Suasana sekolah nampak riuh, karena si kepala Yayasan yang baru sedang berada di depan gerbang sekolah, sambil membawa penggaris kayu yang besar. Penggaris yang biasa dipakai guru saat menggarisi papan tulis.
Aura kejam-nya langsung terasa oleh siswa-siswi yang lewat, apalagi untuk siswa-siswi yang melanggar aturan. Mereka langsung terkena hukuman, banyak sekali yang terkena Razia pagi ini. Fadil sampai heran, kenapa para guru tidak menindak tegas, siswa-siswi yang ketahuan melanggar.
"Kalian push up tiga puluh kali buat cowok, dua puluh lima kali buat cewek. Awas, jangan ada berenti, berenti saya tambah jadi lima puluh kali." Titah Fadil, mereka hanya mengangguk lesu, dan mulai push up sesuai yang Fadil suruh.
Zila cemberut di dalam mobil, ia sudah di depan sekolah, tapi tak kunjung turun dari mobil. Papa Zila menoleh, memperhatikan anaknya yang memanyunkan bibirnya. "Kenapa sih Kak? Uang jajan kurang?" Tanya Papa Zila.
Gadis itu mengangguk, "berapa?" Papa Zila mengeluarkan dompetnya, Zila sedikit mengintip dan tersenyum senang tanpa sepengetahuan Papanya. "Tambah seratus lima puluh," ujar Zila suaranya sengaja di ketuskan. Padahal dalam hati ia bersorak gembira.
"Nih, loh Kak kok masih cemberut?"
"Mau i-Phone X napa Pah, biar foto Zila di Instagram tambah bagus." Papa Zila hanya mendesah pelan, menatap anaknya lalu mengelus rambut Zila pelan. "Nanti Papa jual ginjal dulu ya, mending sekarang..." Papa Zila mengelus-elus rambut anaknya. "KAMU TURUN, SEKOLAH YANG BENER! PENGEN i-Phone YA KERJA! KELUAR PAPA UDAH TELAT." sembur Papa Zila.
Tanpa Ba-bi-bu lagi, Zila langsung keluar dari mobilnya. "Suek!" Maki Zila.
Zila merapikan rambutnya, lalu berbalik dan melangkah ke dalam gerbang sekolah. Baru saja ia sampai di dalam, Fadil sudah berteriak dari arah jauh.
"KAMU! IYA KAMU!" tunjuk Fadil dengan penggaris kayunya, Zila berhenti dan menunjuk dirinya sendiri. "Saya Om?"
"Iya. Berdiri disitu, kenapa kamu gak pake dasi?"
Zila melirik bajunya, lalu ia menatap Fadil dengan cengegesan. "Om ganteng deh hari ini? Abis makan apa?" Goda Zila mencoba mengalihkan pembicaraan. Fadil memutar bolanya matanya jengkel, ia berkacak pingang. "Makan ginjal anak bandel kayak kamu!"
"Wadoo, pantesan kemaren banyak kasus penculikan, ginjalnya diambil ternyata Om toh yang makan."
"GAK USAH ALIHIN PEMBICARAAN! kenapa kamu gak pake dasi?!"
"Dasi saya ketuker sama dasi Papa saya Om. Abisnya Mama saya nyucinya di satuin sih, jadi gitu deh."
"Halah alesan aja kamu. Sana ke tata usaha, beli dasi yang baru."
Zila menatap kesal Fadil, menghentakkan kakinya keras. "Pagi-pagi gak usah ngajak ribut Om! Mau saya hajar. Saya tuh lagi badmood! Dasar cowok gak peka." Marah Zila menatap sengit Fadil, yang di tatap hanya memasang wajah datar.
"Kamu pikir saya perduli? Udah sana. Gak usah banyak omong!"
"Bacot lo Om, awas aja kalo kita nikah. Malem pertama gak gua jatah mampus lo!" Maki Zila, mengacungkan jari tengahnya ke depan Fadil.
"Heh! Baju kamu juga masukin."
"Tae. Lo gue masukin ke liang emak lo lagi njeng!"
***
"Oke anak-anak segitu dulu materi hari ini, ada yang mau ditanyakan?" Tanya Pak Andri, jam pelajaran terakhir sebentar lagi selesai, semua siswa kelas XII-ips-1 tidak ada yang bersuara, tiba-tiba Zila mengangkat tangannya.
"Saya pak!"
"Iya Zila silahkan,"
"Pak kok ketua Yayasan kita nyebelin sih pak, gak kayak Ayahnya baik, perhatian, ramah. Kok dia gak kayak gitu ya pak?"
Semua siswa hanya menahan tawa mendengar pertanyaan--nyeleneh Zila. "Sttt! Kamu itu, bapak gak tau. Pembawaan tiap orang kan beda-beda, udah jangan ngomongin orang. Mending kita berdoa,"
Zila langsung cemberut, "Samsul pimpin doa!" Seru anak-anak, Samsul si ketua kelas yang sedang mencoret-coret bukunnya pun langsung bersedekap rapi.
"Iiih! Zila punya agama gak loh! Berdoa malah ngelamun" tegur Samsul, Zila menatap Samsul dengan pandangan sulit diartikan.
"Pulang dari sini, gua pastiin biji lo tinggal satu Sul!" Ancam Zila.
"BERDOA MULAI!" teriak Samsul ketakutan.
"Sial banget hari ini, Papa gak bisa jemput. Mana gak ada angkot, gua lupa install aplikasi ojek online, mau install kuota sekarat. Kaki pegel, ya Tuhan bunuh lah hayati di rawa-rawa, hayati sudah tidak kuat." Dumel Zila sepanjang jalan menuju pulang ke rumahnya, jaraknya masih lumayan jauh. Cuaca sangat terik, siang ini.
Zila mengusap keringat di dahinya, mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka. "Panas banget buset, incess gak kuad"
Suara klakson mobil membuat Zila terperanjat kaget, Zila yang kesal langsung menoleh. Mobil itu maju di sebelah Zila, lalu kaca mobilnya terbuka.
Menampilkan wajah Fadil yang sedang kusut, "naik! Saya tau kamu butuh tumpangan." Ujarnya.
Zila berdecih, "halah, gue gini dulu baru lu perhatian Om." Balas Zila langsung masuk ke mobil.
Fadil lalu memajukkan mobilnya, memandang lurus kearah jalan. Zila tambah cemberut, beberapa menit kemudian Fadil baru mau membuka suara.
"Kamu? Tau kita suami istri dimasa depan? Kamu tau dari mana?" Tanya Fadil tiba-tiba.
Zila memandang Fadil dalam, "loh?! Om juga tau?!"
"Iya. Beberapa hari yang lalu saya mimpi tentang masa depan saya, mimpi yang panjang. Dan sekarang saya tau, kamu nanti yang bakal ngelahirin semua keturunan saya." Tatap balik Fadil sembari meminggirkan mobilnya.
"Yaelah, sekarang gak asik dong!"
"Gak asik? Asik aja kok. Sini biar Om bantu kamu setiap hari, jemput dan antar kamu pulang sayang."
"B a c o t!"