"Ayah ada pekerjaan di luar kota, kamu baik-baik ya sama bi Ina," kata seorang pria paruh bayah yang turun dari mobil sedan bermerk Marcedez. Gadis berseragam butih abu-abu itu pun mengangguk dengan patuh.
Sebisa mungkin memberikan senyuman termanisnya untuk membuat ayahnya tak terlalu banyak mengkhawatirkannya.
"Hati-hati Ayah ...," katanya sambil mencium tangan ayahnya sebelum membalikkan tubuhnya dan memasuki pintu gerbang sekolahnya.
Riza Kamelia Agatha itulah nama gadis berkulit pucat ini. Berjalan dengan gugup, was-was dan penuh waspada.
Selalu ada yang ia khawatirkan pikirkan saat memasuki sekolah ini yaitu benci untuk masuk atau sedih saat tak berjumpa dengan sahabatnya. Dua hal yang membuatnya selalu saja dilema.
Kali ini, wajahnya seolah sengaja ditutupi oleh rambut hitam sebahu, mungkin akan terlihat seperti penampakan hantu di siang bolong. Apa lagi, saat rambut hitamnya itu terterpa angin dan telinga berbentuk aneh itu akan terlihat, seperti makhluk dari planet lain.
Riza, masih saja berjalan dengan tegang menuju kelasnya. Beberapa siswa memandanginya, kemudian berbisik. Riza cukup tahu jika mereka akan membahas tentang bentuk fisiknya yang sangat berbeda dari kebanyakan manusia normal. Kulit pucat dan telinga sedikit runcing, membuat ia kehilangan seluruh kepercayaan dirinya.
Karena fisiknya yang sedikit aneh ini, membuatnya enggan hanya sekedar keluar kelas, ke kantin atau berjalan-jalan layaknya siswa lain. Riza, lebih sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku, novel atau komik.
Riza pun telah sampai di depan pintu kelasnya, kelegaan hatinya terpancar jelas diwajah pucatnya itu saat ia dapat melihat dua temannya yang sedang berdebat.
Ketika dihadapkan pada bermacam jenis kebisingan di dunia ini. Riza paling bisa dan nyaman mengatasi kebisingan yang disebabkan oleh kedua sahabatnya ini.
"Aku kemarin lihat X-Men Dark Phoenix." Gea berseru.
Bima tak menatapnya, ia hanya masih fokus membaca novel fantasi koleksinya yang entah sudah menjadi keberapa ratus kalinya ia koleksi.
"Bim, kamu dengerin aku ngomong, kan? X-men itu Sci-fi fantasi loh, seharusnya kamu nonton," saran Gea dengan menggebu-gebu seperti biasanya.
"Aku nggak tertarik. Aku lagi demen sama yang berbau-bau Necromancer," sahutnya membuat Gea nampak berpikir keras, sementara Riza hanya tersenyum memperhatikan raut wajah Gea yang cukup lucu baginya.
"Apaan tuh?" tanya Gea yang sepertinya penasaran dan tak sabaran.
Bima meliriknya sambil tertawa mengejek. "Sihir yang bisa bikin orang mati hidup lagi ...," kata Bima sambil tertawa dan ekspresi wajah Gea terlihat ngeri. Dari semua hal, Gea paling benci dengan segala bentuk yang berhubungan dengan orang mati.
"Nyeremin tau nggak! Mendingan kamu nonton Ghost in the shell. Lebih keren, sama kayak di komiknya," saran Gea yang seketika membuat Bima menggeleng.
"Fantasy lebih keren kali dari pada sci-fi," balasnya.
"Dasar cowok aneh! Disaat semua cowok suka banget main game, kamu malah lebih suka baca sejarah kerajaan jaman dulu. Bahkan, saat semua cowok lebih suka film sci-fi kamu malah suka fantasy yang bikin ngeri," celoteh Gea yang merasa kesukaan Bima itu tidak masuk akal.
"Lah, suka-suka aku, kan? Kepo amat jadi makhluk berjenis kelamin perempuan," salak Bima yang terkadang tak tahan dengan tingkah pola Gea. Riza tertawa mendengarnya, bahasa ala novel Bima keluar begitu saja.
Pertengkaran mereka sudah seperti menghirup udara sepanjang waktu. Tak jarang banyak yang salah sangka, menanggap mereka adalah pasangan kekasih yang saling bertengkar.
"Uda, jangan bertengkar terus," celetuk Riza yang kini duduk di antara dua temennya ini.
