Chereads / Snow In The Summer / Chapter 3 - bertengkar

Chapter 3 - bertengkar

Pagi hari di musim panas yang begitu menyiksa, menyebalkan, itulah pikir Malvin. Setelah di hari minggu ia bersantai kini sudah hari senin kembali. Tadi setelah ia memarkirkan mobil hitamnya, dia langsung berjalan di jalan yang sering ia lewati, yaitu masuk dari pintu belakang yang akan langsung jumpa tangga menuju kelasnya.

Sebelum dia masuk ke gedung kampusnya, dia melewati Hantu Geina yang menangis sambil meringkuk memeluk lututnya. "hantu yang malang." kata Malvin merasa iba.

Sebelum ke kelas, dia berjalan ke lorong loker untuk mengambil buku di lokernya. Dia mengambil kunci dari saku dan membuka loker dengan santai. Saat pintu loker terbuka, beberapa surat berjatuhan ke lantai bagaikan kejutan di hari ulang tahun, tapi sayangnya ini kejutan yang menyebalkan bagi seorang Malvin.

"Surat lagi, surat lagi. Kuyakini yang nulis ini pasti gadis-gadis kurang kerjaan, jika hantu dia tak akan mau repot-repot menulis surat." Malvin mengutipi surat-surat berbagai macam warna dan gambar love itu lalu

berjalan ke tong sampah untuk membuangnya.

"Kau buang lagi."

Malvin menoleh ke belakang untuk melihat sosok yang dia yakini salah satu dari si penulis surat yang baru saja ia buang.

"Aku tak punya waktu untuk membaca suratmu, tapi aku punya telinga untuk mendengarkan ungkapan isi hatimu,

dan aku punya mulut untuk memutuskan menerima atau menolak." Kata Malvin.

"Aku tak punya nyali untuk mengatakannya langsung padamu." ucap gadis itu sedikit gemetar, dia meremas ujung bajunya untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Jika kau tak punya nyali untuk mengatakannya padaku maka jangan coba-coba punya nyali untuk menyukaiku." Malvin meninggalkan gadis itu. Dia berjalan lagi ke lokernya untuk mengambil beberapa surat yang tertinggal, dia kembali lagi ke tong sampah untuk membuang surat-surat tadi.

"Malvin," ucap gadis itu yang kebetulan belum pergi dari tempatnya. "aku tau kau pasti tidak mengenalku, padahal selama dua tahun kita slalu berada di kelas peminatan yang sama. Aku beruntung tahun ini kita berada di kelas peminatan yang sama lagi."

"Aku ucapkan selamat untuk keberuntunganmu itu tapi aku minta maaf atas ketidak telitiannya aku mengenal gadis-gadis."

Gadis itu mengulurkan tangannya dengan gugup. "aku, aku Chiara Nevio." Lama Malvin berfikir keras untuk menerima atau menolak jabatan tangan gadis itu. Akhirnya dia menerima jabatan tangan itu karna dia kasihan pada Chiara. Namun, dengan cepat dia menarik tangannya kembali. 

"Se-senang bisa berjabat tangan denganmu, Malvin Stamler." Pipi Chiara memerah, dia langsung cepat-cepat pergi dari hadapan Malvin karna takut cowok itu melihat pipinya yang merona.

Chiara berlari menuju kelas intinya. Dia duduk di bangkunya sambil memegangi pipinya yang masih bersemu merah.

"Ada apa denganmu? Kulihat kau tadi bicara dengan Malvin." ucap Seira yang menghampiri meja Chiara.

Chiara mengangguk. "dia dingin tapi tidak sombong." Katanya masih berseri, "tadi aku bersalaman dengannya, tangannya lembut dan dingin."

Seira yang mendengar itu tertawa kecil menjurus ejekkan. "Aku kasihan pada kalian yang menyukainya, dia tak akan membalas cinta kalian secantik apapun wajah kalian itu."

"Setidaknya Malvin juga akan berakhir dengan satu wanita." Kata Chiara.

"Dan kau berharap menjadi wanita terakhir Malvin. Itu kasihan sekali." Ucap Seira mengejek.

"kau lebih buruk. Kau begitu menggilainya tapi kau sudah frustasi karna di tolak terus, dan sekarang kau ingin memanfaatkan Marco. Dan bodohnya Marco mau dimanfaatkan olehmu." Kata Chiara tak mau kalah.

