memutar pembicaraan terus. Pokoknya lain kali izinkan aku yang menyiapkan makanan." balas Angeline. Ekspresi Angeline seperti itu membuat David semakin gemas.
David mendekatkan wajahnya ke Angeline namun bibirnya ditahan dengan jari telunjuk. "Makanan yang kau siapkan akan mulai dingin jika kita mulai berciuman sekarang."
"Aku bisa memanaskannya lagi." balas David yang kembali mendekatkan wajahnya, namun sekali lagi usahanya digagalkan oleh Angeline.
"Aku sudah kelaparan."
Melihat istrinya merengek seperti itu membuat David menjadi tidak tega.
David pun membuang napas berat dan memilih untuk tersenyum. Akhirnya David hanya mencium kening Angeline dan menarik tangannya menuju meja makan.
Angeline duduk di hadapan semangkuk sup asparagus dengan tambahan beberapa irisan daging di atasnya.
"Daging apa ini?" ucap Angeline setelah mencobanya satu suapan penuh. Melihat Angeline memakannya dulu sebelum bertanya membuat David mengerti, gadis itu sepertinya benar-benar kelaparan.
"Bebek. Namun aku merebusnya lumayan lama di panci presto agar lebih empuk."
Angeline mengangguk. Sebenarnya, ia tidak tahu apa itu panci presto. Yang ia tahu kegunaan semua panci itu sama saja; untuk merebus air dan memanaskan makanan berkuah.
"Jangan bilang kalau daging bebek ini kau dapat saat berburu sementara aku masih tertidur."
David tertawa, "Mungkin aku mengatakannya jika kemarin kau belum melihat isi kulkas kemarin."
"Oh jadi daging itu adalah daging bebek? Kukira sejenis ayam yang mahal."
Kini tawa David semakin tak bisa ditahan, membuat Angeline mengerucutkan bibirnya. "Selucu itukah pertanyaanku?"
"Membedakan daging saja kau tidak tahu, bagaimana aku akan membiarkanmu menyiapkan makanan nanti?"
"Hey, jangan meremehkanku, aku sering melihat bibiku memasak di dapur. Bibiku adalah koki terhebat di dunia, kau tahu?"
David mengangguk pelan sambil mengunyah asparagusnya. "Jika bibimu memang sehebat itu, mungkin aku akan mempekerjakannya di kafetaria Stockholm Corporation menggantikan Chef Juna dari Indonesia itu."
"Tentu saja, bibiku tidak ada tandingannya."
David tersenyum melihat ekspresi Angeline saat membanggakan bibinya itu, membuat Angeline mengerutkan keningnya. "Kenapa kau melihatku seperti itu? Tidak percaya?"
David menggeleng. "Tidak, aku percaya. Habiskan makananmu, setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
"Sepertinya aku di sini saja." tolak Angeline cepat. Kali ini David yang mengerutkan keningnya. "Aku tidak ingin merepotkanmu dengan menggendongku setiap kali aku capek berjalan."
"Baiklah, kalau begitu kita di sini saja."
"Maaf." ucap Angeline dengan raut wajah bersalahnya. David hanya balas tersenyum manis, membuat Angeline semakin merasa tidak enak.
Namun di satu sisi ia merasa beruntung memiliki suami yang super perhatian seperti David.
Akhirnya seharian mereka habiskan dengan bercengkrama. David duduk bersandar di kepala ranjang membaca novel The Hound of the Baskervilles karya Sir Arthur Conan Doyle sementara Angeline berbaring dengan menjadikan paha David sebagai bantal dan memiringkan iPadnya menonton episode kelima dari Descencendants of the Sun.
David selesai membaca dua bab novelnya, menyelipkan pembatas buku pada halaman terakhir yang ia baca dan menaruh novel itu di atas meja terdekat, sedangkan Angeline masih saja terfokus pada drama Koreanya.
Sesekali David mengelus lembut kepala Angeline, gadis itu memang tidak suka diganggu jika sedang menonton sesuatu.
Angeline pun melepas headsetnya dan menaruh iPad yang tadi ia gunakan untuk menonton drama di sebelahnya lalu mendongak menatap balik David yang tersenyum ke arahnya. "Bosan menungguku?"
David mengusap rambut Angeline, "Berapa kali harus kubilang kalau aku tidak pernah bosan dengan segala sesuatu tentangmu."
"Tidak ada yang ingin kau katakan?" tanya Angeline membuat David penasaran.
"Memangnya apa yang ingin kau dengar?" David membalas dengan pertanyaan lain. Angeline pun bangkit dari posisi tidurnya dan duduk tepat di depan David.
Sorot mata Angeline membuat David menyadari terdapat keraguan di sana.
"Katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Sebenarnya ... " Angeline menatap bekas-bekas jahitan yang jauh dari kata rapih itu di seluruh tubuh David. Sudah jelas bukan hasil pekerjaan dari tangan seorang dokter bedah. "Dari mana kau mendapatkan jahitan-jahitan ini?"
"Aku menjahitnya sendiri."