"Makhluk berjenis kelamin perempuan katamu? Nama ku Gea Anastasia Dermawan! Belum tua uda pikun aja ni satu mahkluk astral," balas Gea yang membuat Bima berdecak. Omongan Riza seperti angin berlalu saja, mereka tidak akan berhenti berdebat dengan mudah.
"Eh Shopie, kamu seharusnya ada di Hex Hall," rancau Bima yang membuat Gea dan Riza tak mengerti. Lagi-lagi ia menggunakan menggunakan karakter dalam novel.
"Dasar sinting! Ngomong apaan si ni anak!" pekik Gea.
"Si Shopie, kamu persis kayak dia. Penyihir ceroboh yang dikirim ke Hex Hall," jawab Bima sambil tertawa terbahak.
"Udah!" Riza mencoba menghalangi Gea yang hampir saja menjambak rambut Bima. "Jangan berisik pagi-pagi, aku pusing," kata Riza yang seketika keduanya berhenti berdebat dan Bima memandangi Riza dengan khawatir.
"Kenapa? Kenapa? Perlu ku pijetin?" tawarnya sambil tersenyum-senyum. Jika seperti ini, Riza tahu apa yang di inginkannya. Keramah tamahan Bima selalu menimbukan tanda tanya besar dalam benak Riza serta Gea.
"Apa? Kamu nggak tiba-tiba suka aku, kan?" todong Riza yang tentu membuat Gea terpingkal dan Bima mendengus.
Riza adalah sosok yang tidak memiliki kepercayaan diri tinggi, berani untuk menggoda seorang Bima yang cukup populer sebagai ketua club literasi, itu tandanya mereka cukup dekat.
"Nggak! Jangan terlalu percaya diri deh. Aku sekarang miskin, kalian berdua harus traktir aku selama seminggu," kata Bima santai, seolah ia sedang meminta uang jajan kepada ke dua orang tuanya.
"Emang aku ini gudangnya uang? Kamu minta aja sama mama kamu sana!" Gea menolak seperti biasanya.
Bima berdecak. "Dari jaman kelas 10 sampai sekarang, kapan kamu nggak miskin, hah?" balasnya yang tentu membuat Gea cemberut, benar-benar ingin menendang kaki Bima.
"Nggak usah ngehina, kamu aja sekarang jadi gembel, nggak punya uang sama kek aku, kan?" solot Gea yang kini mendelik menatap Bima. "Buat apa uang bulananmu itu, hah!" desak Gea dengan suara lantangnya.
Riza yang penasaran pun mendongak dan menatap Bima. "Aku beliin novel ini, ada 5 series," kata Bima santai, menunjukkan beberapa novel yang baru saja ia baca. "Satu buku bisa 150 ribu, kalau 5 tinggal kalikan saja dan tahun depan akan ada series selanjutnya." Semangatnya begitu menggebu, membuat kedua teman perempuannya itu mendengus.
Jika kalian berpikir, hanya seorang wanita saja yang cukup boros, jawabannya adalah tidak. Kalian di sini akan menemukan Bima yang rela menghabiskan uang jajan bulanan hanya untuk membeli novel fantasy. Saat uang jajan bulanannya habis ia akan merengek kepada Riza atau Gea. Anehnya, dia cukup populer dikalangan teman-teman siswi satu sekolah.
Mereka belum tahu saja, cowok yang selalu mereka puja ini ternyata suka sekali membuat sebal kedua sahabatnya ini.
"Riza, beliin gue jus alpukat atau apa gitu. Ah, sama bakso," pintanya seperti biasa.
"Ogah, kamu aja pergi sendiri. Ini uangnya." Riza yang baik hati pun menyodorkan uang lima puluh ribuan dan Bima terlihat bersemangat untuk mengambil uangnya.
"Kamu kenapa nyuruh Bima beli-beli? Apa kamu nggak punya kaki buat jalan!" sentak seorang gadis yang kini sudah berhasil mendorong Riza yang tadinya berdiri, membuat Riza terduduk lagi.
Riza menghela napas panjang. Kedua temannya terlihat tak menyukai apa yang dilakukan oleh gadis pendatang ini. Mereka sama sekali tidak mengharapkan kehadiran sosok gadis tak ramah ini.
"Apaan sih kamu, Bi!" salak Gea yang sangat tidak terima dengan perlakuan gadis berambut ikal dengan wajah jutek dihadapannya ini.
"Cewek cupu nggak usah ikut campur!" balasnya.
"Uda deh Bi, jangan bikin nggak mood pagi-pagi. Berapa kali aku harus bilang, jangan ganggu Riza!" Kali ini Bima maju dan menghalangi gadis itu.