Seira geram, dia menarik dagu Chiara sangat keras dan penuh penekanan. "tutup mulutmu itu. Aku benar-benar mencintai Marco. Jadi, jangan pernah mengatakan bahwa aku hanya memanfaatkannya." Dia menghempaskan dagu gadis itu keras, dengan gaya elegan dia pergi meninggalkan Chiara.

••••••

Malvin duduk malas di bangkunya yang terletak di sudut paling belakang. Dia menguap berkali-kali karna menahan kantuk yang luar biasa menyiksa.

"Mr.Johan. Bolehkah saya mengerjakan soal yang ada di papan tulis itu? Tapi setelahnya izinkan saya ke toilet sebentar." Kata Malvin.

Mr.Johan mengangguk dan mempersilahkan Malvin untuk mengerjakan soal di papan tulis. Malvin maju tanpa melirik kepada siapapun. Dia menulis dengan santai menggunakan tangan kidalnya yang memegang spidol. Setelah selesai, Mr. Johan memeriksa sebentar dan setelah di rasa benar dia mengizinkan Malvin untuk keluar.

Malvin berjalan kearah kelas Marco dan Faden. Dia berhenti di depan kelas Kedua sahabatnya itu, lalu mengetuk pintu untuk melihat ke dalam siapa yang sedang mengajar.

"Permisi Mrs.Selly. Marco dan Faden di panggil ke ruang kemahasiswaan." Ucap Malvin berbohong.

Mrs.Selly menoleh kearah Malvin di ambang pintu, lalu dia melirik Faden dan Marco, "pergilah." Katanya pada dua orang itu.

Marco dan Faden merapikan buku di atas meja, lalu melenggang pergi dari ruang kelas.

"Aku tau ini hanya akal-akalanmu. Kami tak benar-benar di panggil ke ruang kemahasiswaan." Kata Marco sambil melirik Malvin memastikan.

"Jika bagian kemahasiswaan yang punya keperluan pada kalian, mana mungkin aku yang di suruh memanggil. Seharusnya itu tak masuk akal bagi orang yang berfikir." Kata Malvin santai.

"Aku benar-benar hampir gila. Aku berjumpa dengan hantu dimanapun aku berada. Mereka seram dan menakutkan." Celetuk Faden.

Marco mengiyakan. "aku bertemu hantu cantik di perpustakaan ayahku." Katanya.

"Jadi? Bagaimana? Apa kalian mau menyuruhku membuat kalian tak bisa melihat hantu lagi?" Tanya Malvin.

"Tidak!" Ucap Marco dan Faden bersamaan.

"Kau?" Tanyanya pada Faden, "Apa kau sudah menemui Geina?"

"Aku tak berani. Bukan karna sosok hantunya tapi karna sebongkah salahku."

"Bagaimana jika sekarang kita ketempat Geina? Minta maaflah agar dia bisa pergi tenang ke alamnya." Usul Malvin.

Faden dan Marco mengangguk. Mereka berjalan ke pintu masuk yang ada dibelakang. Dari kejauhan, dari dinding kaca, terlihatlah sosok gadis yang terduduk memeluk lututnya. Terisak seperti anak kecil yang ingin ikut pergi ke pasar bersama ibunya.

Faden dengan enggan mendekat, tapi Marco dan Malvin sedikit menyeretnya. Bagaimanapun Geina mati bukan salah Faden, itu kesalahan Geina sendiri yang tak bisa menjinakkan cinta di dalam dirinya.

"Geina," panggil Faden saat dia sudah berdiri di depan gadis itu. Sedangkan Malvin dan Marco berdiri tidak jauh di belakang Geina.

Geina mendongak untuk melihat Faden. Matanya yang hitam mengaliri darah sebagai air mata. Faden sempat ingin muntah tapi dia menahannya.

"Maafkan aku. Karnaku kau seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mencintaimu. Kau melupakan kata-kata yang pernah ku katakan padamu, bahwa ketika kau sudah nyaman padaku jangan pernah lupakan kalau kita itu hanya sebatas teman."

"Kenapa kau tidak mencintaiku?"

"Karna aku mencintai orang lain."

"Bukan karna aku gadis yang lemah?" Tanya Geina masih terduduk mendongak keatas untuk melihat Faden.

