"Rin?" Kata Marco tak percaya,
"Kau, Arine jreffin?"
Rin mengangguk pelan mengiyakan, wajah hantu itu tetap datar. Gerakkannya pelan dan gemulai.
"Awalnya aku tak percaya. Ternyata kau benar-benar Arine. Apa kau mengenal Matteo Adolfen?"
Mendengar itu Tiba-tiba Rin jatuh terduduk di lantai, walaupun sebenarnya dia tidak menyentuh lantai. Kakinya yang awalnya dipenuhi darah hitam yang mengalir kini menghilang digantikan kaki putih bersih yang jenjang. Baju yang awalnya kotor dipenuhi darah kini menjadi bersih, rambut yang berantakan menutupi setengah wajahnya kini tersibak ke belakang. Sekarang Rin sangat cantik, dia memakai rok pendek dan kemeja, dengan perpaduan warna yang bagus. Rambut panjang lurusnya menjuntai ke belakang. Dia terduduk sambil menangis.
"Rin?" Marco hendak medekat tapi Malvin cepat-cepat menahannya.
"Biarkan dia seperti itu. Jika kau menghampirinya dia akan marah dan berubah lagi seperti semula. Mungkin nama ayahmu pernah menjadi memori pentingnya sebelum ia meninggal. Tapi, dari mana kau kenal Rin?" Kata Malvin bingung.
Marco ikut terduduk di lantai, pandangannya lurus melihat ke arah Rin. "Aku menemukan foto lamanya bersama ayahku. Dia dulu kekasih ayahku saat SMA. Rin meninggal saat dia mau menyelamatkan ayahku dari kecelakaan maut. Ayahku bilang, waktu itu dia janjian dengan Rin dan memutuskan Rin tanpa alasan. Setelah memutuskan Rin ayahku menyebrang jalan dengan asal."
"Kenapa ayahmu memutuskan Rin? Apakah dia tidak mencintainya? Sepertinya dia gadis yang baik." Kata Faden. Dia ikut duduk disamping Marco. Tadi dia sebenarnya takut, tapi karna Rin sudah berubah menjadi cantik dia sedikit tenang.
Malvin ikut duduk disamping Faden, dia juga ikut memandangi Rin yang masih menangis. "Coba kau jelaskan mengapa waktu itu ayahmu memutuskannya. Mungkin dia akan berhenti menangis dan tidak akan pernah kembali lagi menjadi sosok hantunya." Ucap Malvin.
Marco mengangguk mengiyakan, "Rin." Panggilnya lembut.
Rin menoleh ke arah Marco dengan mata penuh air mata.
"Matteo mencintaimu." Kata Marco.
Rin menggeleng pelan. "dia tidak mencintaiku."
"Dia mencintaimu. Dulu dia meninggalkanmu karna itu untuk kebaikkanmu. Kau menolak untuk kuliah di luar Negeri waktu itu, ayahmu sangat marah karna alasanmu tidak mau meninggalkan Matteo. Ayahmu murka dan dia menemui Matteo, dia menyuruhnya untuk meninggalkanmu agar kau mau kuliah ke luar Negeri."
"Setelah kepergianmu, ayahmu menjadi gila dan mati. Ibumu masih hidup tapi dia sudah tua sekarang. Matteo menyuruhku untuk menganggap ibumu nenek kandungku."
"Kau anak Matteo?" Tanya Rin tak percaya.
Marco mengangguk, "ya, dia ayahku. Setelah kepergianmu ayahku sedikit gila. Dia disembuhkan dengan beberapa tahun di rawat di rumah sakit jiwa. Setelah sembuh dia dikirim ke Jerman untuk kuliah, mengejar studynya yang tertinggal. Di jerman dia bertemu dengan seorang gadis yang menyelamatkannya dari kecelakaan lagi. Untuk mengenangmu, setelah lulus dia menikahi wanita itu dan membawanya kembali ke Swiss. Wanita itu adalah ibuku." Marco bangki, kemudian berjalan ke arah Rin. Dia berjongkok di depan Hantu itu. Tangannya bergerak kearah pipi Rin, dia mencoba menghapus air mata yang mengalir di pipi lembut hantu itu.
Marco kaget. "aku bisa menyentuhnya?" Tanyanya kaget sambil tangannya bergetar menghapus air mata Rin.
Malvin ikut berdiri dan berjalan kearah mereka berdua. "jika hantu yang usia kematiannya lama, yang bisa melihatnya dapat menyentuhnya. Itupun kalau dia mengizinkan saja."
Marco tersenyum melihat Rin. "jangan suka menjahili Malvin. Kau bisa dibunuhnya nanti." Ucapnya sambil merapikan beberapa helai rambut Rin ke telinga gadis itu.
"Dia sering mengejekku." kata Rin.
Alis kiri Marco terangkat. "mengejek? Mengejek seperti apa?"
"Dia sering bilang aku kotor dan tak pernah mandi. Aku jelek dan gembel." Ucap Rin polos.
Marco menahan tawanya, ingin sekali tangannya menjitak kepala sahabatnya itu agar tidak asal berbicara. "Dia memang seperti itu. Makanya jangan kembali ke wujud aslimu agar dia tidak mengejekmu lagi."
Rin mengangguk pelan mengiyakan, "sekarang aku sudah bisa pergi. Pertanyaanku sudah terjawabkan. Aku akan pergi ketempat dimana seharusnya aku berada, Aku tak pantas lagi di dunia manusia."
