"Siluman kelinci! Ingin pulang bersama tidak?!"
Khansa menggeram rendah, "sungguh adik tidak tau diri. Ku kutuk jadi Undur-undur mampus kau!" Maki Khansa bergumam pelan. Bagaimanapun juga, Khansa masih sangat menyayangi adik satu-satunya itu.
"Apa kau sudah tuli?"
"Saveri Abel Alterio! Jangan menggangguku! Pulang sana!" Khansa sudah melepas sebelah sepatunya dan hendak melayangkan alas kaki kesayangannya itu tepat pada wajah si pria kecil.
Saveri? Veri? Abel? Alter? Al? Rio? Entahlah! Khansa bahkan sesekali memanggilnya dengan sebutan Teri. Pria itu satu-satunya harta berharga yang masih Khansa miliki di dunia ini.
Ayah? Suka mabuk-mabukan, berjudi, hutang sana-sini, dan akhirnya tertabrak hingga mati.
Ibu? Memperbudak dia dan sang adik untuk mencari uang, lalu bersenang-senang dengan para selingkuhannya. Mendapati si selingkuhan tercinta berbuat hal yang 'iya-iya', wanita gila itu mengambil pisau dan menancapkan tepat pada leher si pengganggu. Lalu menusuk jantung prianya hingga mati dan Foilaa~, depresi hingga masuk rumah sakit jiwa.
Sungguh ironis memang!
"Yakin? Bisa pulang sendiri?" Al bertanya khawatir, bagaimanapun kakaknya itu perempuan. Pulang tengah malam mendekati dini hari? Itu bukan pilihan yang bagus untuk pulang sendiri.
"Yakin, Sayangku! Cintaku! Bunga matahariku! Pulang dan belajar! Aku tidak ingin beasiswamu hilang." Khansa menangkup kedua pipi Al dan menekannya hingga membentuk huruf O di bibir kecilnya.
Iya, mereka berdua yang sekarang statusnya masih abu-abu, tetapi mendekati yatim piatu itu adalah anak beasiswa. Maka dari itu mereka tetap bisa memakan bangku pendidikan.
Khansa Zhafira Auristela.
Anak pertama dari dua bersaudara, sekarang menjadi tulang punggung untuk dia sendiri dan adiknya. Masih di tingkat dua sekolah menangah umum, tapi sedang maraton untuk persiapan ujian akhir tingkat tiga yang masih kurang lebih dua tahun lagi.
Kenapa Khansa maraton sekarang? Karena jadwal kerja paruh waktunya akan semakin padat. Mengingat bahwa Al juga akan masuk sekolah menengah sebentar lagi.
"Jika terjadi apa-apa telfon aku. Kau dengar?" Al menarik sebelah telinga Khansa dan menggoyang-goyangkannya.
"Aish kurang ajar kau! Iya!" Menendang tulang kering Al hingga pria itu menjerit kesakitan dan membalik badan untuk kembali masuk kedalam minimarket tempat dia mengisi pundi-pundi uang miliknya.
"Dasar pejantan!" Sungut Al dengan tangan yang mengusap-ngusap tulang keringnya.
***
"Tidak! Ku mohon, kali ini ampuni aku. Aku benar-benar akan membayarnya bulan besok." Pria tua dengan tubuh yang sudah penuh dengan memar itu memohon ampun pada pria muda yang hanya memasang wajah datar padanya.
"Banyak bicara sekali kau!" Menghentak kakinya hingga pelukan pria itu terlepas dan berakhir dengan tersungkur di atas lantai marmer yang dingin.
"Ku Mohon ampuni aku, Kaenan." Memohon hingga bersujud pada pria muda yang terkenal mematikan itu.
"Cih. Tidak lagi." Berdecih, Kaenan menengadahkan tangannya hingga sebuah katana putih berkilau kini tengah berada tepat di dalam genggamannya.
Tersenyum sekilas, Kaenan memutar-mutar pedang panjang miliknya lalu mengarahkah tepat pada leher si tua yang sudah pucat pasi di bawah sana. "Kata-kata terakhir?"