Angeline terdiam, mata sendunya membuat David tersenyum tipis. Mungkin ini saatnya Angeline tahu siapa dirinya sebenarnya. "Kau tidak ingin tahu kenapa aku menjahit luka-luka ini sendiri alih-alih pergi ke rumah sakit?"
"Aku sudah berjanji tidak akan menanyakan masa lalumu, kecuali kau sendiri yang menceritakannya."
David pun tersenyum manis. "Kemarilah."
Angeline mendekat dan kini gadis itu bersandar dalam posisi menyamping di dada David. David mengecup kepala Angeline untuk membuat gadis itu sedikit lebih tenang.
"Aku kehilangan keluargaku sejak umurku delapan tahun akibat perang saudara yang terjadi pada masa itu. Orang tuaku meninggal dan kakak laki-lakiku dibawa oleh organisasi rahasia milik pemerintah untuk dilatih menjadi sukarelawan perang. Dan semenjak hari itu aku harus hidup bergantung pada diriku sendiri."
David mengelus pelan kepala Angeline yang masih bersandar pada dadanya. "Aku melakukan apapun yang bisa dilakukan oleh anak berusia delapan tahun untuk terus bertahan hidup. Berebut makanan sisa dengan orang-orang yang jauh lebih besar dariku, hingga mencuri dengan resiko kehilangan naywa kapan saja."
"Hingga akhirnya aku diadopsi oleh seseorang. Dia adalah ... mafia yang paling ditakuti pada masa itu."
Mendengar hal itu membuat Angeline membulatkan matanya.
"Namanya adalah Hendrick Brasco, seseorang yang sangat kejam, namun sangat loyal pada teman-temannya. Dan sejak saat itu, aku menapaki jalan yang sangat gelap dan berdarah."
Angeline tidak berani menyela. Mendengar kata 'mafia' sudah membuat Angeline gemetaran, gadis itu terjebak di antara rasa takut, namun sikap David yang terlampau manis kepadanya saat ini membuat rasa takut itu berkurang.
"Pada usia dua belas tahun aku menerima misi pertamaku, yaitu membunuh seorang konglomerat. Seorang pria bertubuh gemuk yang suka memperkosa anak lelaki di bawah umur. Aku menyayat lehernya menggunakan sebuah pisau kecil tepat saat dia ingin memperkosaku."
Angeline menelan ludahnya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan oleh David. Terlalu mengerikan.
"Dan ini adalah luka pertamaku," David menunjukkan bekas jahitan yang berada di dekat pergelangan tangan kirinya. "Ini kudapatkan dari istri seseorang yang kuambil nyawanya karena mengkhianati Hendrick Brasco. Dia mengayunkan sebuah pisau dapur yang gagal kuantisipasi. Alhasil dagingku sobek, hampir mengenai tulang. Dan di situlah pertama kalinya aku diajari cara menjahit luka sendiri."
"Kebanyakan luka kuterima dari lesatan peluru, karena aku lumayan mahir pada pertarungan jarak dekat jadi jarang terluka karena hal itu walau harus melawan sepuluh orang sekaligus."
Angeline masih diam mendengarkan semua yang David ucapkan. Gadis itu diam seribu bahasa, tidak tahu harus berkata apa.
David terus menceritakan tentang bagaimana ia menghabiskan masa remajanya dipenuhi peluru dan darah. Semua cerita sedih dan menyeramkan membuat perasaan Angeline tidak karuan. Tadi ia merasa ngeri, selanjutnya merasa sedih akan apa yang harus dilalui oleh suaminya itu.
"Semuanya terasa begitu gelap. Selama bertahun-tahun aku merasa seperti seorang mayat hidup, berjalan di jalan yang gelap tanpa tahu kemana aku akan melangkah. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah cahaya ... "
David menghentikan ceritanya, menginstruksikan Angeline unduk bangkit dan menatapnya balik. Dengan masih dihantui rasa takut dan iba, Angeline menatap balik mata suaminya. Sorot mata David entah mengapa bisa membuat seluruh rasa takut Angeline hilang begitu saja. Hanya kenyamanan yang dirasakan oleh gadis itu.
"Sebuah cahaya yang membuatku merasa tak lagi sendirian di jalan yang gelap ini. Dan aitu adalah kau. Kau satu-satunya cahaya yang membuatku kembali memiliki tujuan hidup. Di saat aku benar-benar kehilangan arah, kau hadir dan mengubah cara pandangku akan dunia yang menjijikan ini."
David mengelus kepala Angeline lembut dan tersenyum. "Kau lah cahayaku, Angeline. Dan aku bersumpah, berapa banyak pun peluru yang harus bersarang dalam tubuhku, selama aku masih bisa bernapas, maka napas inilah yang akan menjagamu."
Angeline pun tak kuasa menahan air matanya. David tidak menghentikannya, karena terlihat jelas bahwa itu bukanlah air mata yang menggambarkan kepedihan. "Kenapa harus aku?"
David tidak menjawabnya, ia hanya terus tersenyum kepada Angeline, satu-satunya wanita yang menjadi cahaya penerang hidupnya.
Angeline, wanita yang dicintainya.