Dalam dekap malam yang hangat
Dibawah sinar rembulan yang menelanjangi jiwa-jiwa yang tersesat
Sungai derita mengalir hingga muara
Lautan yang bergelombang menelan segalanya
Hingga tak ada lagi yang tersisa dari keruhnya air kehidupan
Setelah muara, tawar menjadi asin
Tenang menjadi gelombang
Amarah, kebencian, dan kekecewaan
Tanpa terucap pecah bersama debur ombak
Yang menyentuh bibir pantai
Seperti jiwa tersesat yang sedang mengetuk pintu
Pintu pada dinding, dengan jendela dibawah sebuah atap
Pintu dari Sebuah rumah
Dengan bau kayu manis,remah roti dan susu hangat
Ah..kebahagiaan memang selalu berbau manis, sejauh yang dia ingat.
Tapi tak ada kenop pintu yang berputar
Atau bahkan langkah kaki yang terdengar
Hanya gema dari bunyi tok tok tok
Saat kepalan tangan membentur kerasnya papan.
Dalam dekapan malam yang hangat
Sang Jiwa masih tersesat
Dengan amarah, kebencian, dan kekecewaan Yang tak terucap
Kemudian jiwa itu berlari
Berlari terus berlari tanpa henti
Dia tidak pernah menoleh kebelakang
Tapi dia sedang berlari disebuah sirkuit berputar
Selalu berakhir dititik awal.
Kemudian dia kembali, menyusuri tepian pantai
Mengayuh kayak melawan arus menuju hulu sungai
Dengan harapan
Jika dia kembali dia akan tahu bagaimana caranya mengakhiri
Amarah, kebenciaan dan kekecewaannya.
Dia ingin memaafkan
Dia ingin melupakan
Dia hanya ingin duduk dimeja makan
Menyantap sepotong kue kayu manis yang dibuat ibunya
roti panggang yang dia bagi dengan kakaknya
dan segelas susu hangat yang diseduh ayahnya.
Sesederana itu
Dalam dekapan malam yang hangat
Sang jiwa yang tersesat
Menangis merindukan rumahnya.