"Ku mohon, amp-"
Crash.
"Permohonanmu tertolak."
Menatap datar pada tubuh yang sudah tak berkepala itu, Kaenan menatap sengit pada katananya. "Bersihkan darah bedebah ini." Melemparkan pedang kebanggannya pada salah satu orang kepercayaannya.
Pria tinggi dengan mata bulat dan telinga peri khas yang menjadi daya tariknya.
Memutar badan hendak keluar dari tempat kumuh yang sudah penuh darah itu, Kaenan tersenyum sinis saat mendapati seonggok manusia bernyawa yang baru saja melihat aksinya.
Berjalan mendekat dengan tangan yang bersemayam di dalam kantong celana bahannya, Kaenan tersenyum miring.
"Tidak buruk."
***
Khansa berjalan pelan dengan mulut yang sesekali bersenandung riang. Menikmati angin malam yang menembus jaket tipis lusuh miliknya.
Sesekali tersenyum hangat karena setidaknya ia masih mempunyai tempat berlindung, serta seseorang yang menunggunya di dalam rumah.
"Ah, kenapa aku sudah merindukan bocah itu?" Memasukan kedua tangan mungil miliknya yang sudah hampir beku ke dalam kantong jaket.
"Set-"
Bruk.
menghentikan langkah kakinya, Khansa spontan menoleh tepat pada bagian kiri tubuhnya, meneliti gang kecil yang memang setiap hari ia lewati.
Tak ada yang aneh, melanjutkan lagi langkah kakinya sebelum sebuah bola menggelinding tepat di depannya. Mengeryit heran, hendak memungut bola yang entah kenapa rasanya aneh saja bagi Khansa.
Deg.
Sialan!
Mematung dengan tubuh kaku dan wajah yang sudah pucat pasi, Khansa meneguk kasar salivanya. Itu bukan bola kaki, terlebih lagi bola volly. ITU KEPALA MANUSIA! Lengkap dengan mata yang melotot padanya.
Khansa mual setengah mati, sungguh. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Masih dengan gerakan patah-patahnya, kaki Khansa melangkah mundur dengan teratur. Ini tidak benar, mimpi apa dia semalam hingga harus melihat kejadian semengerikan ini?
Tap.
Tap.
Tap.
Derap langkah kaki membuat gadis remaja itu kembali terhenti dalam langkah tak bertenaganya.
Wajah dingin, rahang tegas, serta ceceran darah di stelan mahal yang pria itu kenakan membuat Khansa sedikit mengerti bahwa pria itu adalah dalang dari menggelindingnya kepala manusia tadi.
Entah sejak kapan, wajah pria itu sudah benar-benar dekat dengan wajahnya. Khansa bersumpah jika ia bisa mencium bau darah yang benar-benar pekat dari tubuh pria di depannya ini.
"Ada pendapat untuk maha karya indah milikku?" Memungut penggalan kepala yang tadi ia pisahkan dari batang lehernya, mengangkat benda itu hingga kini berada tepat di depan wajah Khansa.
"Kau... kau b-bukan manusia." Bahkan lidahnya tak dapat bergerak dengan benar. Menatap takut pada pria di depan tubuhnya, Khansa berjalan mundur lagi.
Bruk.
Tap.
Sret.
Melempar kepala tanpa badan yang tadi ada dalam genggamannya, lalu melangkah maju hanya untuk menarik Khansa agar berada di dalam dekapannya.
"Jangan pernah berpikir untuk bisa lari dariku. Setelah apa yang kau lihat tadi, seluruh hidupmu berada dalam genggamanku." Terkekeh pelan, mengecup singkat pipi kiri Khansa yang hanya bisa mematung bahkan tanpa nafas.
"Ingat namaku baik-baik, sekali kau lupa, hidupmu akan berakhir saat itu juga."
"Ingat baik-baik, Kaenan Azura Malvhin."
TBC
SEE U NEXT CHAP
THANK U
DNDYP