Arvin terdiam sebentar, menatap Dira yang tengah bermain-main dengan salah satu koleksi pisau lipat milik mereka. Ada sesuatu yang rasanya baru saja Arvin lewatkan.
"Tadi kau mengatakan jika gadis itu, Salsha? Lasha? Zhash-"
"Khansa!"
"Ya, Khansa itu Kaenan masukan kedalam gudang eksekusi."
Dira mengangguk, Dira sedang malas berbicara kawan-kawan. Ini masih jam setengah enam dan ini masih terlalu pagi untuk berbicara banyak.
"Bukannya gudang itu baru saja Kaenan isi dengan para pengkhianat tiga hari yang lalu?" Arvin mengeryitkan dahinya bingung, Arvin yakin jika para penghuni itu belum juga meregang nyawa.
"Hm, dan kau bayangkan. Gadis yang bahkan belum berusia dua puluh tahun harus berada di dalam sana. Tidak lama memang, tapi tetap saja. Dia pasti akan trauma." Dira menjelaskan dengan menggebu-gebu.
"Mungkin tujuan Kaenan memang itu? Jadi si Zhasha itu tidak akan macam-macam lagi." Arvin menatap Dira yang hanya memandang jengah padanya. Apa ada yang salah?
"Khansa! Bukan Zhasha!"
"Ah, okey."
"Kau yang mengeksekusi mereka bersama Rion bukan?" Dira menunjuk Arvin dengan kakinya yang terangkat tinggi, sungguh tak ada sekali otak gadis di depannya ini.
"Ya, dan memang kondisi mereka sedikit parah." Arvin mulai menerawang bagaimana ia dan sepupunya itu mulai bermain-main dengan terdakwa yang tiga hari lalu baru mereka adili.
**
Khansa masih berdiam diri di atas ranjang Dira, matanya tak mau lagi menutup karena kejadian beberapa waktu lalu yang telak memukul jiwanya.
-Flashback-
Baru saja ia menyerah dengan aksi permintaan tolongnya, Khansa mulai mendengar suara berisik dari besi yang saling bertemu. Nyaring? Dan memekakan.
"Hks, si-siapa?" Khansa makin merapatkan punggungnya pada pintu yang berada di belakang sana.
"HNGH! NGGH!"
Bergetar ketakutan, Khansa kembali menangis. Ini mengerikan, di sini gelap dan yang bisa Khansa lihat hanya hitam dengan suara rintihan entah milik siapa.
"Hks."
"HNGH! EUUUMPH!"
"Hks, Al." Khansa sesenggukan. Suara itu makin jelas. Belum lagi suara berisik besi yang begitu nyaring.
Tak.
Lampu di sudut-sudut ruangan menyala begitu saja, membuat Khansa bisa melihat apa yang saat ini ada di depan matanya.
"Hks, Al. Aku ingin pulang, hks." Menggedor pintu makin kencang, Khansa makin tak terkendali dengan rasa takutnya.
Di sana, tepat di depan matanya. Banyak pria dan wanita yang terikat dengan luka di seluruh tubuhnya. Leher yang terantai dengan besi dan kaki yang juga serupa. Tangan yang terikat di belakang tubuh dengan mata yang tertutup kain hitam, bahkan beberapa juga dengan mulut tersumpal .
"Hks, Al... keluarkan aku. Hks." Tangisnya terus mengalun. Menutup telinga dengan kedua tangannya dan mata yang tertutup rapat.
Bukan hanya itu, juga ada goresan panjang yang melintang dari bahu kanan hingga pinggang kirinya. Luka bekas cambukan di punggung. Dan beberapa juga terlihat sudah seperti lobang bekas tembakan peluru. Darah kering yang mengotori lantai dan beberapa yang masih mengalir dari luka yang terbuka di sana.
Khansa tidak bisa jika harus berada lebih lama di sini, ini terlalu menakutkan.
"Hngh! Akh! Shh, t-tolong ak-aku." Tubuh di ujung sana meronta dengan kepala yang terdongak menatap langit-langit. Menahan sakit. Tak berapa lama, rontaan itu terhenti dengan kepala yang menoleh tepat pada Khansa. Memperlihatkan wajahnya yang sudah hancur dengan sebelah mata yang sudah kosong tak berisi.
"AAAAA! TOLOONG! KELUARKAN AKU DARI SINI. Hks."
Brak.
Brak.
Brak.