Malvin yang mendengar itu cepat-cepat
menggeleng tak setuju. "Setelah kau
bisa pergi kau langsung ingin pergi? Itu tak akan kubiarkan. Tetaplah disini, kalau kau pergi siapa yang akan mengerjakan PR ku?"
Faden menoyornya dari belakang. "jadi selama ini kau selalu siap tugas karna Rin?"
Malvin menatap tajam kearah Faden. "beraninya kau menyentuh kepalaku."
Faden menyatukan kedua tangannya, "Ampun,"
•••••••
Jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam. Malvin turun ke bawah menuju dapur, sebelum dia sampai ke dapur ada bunyi bel bertanda ada orang yang tak punya waktu lain untuk bertamu. Pelayan cepat-cepat membukakan pintu sedangkan Malvin melanjutkan jalannya lagi ke dapur. Cowok itu jadwal makannya sangat payah.
Dia melewati Rin yang berdiri di tempat biasanya. "apa?" Tanyanya pada Rin.
"Apa?" Tanya Rin balik.
"Apa kau melihatiku?" Ucapnya sambil membuka kulkas untuk mencari makanan yang ada. Dia mengambil sekotak pizza yang ia pesan 3 jam yang lalu.
Belum sempat Rin menjawab, seorang pelayan datang menghampiri pelayan. "ada kiriman bunga dan paket di depan, tuan." Kata pelayan itu.
Malvin mendengus kesal. "lagi? Apa paket itu untuk ibu?"
Pelayan itu mengangguk. "ya, tuan."
Malvin berjalan kedepan meninggalkan pizzanya dengan berat hati dan perasaan jengkel. Dia menandatangani serah terima dan mengambil sebuket mawar putih dan kotak yang entah apa isinya. "Terimakasih, kau boleh pergi." ucapnya pada si tukang antar.
Dia masuk ke dalam rumah, meletakkan paket bunga dan kotak berbungkus itu ke atas meja yang ada diruang keluarga. Dia memeriksa siapa pengirimnya. Lagi-lagi tak ada tertera nama si pengirim, yang ada hanya tulisan 'untuk Luana❤️
Suara mobil memasuki perkarangan, itu Luana ibunya Malvin. Luana masuk ke rumah seperti biasa dengan wajah lelahnya. Dia berhenti ketika melihat Malvin di ruang keluarga.
"Ada paket lagi untuk ibu." kata Malvin.
Luana mendecak geram. "siapa yang kurang kerjaan selalu mengirimiku bunga dan benda-benda mahal?"
Malvin mengangkat bahunya acuh, dia mengambil paket berbentuk persegi itu dan membuka bungkusannya. Paket itu berisi sepatu mahal kesukaan ibunya. "Kuyakini yang menyukai ibu adalah orang kaya." Kata Malvin sambil menggeleng melihat merk yang tertera di sepatu itu. "Atau yang mengirimi ini adalah ayah?"
Ibunya menggeram ingin memukul anaknya yang asal bicara tanpa berpikir. "aku dan ayahmu berpisah 3 tahun yang lalu. Bunga dan paket ini sudah sering datang sejak 5 tahun yang lalu. Aku sudah capek mencari tahu siapa pengirimnya tapi hasilnya nihil."
"Yasudah. Ambil saja. Yang dia berikan juga bukan barang rongsokan." Kata Malvin enteng.
"Tapi masalahnya lemari sepatuku dan lemari tasku sudah penuh karna kiriman-kiriman ini." Kata ibunya jengkel.
"Aku yakin ibu punya cukup uang untuk memperbesar lemari itu. Atau buang saja yang sudah buruk. Itu tak sulit jika berfikir." Setelah bicara seperti itu dia berjalan lagi ke dapur untuk menemui Pizzanya yang nganggur.
"Dasar kau," kata Luana. "Karlie!" Dia memanggil pelayan. Pelayan bernama Karlie itu datang dengan cepat. "buang bunga ini dan masukkan sepatu itu ke lemari sepatuku. Aku cukup lelah untuk memikirkan semua ini." Katanya dan berlalu pergi. Luana menaiki tangga dan hilang dibalik pintu kamarnya.
Berbeda dengan Malvin, dia memandangi Rin dengan mata menyipit. "aku tau, kau pasti tau siapa pengirimnya. Ayo, katakan padaku." Kata Malvin.
"Aku tidak tau." Jawab Rin santai.
"Kau pasti tau,"
"Tapi aku tak mau memberitahunya." kata Rin lagi.
"Kau." Geram Malvin.
"Aku melakukan itu demi kebaikanmu. Berulang kali ku katakan demi kebaikanmu. Yang penting, si pengirim itu maksudnya baik. Dia hanya mencintai ibumu."
"Kalau dia cinta kenapa tidak di kasihnya langsung pada ibuku? Dan kenapa selama 5 tahun ini dia hanya bersembunyi seperti tikus dalam selokan."
"Tanya saja sendiri pada orangnya." Setelah berucap seperti itu Rin menghilang masuk ke dalam dinding.
"Sialan kau!" Malvin hendak melemparkan sekotak Pizza ke dinding, tapi dia terhenti ketika seorang pelayan masuk ke ruang makan memberikan sekotak makanan yang dibelikan Luana untuknya.
________________