Faden menggeleng. "bukan karna kau lemah. Aku juga menyayangimu tapi hanya sebagai teman, rasa cintaku pada seseorang membuatku tak bisa menerimamu. Kau melakukan kesalahan, seharusnya kau tak bunuh diri, jika kau masih hidup kita bisa menjadi teman." Faden berjongkok agar Geina tidak mendongak lagi.

"Aku hanya ingin bertanya satu hal." kata Geina.

Faden mengangguk. "tanyakan saja."

"Aku menemukan kado tanpa tertulis nama si pengirim di tasku. Awalnya aku yakin itu darimu. Aku sangat menyukai isinya. Setelah kau menolakku aku sangat kecewa bahwa pastilah kado itu bukan darimu. Aku ingin tau siapa yang memberikan kado itu untukku."

Faden tersenyum. "kado itu dariku. Kado ulang tahun untukmu."

Tubuh Geina berubah seperti awal dia belum meninggal. Geina memeluk Faden erat seolah tak akan melepaskannya. "terimakasih, aku sangat senang sekarang. Aku pergi. Selamat tinggal, Faden. Aku mencintaimu." Itulah kata-kata terakhir Geina untuk Faden. Tubuh gadis itu perlahan menghilang.

"Aku tersentuh. Kenapa kau tidak menyukainya? Padahal dia gadis yang cantik." Kata Marco.

"Aku mencintai orang lain." Faden berdiri dari jongkoknya.

"Dari dulu kau selalu bilang seperti itu. Kau mencintai orang lain tapi entah siapa yang kau cintai. Kau menolak semua gadis yang berfikir kau juga mencintai mereka." Lanjut Marco lagi.

"Aku mencintai orang lain." Ucap Faden. Hanya itu, dia selalu bilang mencintai orang lain. Bahkan Malvin dan Marco berfikir orang lain itu hanyalah seonggok bantal guling di kamarnya. Sejak dulu setau Malvin dan Marco, Faden tak pernah serius atau menyukai salah satu teman wanitanya.

•••

Jam makan siang tiba. Itu adalah jam dimana semua orang mengharapkannya.

"Menu makanan hari ini daging babi." Ucap Marco ketika melihat wajah Malvin yang selalu murung kala melihat mading pemberitahuan menu makan siang.

"Apapun menunya aku tak akan makan di kampus. Seperti biasa aku delivery saja." ucap Malvin.

Mereka berjalan kesatu meja kosong. Faden dan Marco mengambil makanan mereka, sedangkan Malvin menunggu Deliverynya datang.

Marco dan Faden kembali dengan membawa makan siang mereka yang tampaknya lezat.

"Makananmu belum datang?" Tanya Faden ketika dia hendak duduk.

Malvin menggeleng kecil untuk menjawab.

"Ibumu sudah tak muslim lagi ketika bercerai dengan ayahmu, tapi kenapa kau tidak mengikutinya?" Tanya Faden.

"Aku nyaman dengan Tuhanku. Aku percaya padanya." Tunjuknya keatas. "aku tak akan pernah melepas apapun yang aku punya hanya karna sesuatu yang menurut kalian lebih bagus. Begitu juga dengan Tuhan, aku tak akan melepaskannya hanya karna ibuku kembali ke Tuhan lamanya."

"Apa kau tidak berkomunikasi lagi dengan Ayahmu?" Kini Marcolah yang bertanya sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Ayahku memberi uang saku yang lebih banyak daripada ibuku. Apa menurut kalian aku tak berkomunikasi dengannya?"

"Apa kau tak punya niat untuk berlibur ke Jepang? Ketempat ayahmu? Aku ingin pergi kesana."  Kata Faden.

"Aku tak ingin ke Jepang. Jika aku kesana aku akan bertemu dengan nenekku. Aku malas melihatnya yang akan mengenalkanku pada gadis-gadis yang ia kenal." Malvin bangkit dari duduknya." aku kedepan dulu. Makananku sudah sampai."

Kepergian Malvin dari duduknya membuat Faden dan Marco membisu. Mereka menyantap makanannya penuh nikmat.

"Aku ingin bertanya padamu." Marco buka suara karna mulai tak nyaman dengan kediaman. Mereka berdua memang selalu seperti itu, kalau bukan karna Malvin pasti mereka memilih tak saling mengenal.

Faden mengangguk. "tanyakan saja."