Menggedor pintu dengan bringas, Khansa menjerit ketakutan. Ini sungguh tidak manusiawi. Ia tidak terbiasa melihat ini.
"Hks, tolong. Hks."
-End flashback-
Menggelengkan kepalanya pelan, Khansa masih berusaha mencari cara bagaimana agar ia bisa keluar dari sini. Ia yakin, Kaenan itu sangat berbahaya. Bahkan Dira, gadis yang menolongnya beberapa waktu lalu juga ia yakini sama berbahayanya dengan Kaenan.
Ceklek.
Blam.
Sret.
Terlalu sibuk dengan lamunannya, Khansa tidak menyadari bahwa sudah ada Kaenan yang mendudukan dirinya di sisi ranjang Dira. Menatap sinis pada Khamsa yang masih melamun dengan pandangan yang mengarah keluar jendela.
"Suka dengan kejutan yang tadi aku berikan?" Bertanya dengan suara rendahnya, Kaenan mengusap pelan pipi Khansa. Membuat gadis itu berjengit pelan dan langsung bergetar ketakutan begitu tau siapa yang berada di depannya saat ini.
"Jika kau masih berpikir untuk mau melarikan diri atau apapun yang berbau pemberontakan, aku tak akan berpikir lama untuk membuatmu sama seperti mereka." Ucapannya terdengar datar dengan senyuman mengerikan yang menghiasi bibirnya.
Khansa tau, jika pria itu tidak akan main-main dengan apa yang baru saja ia katakan.
"Aku mohon lepaskan aku, aku ingin pulang. Hks." Khansa memejamkan matanya saat ia rasa tatapan Kaenan begitu mengerikan untuk ia lihat.
"Nah, begitu. Aku suka melihatmu memohon seperti ini."
"Aku tidak akan melapor pada siapapun, hks. Keluarkan aku dari sini."
Kaenan terkekeh, melipat tangan di depan dada dengan tatapan angkuhnya yang menusuk tepat pada jantung Khansa. "Kau melapor juga tidak akan ada gunanya, uang yang aku berikan lebih berharga dari suaramu."
Khansa hanya diam dengan isakan yang tak juga berhenti mengalir dari bibir kecilnya. Apa ia akan berdiam saja di sini hingga ajal menjemputnya?
"Hks."
"Sekarang bangkit dan pindah dari sini. Mainanku tak boleh jauh dariku."
"Hks. Aku tidak mau." Lirih Khansa. Kaenan itu malaikat pencabut nyawa. Tidak baik berada dekat dengannya.
Sret.
"Aku tak menerima penolakan."
Bruk.
Manarik lengan Khansa hingga gadis itu bangkit dari tidurnya dan jatuh tersungkur di atas lantai dingin.
"Cepat."
"Hks. Aku tidak mau." Menarik kembali lengannya walau ia tau itu tidak akan berpengaruh pada apapun. Khansa tetap mencobanya.
Kaenan tak mau peduli tentu saja, semakin menarik kencang lengan Khansa hingga gadis itu harus terseok-seok untuk mengikuti langkah kakinya. Sekali lagi, Kaenan tak akan peduli.
"Kaena-"
Arvin ternganga dengan jus jeruk yang kembali mengalir melewati dagunya. Belum sempat tertelan dan malah melihat Kaenan menyeret gadis cantik yang menangis histeris di belakang tubuhnya.
"Apa itu si Zhasha yang Dira katakan tadi?" Arvin bermonolog. Memiringkan kepalanya hingga ia tersadar dan langsung saja berlari kencang menuju gudang tempat penyimpanan barang berharga mereka yang lain.
"DIRAAAA! APA ITU ZHASHA YANG KAU EMOSIKAN TADIII?!"
**
Ceklek.
Blam.
Bruk.
"Hanya jadi anak manis dan diam tanpa banyak protes."
Melempar tubuh Khansa ke atas ranjang king sizenya, Kaenan tersenyum miring dan mulai membuka kancing kemeja miliknya semalam.
Sedikit bermain-main tak apa bukan?
"Hks, mau apa kau? Pergi! Hks." Menyeret tubuhnya ke belekang, Khansa kembali untuk kesekian kalinya menangis sesenggukan.
"Sst, sudah aku katakan bukan? Hanya diam dan jangan banyak protes."
TBC.
SEE U NEXT CHAP.
HAVE A NICE DAY.
THANK U.
DNDYP.