Gadis dengan rambut ikal dan make up berlebih itu wajahnya berubah seketika. "Bima, kamu kenapa sih harus berteman dengan cewek monster seperti dia! Mendingan kita pacaran aja, aku uda nungguin kamu beberapa tahun ini loh." Bahkan Bianca berani merangkul lengan Bima membuat Gea ingin muntah rasanya dan Riza hanya diam, menatapnya tak nyaman.
Bima melepaskan rangkulan tangan Bianca. "Aku uda jadian sama Gea, jadi kamu nggak perlu berharap banyak. Terus ya, Riza itu bukan cewek monster, dia itu sepupumu dan sahabatku," tekan Bima yang membuat senyum Bianca lenyap.
"Ih, nggak asyik banget sih kamu. Aku nggak akan nyerah pokoknya!" Berbicara tentang Riza dengan fisik yang selalu mengundang tanda tanya orang-orang memang tidak menarik. Bianca, lebih suka membulatkan tekatnya untuk mendapatkan Bima. Ia akan terus membujuk Bima untuk mau menjadi kekasihnya.
"Terserah, Riz, yayang Gea ayo kekantin, laper," rengeknya yang malah menarik Riza, bukan Gea. Gea mengikuti keduanya dengan ekspresi galaknya. Gea
"Sialan!" gerutu Bianca yang mash terdengar dari balik pintu kelas.
Riza dan Bima berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Gea.
"Eh makhluk astral, kamu ngomong apa tadi!" Gea memekik.
"Duh, gawat! Riz, selamatin aku!" bisiknya pada Riza yang sudah tertawa.
"Nggak, kamu tanggung sendiri aja!" balas Riza yang kini memilih melangkah ke arah yang berbeda. Ia tidak akan pergi ke kantin, hanya mencoba untuk mencari tempat yang sepi agar tak diusik oleh tatapan menilai, serta cemooh dari siswa lain.
Sekaligus Riza ingin menetralkan emosinya karena sikap Bianca barusan. Riza selalu heran, kenapa sepupunya itu selalu bersikap kasar seperti ini kepadanya.
"Eh, cewek monster!" panggil seseorang, membuat Riza menoleh dan menemukan Bianca yang kali ini membawa teman-temannya.
Gadis itu berjalan begitu cepat dan tiba-tiba menjambak rambut Riza.
"Aw ... Sakit Bi, kamu kenapa, sih?" keluh Riza.
"Nggak usah ngerengek. Sialan banget kamu ya, berani-beraninya malu-maluin aku di depan Bima," kata Bianca dengan kesal.
Riza mencoba melepaskan cengkraman tangan Bianca dari rambutnya, tapi ia tak bisa karena kedua teman Riza mencoba untuk menahannya.
"Kapan aku malu-maluin kamu, sih? Tolong lepasin tanganmu, sakit!" mohon Riza yang mulai menangis.
"Nggak akan! Dasar anak monster, mati aja sono. Anak-anak kasih belajaran dia!" kata Bianca dan kedua temannya Bianca pun mencoba menampar Riza beberapa kali. Membuat gadis itu kesakitan pada bagian wajah.
"Itu peringatan untukmu! Jangan pernah mencoba untuk bertingkah sok dihadapanku!" tekan Bianca sambil mendorong kepala Riza.
"Mukamu itu bikin ngeri tahu ngak sih? Dasar idiot!" Bahkan, salah satu teman Bianca pun menendangnya.
Bianca dan kawan-kawannya pun pergi. Hanya tinggal Riza yang kini menangis. Ia sangat sedih dan marah ketika diperlakukan seperti ini. Namun, hal yang paling menyedihkan adalah saat ia tidak bisa melawannya.
Riza, hanya mampu memendamnya dan bersikap seolah semua baik-baik saja. Jujur, sikap seperti ini seolah berlahan menggerogoti hatinya, mengantarkannya pada rasa kepedihan yang teramat.
Sesal dan segala hal memenuhi pemikirannya. Bahkan hal yang seharusnya berhenti untuk ia pikirkan yaitu ibunya. Kata anak monster itu tentu sangat melukainya, membuat ia mempertanyakan tentang dirinya, jati dirinya.
"Apakah aku memang anak monster?" gumamnya yang terkadang sering terucap saat kefrustasian melandanya dan setelah itu, ia akan menangis tersedu-sedu.
Dalam benaknya selalu ada pertanyaan berulang. Kenapa aku berbeda? Kenapa?
-Tbc-