"Aku penasaran dengan wanita lain yang sering kau sebut-sebut itu. Setauku kau tak pernah berkencan atau sejenisnya dengan seorang wanita. Atau lebih tapatnya kau tak pernah serius pada mereka."

Faden melepaskan sendoknya begitu saja sehingga membuat keributan kecil karna benturan.  "Kau tak perlu membahas hal itu." Jawabnya malas. Dari wajahnya dia tak selera lagi melanjutkan makan.

"Kita sahabat dari kecil. Apa aku tak boleh mengetahuinya?"

"Kita memang sahabat, tapi tak semua perlu kau tau." Balas Faden.

Marco tertawa kecil, "tapi sayangnya aku tak seperti Malvin yang tak ingin tau tentang satu sama lain diantara kita. Aku cendrung suka ingin tau tentang seseorang yang kuanggap penting di hidupku. Jadi, aku tau siapa wanita lain itu."

Rahang Faden mengeras, dia bangkit dari duduknya dengan kasar. Tubuhnya ia condongkan untuk menarik kerah baju Marco yang duduk di sebrangnya. "Dengarkan aku baik-baik, Marco. Jangan sampai aku menjadi Faden yang tak pernah kau kenal untuk menyingkirkanmu. Aku yakin bahwa kau tau apa yang aku inginkan." ucap Faden santai tapi menakutkan dari sorot matanya.

Marco melirik sekeliling karna mulai banyak yang melihat ke arah mereka. "jangan kau pikir aku tak bisa melakukan apapun."

"Kau menantangku?"

"Aku tak menantangmu. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Jangan sakiti Seira hanya karna dia ingin balas dendam pada Malvin, kau pasti tau apapun yang Seira rencanakan untuknya dia tak akan terluka." Kata Marco.

Faden melepas tangannya dari Marco dengan tawa yang mengejek. "darimana kau tau aku ingin menyingkirkan Seira?"

"Sudah kubilang aku bukan seperti Malvin yang tak peduli." Marco berubah menakutkan. Sorot matanya tak selembut tadi, "jangan pernah sentuh gadis itu atau aku akan membuatmu menyesal."

"Kau bisa apa?" Tantang Faden.

"Aku memang tak sepertimu, melakukan apapun yang kau mau karna uangmu melimpah. Tapi aku masih punya otak untuk melakukan yang ku mau." Ucap Marco.

Faden menghembuskan nafas enteng, setiap gerakannya penuh ejekan. "bilang pada gadismu yang tercinta itu bahwa kelakuannnya menjijikkan seperti anjing. Bahkan dia seperti pelacur yang mengejar pangeran, ketika cintanya di tolak dia gila dan menjajahkan tubuhnya untuk sahabat sang pangeran agar bisa balas dendam."

Marco memukul rahang Faden sangat keras, meninggalkan setitik darah di sudut bibir cowok itu.

"Sialan kau. Jaga ucapanmu." Marco hendak memukulnya lagi tapi Faden langsung mendaratkan pukulan di perut.

"Aku tidak bodoh, sebenarnya aku tau bahwa kau tak tau siapa wanita lain itu. Jangan pernah bodohi aku dan jangan mengatakan kau punya otak untuk melakukan apapun yang kau mau, karna pada dasarnya kau tak pernah memakai otakmu untuk berfikir." Faden kembali duduk di bangkunya karna Malvin sudah kembali. Malvin datang saat Marco menyerang Faden tapi cowok itu hanya diam saja dan malah sibuk membuka bungkusan makanannya, Bukan karna dia tak peduli tapi karna dia percaya Faden dan Marco bisa menyelesaikannya sendiri, mereka tak lagi anak-anak.

"Kalian seperti anjing dan kucing." hanya itu komentar Malvin setelah Marco kembali duduk ditempatnya. "lanjutkan saja pertengkarannya, kenapa berhenti? Aku belum melihat adegan yang luar biasa dari kalian." Lanjutnya lagi.

"Jangan melucu." ucap Faden dingin.

"Kau pikir aku melucu?" Tanya Malvin.

Faden memilih diam daripada harus melawan manusia yang benar-benar memiliki otak seperti Malvin. Apapun yang akan dia katakan tak ada gunanya, daripada memancing kemarahan Malvin lebih baik dia diam. Memainkan ponsel adalah pilihan terbaik Faden.

___________________________